Page 26 - Majalah Berita Indonesia Edisi 28
P. 26
26 BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006BERITA KHAS26 BERITAINDONESIA, 04 Januari 2007Minyak Tanah LangTaklah berlebihan bila disebut nasib rakyat kecil begitu mudahDesember 2006 hidup rakyat kecil sangat merana karhusus mereka yang tinggal diwilayah urban dan sub urban,hidup mundur untuk kembalimenggunakan kayu sebagaibahan bakar tak memungkinkan, karenatak lagi memiliki lahan kosong sejengkalpun untuk perapian. Begitu pula, majuselangkah melakukan konversi ke bahanbakar LPG tak pula memungkinkan selainkarena gagap teknologi (gaptek), ini yanglebih fundamental, hidup mereka sajamasih day by day. Artinya, penghasilanharian mereka dicari pagi hari untukdimakan sorenya.Rakyat kecil membeli minyak tanaheceran masih ukuran literan seharga Rp2.300-5.000, bukan membeli satu tabunggas berharga Rp 55 ribu (membeli tabunggas berikut kompor gasnya sebagai modalawal, semakin tak terjangkau lagi). Selainminyak, mereka juga membeli berasdalam ukuran kiloan yang ditenteng dikertas kresek berwarna hitam agar takterlihat tetangga, bukan beras karunganyang biasa dibeli golongan the haves dihypermarket.Semua media massa bukannya tuli atautak memberitakan kelangkaan minyaktanah ini. Namun suara kebenaran persseolah berlalu begitu saja tanpa menyisakanarti. Derita dan keluhan ibu rumah tanggasudah menggema dimana-mana, termasukpenjual goreng-gorengan keliling yang taklagi bisa berjualan karena ketiadaan stok minyak tanah untuk menghidupkan kompor.Selain mereka, turut pula kehidupanpara nelayan kecil dan buruh pencari ikantertekan karena minyak tanah yang menjadi alternatif pengganti solar untuk bahan bakar melaut, karena lebih murah,langka. “Kami tidak mampu lagi beli solar walau hanya separuh untuk campuranminyak tanah,” ungkap Purnama (32),nelayan di Kampung Tanjung Anom, DesaTanjung Kait, Kabupaten Mauk, Banten,kepada Kompas (4/12).Harian Kompas berkali-kali menyindirpersoalan kelangkaan minyak tanahsecara khusus dalam rubrik Pojok. SepertiSenin (4/12), ditulis, “Kelangkaan minyaktanah di Jakarta menyumbang 27 perseninflasi,” yang lalu diberi komentar usil,“Spekulasi rencana kenaikan hargaBBM?”. Berselang seminggu kemudian(11/12), koran ini di rubrik yang samamenulis lagi, “Kelangkaan minyak tanahterus meluas,” yang lalu diusili, “Karpetmerah untuk rencana beralih ke LPG?”.Kelangkaan minyak tanah karena berlangsung berbulan-bulan membuat liputannya tak lagi sebatas domain berita peristiwa.Selain muncul berbentuk komentar, sepertiPojok di Kompas tadi, atau karikatur, opinipara pengamat dan pakar pun gencarmuncul di berbagai media untuk mengetukhati pimpinan negara supaya mau mendengar kemeranaan rakyat. Sampai-sampaiJeffrie Geovanie, Direktur Eksekutif TheIndonesian Institute dalam tulisannya diharian Suara Pembaruan, berjudul “Mundur sebagai Kehormatan”, tiba pada kesimpulan bahwa pejabat negara yang bertugasmemenuhi kebutuhan pokok bagi rakyat,namun gagal menunaikan tugasnya lebihlayak mundur saja.Jeffrie sejurus menulis, kelangkaanminyak tanah dan kurangnya pasokanenergi listrik di sejumlah daerah, adalahbukti dari kegagalan Menteri Energi danSumber Daya Mineral (ESDM), PurnomoYusgiantoro. “Anehnya, pada saat sejumlah anggota DPR memintanya mundur,dengan tanpa beban ia menolak serayamenyebut dirinya hanya sebagai pembantu presiden dan bertanggungjawab kepada presiden,” tulis Jeffrie.Ibrahim Hasyim, mantan direkturPertamina turut mengulas kelangkaanminyak tanah di harian Investor Daily(13/12). Sisi klasik kelangkaan minyaktanah menurutnya terletak pada suplai(supply side management), dan solusiklasiknya selalu pula melalui operasipasar minyak tanah.Hasyim menulis, minyak tanah telahmembuat sejarah menarik di Indonesiasejak bahan bakar ini dijadikan sebagaiinstrumen politik untuk pemerataan olehrejim Orde Baru pada dekade 70-an.Minyak tanah pun dijadikanlah salah satuunsur bahan pokok rakyat yang harus diurus seperti mengurus beras. Infrastruktur distribusi dan pemasaran dibangun diseluruh pelosok tanah air. Minyak tanahmengalir deras dan merusak tatanan infrastruktur energi masyarakat yang telahada sebelumnya, terutama di pedesaan.Menurut Hasyim, menggunakan minyak tanah menjadi simbol tingkat kesejahteraan rakyat. Masyarakat ramai-ramai memakai minyak tanah untuk masakdan penerangan, sampai akhirnya minyaktanah dianggap sebagai hak dan pemerintah wajib memenuhinya. “Eksesnyakemudian masuk budget Negara, volumeminyak tanah selalu menjadi driverbesarnya subsidi BBM dalam APBN yangdimulai sejak tahun 1975/1976 sebesar Rp1,3 miliar, kemudian meningkat terusmencapai sekitar Rp 60 triliun pada tahun2005,” tulis Ibrahim Hasyim.PersoalanSelama kelangkaan minyak tanah berlangsung media massa aktif menganalisadimana letak persoalannya yang sesungguhnya. Ada yang menyebut, kelangkaanterjadi sebagai desain pemerintah untukmemaksakan konversi ke bahan bakargas. Media lain, kelangkaan terjadi karenapemerintah dan DPR mengurangi kuotaBBM bersubsidi, dari sebelumnya 10jutakilo liter menjadi 9,9 juta kilo liter.Sejumlah alasan normatif dari parapetinggi berseliweran dimana-mana.Mereka tak peduli yang dibutuhkan rakyatadalah ketersediaan minyak tanah. Berapapun harganya terbukti rakyat mausaja membeli secara terpaksa.Tetapi satu hal yang sama, dan ini yangmenjadi persoalan pokok, semua tokohyang mestinya patut bertanggungjawabatas kelangkaan minyak tanah, yang telahmenyengsarakan masyarakat banyak taksatu pun yang secara tegas menyatakanbertanggungjawab.K