Page 28 - Majalah Berita Indonesia Edisi 37
P. 28


                                    28 BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006BERITA KHAS28 BERITAINDONESIA, 10 Mei 2007Prahara di IPDN PasKematian Wahyu Hidayat, praja yunior STPDN, tidak memberi pehampir sama, kematian Cliff Muntu akibat penganiayaan berat, msehingga membekukan IPDN Jalam usia belia, 20 tahun,maut menjemput Cliff Muntu,praja tingkat II Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)asal Manado, pada menit-menit lewattengah malam 2 April 2007. Malam itu,Cliff bersama 12 praja yunior lainnya,dipanggil mendadak oleh para praja senior (tingkat III), anggota kelompokPembawa Tanda Kehormatan (Pataka).Ke 12 praja tersebut harus menghadapanggota Pataka—pembawa panji-panjiIPDN—di Barak DKI Jakarta, pukul 22.30WIB.Dari 12 praja yang dipanggil, 4 orang,termasuk Cliff, datang lewat jam yangditentukan. Soalnya, mereka kelelahanlantaran baru saja selesai latihan drumband. Namun panggilan para “algojo” itutidak boleh diabaikan sedikit pun. Datangmelewati jam yang sudah ditentukansama artinya menyepelekan “kegiatanpembinaan” yang dikeramatkan di kampus pencetak pelayan publik tersebut. “Sebab di situ diberikan doktrin dan pembentukan fisik,” kata Nur Kholim, pengacarapara terdakwa, kepada Tempo (22/4).Prosesi penyiksaan dimulai denganpenutupan mata Cliff dan ketiga rekannya, kemudian perut mereka dipukul danditendang. Pada keheningan malam, paraalgojo itu melakukan upacara penyiksaandi pojok barak tersebut. Cliff yang menyandang jabatan “polisi kampus” ambruk, namun para algojo itu masih menendang dan menginjak perutnya. Cliffpingsan, tidak bergerak, detik-detik kemudian menghembuskan nafas terakhir.Para algojonya panik, memanggil ambulan klinik. Tetapi karena sedang digunakan, ambulan itu baru datang pukul2.00 dinihari. Jenazah Cliff dibawa ke RSAl-Islam, Sumedang, Jawa Barat. Dinihari itu, kampus IPDN geger. Kekerasankembali menelan jiwa praja seperti yangterjadi pada Wahyu Hidayat, 9 September 2003.Menurut hasil otopsi yang dilakukanoleh Kepala Instalasi Pemulasaran Jenazah RS Hasan Sadikin, Bandung,Noorman Heriyadi, Cliff mengalamiperdarahan di jantung, limpa, ginjal, otakdan daerah alat vital.Koran Tempo (8/4) melaporkan, polisisudah menahan tujuh tersangka penganiaya Cliff, yaitu M. Amrullah, A. Bustanil, Fendi Tobuo, Jaka Anugrah Putra,Frans Albert Yoku, Hikmat Faisal danAhmad Harahap. Mereka juga dipecatdari IPDN. Selain itu, Depdagri memberhentikan Dekan IPDN, Prof. LexyDirot yang diduga memerintahkan penyuntikan formalin pada mayat Cliff.Ketika Wahyu tewas tahun 2003, kampus itu masih bernama STPDN. KematianWahyu memaksa Departemen DalamNegeri melebur STPDN dengan InstitutIlmu Pemerintahan (IIP) Pasar Minggu,Jakarta. Namanya berubah menjadiIPDN. Rupanya penggantian nama tidakmengubah watak kekerasan warisanSTPDN yang pembentukannya digagastahun 1989, sebelum gedungnya diJatinangor selesai dibangun, 1992.Sebanyak 500 praja STPDN dititipkan diAkademi Pemerintahan Dalam Negeri(APDN) Semarang dan Malang. Tahun1992, mereka dipindahkan ke kampusSTPDN Jatinangor, Sumedang, yangdiresmikan oleh Presiden Soeharto.Dosen senior IPDN Inu Kencana, seperti dikutip Republika (12/4), menyingkapkan, peleburan itu tidak banyak membawa perubahan, malahan menciptakansuasana yang lebih buruk. Inu yang sempat diskors petinggi IPDN karena bicaradi pers soal kebobrokan kampusnya,mengatakan bahwa kekerasan dan penyalahgunaan obat (Narkoba) meningkat,dan hubungan seks bebas semakin marak.Fakta-fakta ini, kata Inu, selalu ditutupi.Menurut Inu, data kasus kematian prajaakibat kekerasan yang sempat muncul dipers hanya 27% dari total kekekerasan yangmenelan korban. Mantan Kepala BidangPengasuhan IPDN angkatan pertama itumengungkapkan, selama tahun 1993-2007,tercatat 35 mahasiswa STPDN/IPDN yangtewas karena kekerasan.Berita utama halaman satu Republika,mengutip tudingan Inu di depan DPR (11/4), bahwa para petinggi IPDN telah menghilangkan data tiga praja yang didugameninggal karena disiksa. Mereka, prajamadya Fahrudin (Jateng, 1997), prajamadya Gatot (Jatim, 1994), dan prajamadya Edy (1999).Tajuk Media Indonesia (12/4), mengecam kekerasan di IPDN dan menyarankankampus itu ditutup saja. Dalam nadasangat keras, MI menulis, seribu kalirektornya diganti, sejuta kali rektornyadinonaktifkan, tidak akan mengubahkultur kekerasan bahkan pembunuhanyang telah tumbuh subur di IPDN. Sejutakalipun nama institut itu diubah tidakakan mengubahnya menjadi institut yangberadab. Sebab lembaga itu dari asalnyasudah salah cetak biru. Ia cacat bahkansebelum lahir.Kisahnya berawal dari gagasan bekasKepala Staf Angkatan Darat Jenderal(Pur) Rudini yang diangkat Pak Hartomenjadi Menteri Dalam Negeri. Sangjenderal, tulis MI, menilai jajaran aparatur pamong praja (pemerintah) tidakmemiliki disiplin, bahkan tidak memilikiwatak kepemimpinan. Untuk menghasilkan pamong praja yang berdisiplintinggi dan berkepemimpinan kuat, Rudinimendirikan lembaga pendidikan bergayamiliter. Mereka jelas bukan tentara untukbertempur, tetapi juga bukan sipil untukmelayani rakyat.Dengan nada sinis, MI menutup tajuknya yang ditempatkan di halaman depan;zaman sudah berubah, dari supremasimiliter ke supremasi sipil. Konsep prajasudah berubah dari memerintah menjadimelayani. Dari disiplin militer menjadidisiplin sosial. Namun lembaga yangmenghasilkan pamong praja itu, padadasarnya, tetap tidak berubah dari gagasan kelahirannya oleh Jenderal Rudini:disiplin militer di atas segalanya. MI memelesetkan nama IPDN sebagai akronimdari Institut Pembunuhan Dalam Negeri.Karenanya, menurut MI, untuk menutup IPDN tidak diperlukan secuil punkeberanian. Yang diperlukan hanya secuilkejujuran untuk mengakui bahwa institutitu telah menjadi sekolah yang menghasilkan para pembunuh.Dalam berita utama halaman depan MI(17/4) mengutip surat edaran MenteriDalam Negeri (No.892.22/803/SJ) yangD
                                
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32