Page 18 - Majalah Berita Indonesia Edisi 37
P. 18


                                    18 BERITAINDONESIA, 10 Mei 2007BERITA UTAMAVirus Korupsi di Akar Hukumuang tunjangan hari raya (THR), bantuanuntuk pesantren, sampai uang untuk pembuatan naskah pidato dari DKP, ZaenalMa’arif, Wakil Ketua DPR mengatakanbahwa pengakuan itu belum cukup.Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyokomenilai keputusan itu menunjukkanpimpinan DPR tak memiliki kemauanuntuk mengikis adanya aliran dana keDPR. Alasan anggota DPR tak tahu darimana sumber uang, menurut Danang, takmasuk akal dan “lugu”. Untuk tujuanapapun, uang di atas Rp 10 juta yangditerima harus dilaporkan ke KPK.Terima Dana Sudah BiasaKetua dan tiga wakil ketua DPR selalumenerima dana dalam setiap tahapanproses pembahasan perundang-undangan. Tahapan tersebut mencakup pembahasan di badan legislasi, badan musyawarah, panitia khusus dan panitia kerjaDPR. “Setiap tahapan mereka menerimadana tunai Rp 5 juta. Ini yang harusdihapus,” kata anggota Badan UrusanRumah Tangga DPR, Nursanita Nasution.Nursanita mengutarakan selama inianggaran pembahasan satu RUU hanyadialokasikan Rp 600 juta. Dana itu digunakansejak usulan sebuah RUU dibahas di badanlegislasi, panitia khusus, panitia kerja, timperumus dan tim sinkronisasi. Setiap tahappembahasan para pimpinan dan anggotamenerima masing-masing Rp 5 juta, kecualidi panitia kerja, hanya Rp 2 juta. Sedangkandana yang disediakan pemerintah, menurutanggota fraksi PKS itu, biasanya Rp 3 miliar.Dana dari pemerintah, kata Nursanita,biasanya digunakan untuk membiayaipembahasan di luar gedung DPR.Dana yang dialokasikan tahun ini sebanyak Rp 275 miliar untuk merampung53 RUU menjadi UU. Dana tersebut akandibelanjakan untuk menyelesaikan Program Legislasi Nasional 2006. DPR, tahun ini, punya target untuk menyelesaikan 33 RUU yang diprakarsainya. Sedangkan pemerintah memprakarsai 20 RUU.Agung Laksono mengatakan DPR,tahun ini, meningkatkan anggaran satuRUU inisiatif Dewan menjadi Rp 2,4miliar. Sedangkan tahun 2006, dialokasikan Rp 668 juta per RUU. NadrahIzhari, anggota BURT, mengatakan dengan penambahan anggaran tersebut paraanggota Dewan mampu meningkatkanmutu legislasi mereka.Sebab selama ini, DPR, ketika membahassebuah RUU, hanya membuat kajian sekadarnya, tidak mendalam. Jadi tidak heranjika banyak UU yang sudah disahkan DPRbatal di tangan Mahkamah Konstitusi. „ SHHitam-putihnya undang-undang atau hukum ada di tanganpara anggota DPR. Mereka pun bisa merumuskan UUberdasarkan pesanan.asih ingat heboh tentangRUU Perpajakan, RUU Tenaga Kerja dan RUU Migas? Para anggota KomisiDPR terkait meloloskan RUU-RUU tersebut menjadi UU berdasarkan pesanansponsor (departemen). Tentu dengan imbalan sejumlah uang. Jelas ini bentuknyata dari komersialisasi wewenanglegislasi para anggota Dewan.Akh…itu kisah usang di era Orde Baru.Namun masih terulang dan terus terulang diera reformasi. Komersialisasi wewenang paraanggota Dewan bisa ditemukan di banyaksektor. Di DPR juga ada posisi “basah”, sepertiPanitia (komisi) Anggaran dan KomisiKomisi yang bermitra dengan Departemen“basah.” Di saat-saat mendekati pembahasananggaran, Panitia Anggaran pasti kewalahanmenerima order dari departemen dan daerah yang meminta anggaran mereka tidakdipangkas. Di sinilah terjadi “transaksi” supaya anggaran mereka dinaikkan.Belakangan ini, mereka yang tadinyaduduk di Komisi III (sekarang Komisi IV)DPR dan menerima kucuran dana “haram” Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mendapat sorotan publik.Awalnya, Ketua Badan Kehormatan DPRSlamet Effendi Yusuf, tadinya anggotaKomisi III (1999-2004), mengaku menerima uang tunai Rp 20 juta dari RokhminDahuri, Menteri Kelautan dan Perikanandi era Presiden Megawati.“Saya memang menerima dana itu,tetapi tidak terkait dengan tugas-tugas kedewanan, apalagi pembuatan UU Kelautan,” kata Slamet kepada SH. ICW meminta Presiden menertibkan dana nonbujeter di berbagai instansi pemerintahagar tidak digunakan untuk kepentingandi luar fungsi lembaga yang bersangkutan.Seperti pepatah orang Inggris, “no freelunch,” (tidak ada makan siang gratis),boleh jadi saat itu Rokhmin—kini sedangmenjalani pengadilan Tipikor karena dakwaan korupsi—punya niat terselubungmemberikan dana itu kepada Slamet untuk meloloskan RUU Kelautan di DPR. Slamet hanya mengaku uang itu sudah disumbangkan untuk pembangunan masjid dikampungnya di Purwokerto, Jawa Tengah.Dana non-bujeter yang dikumpulkanRokhmin mengucur ke mana-mana.Rokhmin, dalam pemeriksaan di pengadilan Tipikor tentang dana DKP yangmencelakakannya, juga mengalir ke anggota parlemen senior PDIP, Sabam Siraitdan dua tokoh kunci partai yang beroposisi itu, Taufik Kiemas dan istrinya Megawati. PDIP mengundang rapat khusus untuk membahas perkara tersebut.Menurut Sekjen PDIP Pramono Anung,Sabam menyangkal keras pernah memintaatau menerima uang pemberian Rokhmin.Megawati ketika itu menjadi Presiden,tidak tahu-menahu mengenai uang pemberian Rokhmin, apalagi kalau dibilangdalam bentuk batik senilai Rp 10 juta danbuku senilai Rp 4,8 juta. Pramono menilaipengusutan dana DKP atas diri Rokhminlebih kental nuansa politik ketimbangpenegakan hukum.Kasus ini akhirnya kandas di tengah jalan. Pimpinan DPR mengambil posisi pasifdengan sepakat untuk tidak mengadukanpersoalan ini ke Badan Kehormatan DPR karena belum ditemukan adanya dugaan pelanggaran dari sisi kode etik. Keputusan itudiambil dalam Rapat Pimpinan DPR di Jakarta (24/4). Ditanya soal adanya sejumlahanggota DPR yang mengakui menerimaMfoto-foto: berindo wilson Slamet Efendi Yusuf Rokhmin Dahuri
                                
   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22