Page 49 - Majalah Berita Indonesia Edisi 34
P. 49


                                    BERITAINDONESIA, 29 Maret 2007 49Bisnis RentePerbankanPasca krisis pertengahan 1997, kinerjaperekonomian berhasil mencapaiperbaikan signifikan mulai tahun 2003.Namun kemandegan sektor riil akibatlemahnya fungsi intermediasi perbankan,membuat pemulihan ekonomi selalu gagal.ejak tahun 2003, pada satu sisi Indonesiasudah mampu menciptakan performamakroekonomi yang kuat, namun di saat yang bersamaanmikroekonominya (sektor riil)justru mati suri. Alhasil, walaupun puncak krisis ekonomisudah berlalu hampir satudasawarsa, pemulihan pertumbuhan ekonomi tidak pernah berhasil dicapai, apalagipertumbuhan ekonomi tinggi.Keadaan ini semakin diperparah dengan kegagalan APBNdalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Idealnya, ketika kinerja sektor riil melemah, APBN seharusnyamenjadi andalan dalam menyediakan lapangan kerja baru, namun hal itu tidak dapatdiwujudkan karena penyerapan anggaran yang rendah,baik oleh departemen-departemen maupun daerah.Pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendahdalam satu dasawarsa terakhir, berdampak pada lambannya peningkatan kesejahteraan. Warisan krisis ekonomi pertengahan 1997, berupa penduduk miskin dan angka pengangguran yang besar,senantiasa berpotensi mengalami peningkatan, setiap kaliterjadi gangguan pada perekonomian.Perbankan, Muara PersoalanPersoalan sektor riil yangbelum pernah pulih sejak krisis pertengahan 1997 silam, tidak terlepas dari kinerja perbankan. Sebagai lembaga intermediasi, perbankan bertugas mengumpulkan dana masyarakat dan kemudian menyalurkannya sebagai kredit kedunia usaha atau sektor riil.Memang harus diakui, perbankan pernah mengalami kejatuhan yang luar biasa akibatkrisis moneter 1997, hinggamelumpuhkan fungsi intermediasi perbankan. Namunkejatuhan itu segera dapat diatasi melalui pengucuran danapemerintah sebesar Rp 650triliun sejak 1997 hingga 1999.Dengan selesainya revitalisasiperbankan, puncak-puncakkrisis finansial sudah terlewatidan perbankan sudah dapatkembali menyelenggarakanfungsi intermediasinya.Di tengah-tengah perbaikankinerja perbankan itu, kondisiperekonomian Indonesia punmulai mendapat pencerahan.Pada tahun 2003, misalnya,perekonomian Indonesia sudah memasuki perbaikan signifikan di bidang makroekonomi, khususnya inflasi yangmenjadi momok perekonomian selama krisis.Akan tetapi, proses pemulihan ekonomi secara menyeluruh, selalu gagal dicapai karena mandegnya peranan perbankan dalam menjalankanfungsi intermediasinya. Sejakitulah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi duri dalamdaging, karena keberadaannyasecara tidak langsung menghambat penyaluran kredit kedunia usaha.Sebenarnya SBI merupakaninstrumen pengendali moneter yang digunakan BankIndonesia (BI) untuk menyerap uang beredar agar mencapai titik aman inflasi. Namun, SBI menjadi momok karena digunakan perbankan sebagai lahan (portofolio) bisnisuntuk mencari keuntungan.Filosofi Bisnis Perbankan,Jungkir BalikTanpa harus bekerja keras,perbankan justru tidak malumenginginkan keuntunganbesar. Itulah perilaku yangditunjukkan perbankan saatini. Seperti ditulis tajuk Investor daily, Selasa (20/2) “Ibaratnya, dengan ongkang-ongkang kaki, bank sudah mendapat untung dari spread bunga sekitar 2,25%-2,50%, tanpa risiko apa pun”.Kenyataan ini harus dipahami sebagai fenomena disorientasi. Sebagai unit bisnis berbasis jasa, perbankan tidak seharusnya mendapatkan untungtanpa memberi pelayanan. Dalam literatur mana pun, termasuk literatur-literatur yangdigunakan para kapitalis maniak, perbankan tidak pernahdimaksudkan hanya mencarikeuntungan, layaknya rentenir.Filosofi bisnis perbankanberfokus pada pelayanan.Penghargaan atas pelayananitulah ia mendapat jasa ataukeuntungan. Dalam UU No 7Tahun 1992 tentang PokokPokok Perbankan, misalnya,disebutkan bahwa bank adalahbadan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan danmenyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyatbanyak.Namun, jika dilihat darisepak terjang perbankan saatini, sepertinya isi kepala parabankir hanya dipenuhi denganpencarian keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka tidakpeduli dari mana untung itudiperoleh. Tidak peduli walaupun uang untuk membayarbunga uang yang mereka simpan di SBI dibebankan kepadarakyat.Tidaklah mengherankan jikakenyataannya menjadi ironisme. Bukankah sangat tragisketika rakyat harus membayarRp 20 triliun per tahun bebanbunga SBI, sementara merekasendiri sudah tidak mampumembeli beras? Namun parabankir itu tidak merasa perlumenghiraukan pembayar bunga uang mereka yang sudahmakan nasi aking karena tidakmemiliki uang membeli beras.Yang tidak kalah tragisnya,di tengah-tengah keluhan parapengusaha, menteri-menteri,hingga presiden akan kinerjasektor riil yang memilukan,perbankan justru dengan sukacita mengumumkan perolehankeuntungan rata-rata 13% pada tahun 2006.Yang tidak kalah buruknya,dalam pidato pertemuan tahunan perbankan tahun 2007,Jumat (12/1), Gubernur BankIndonesia Burhanuddin Abdullah, yang berjudul “BekerjaKeras untuk MemanfaatkanStabilitas” mengakui adanyafenomena paradoks sektor riil,di mana pertumbuhan ekonomi tidak disertai denganpenurunan kemiskinan danpengangguran.Sepertinya para bankir di Indonesia menghindari debitordebitor kecil, dan memilih debitor-debitor besar. Namun akibatperilaku itu, angka pengangguran dan angka kemiskinancenderung meningkat. „ MHSBERITA EKONOMIKeuntungan perbankan didorong bunga SBI. foto: repro trust
                                
   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53