Page 42 - Majalah Berita Indonesia Edisi 67
P. 42
42 BERITAINDONESIA, 10 Agustus 2006BERITA KHAS42 BERITAINDONESIA, 16 Mei - 15 Juni 2009 foto-foto: dok. berindoCerita Kehidupan di TerDi tengah keterbatasannya, Pak Ridwan, Ibu Erna dan PakSibarani, berjuang mengais rejeki di sela-sela keramaianterminal Kampung Melayu.ebagai Ibu Kota negara, Jakartamenjadi tempat berkumpulnyamanusia multi etnik dari seluruhpenjuru negeri. Jakarta telahbertumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi dan memacu orang-orang datangdari luar daerah untuk mengadu keberuntungan di Jakarta. Situasi tersebut, jugatidak lepas dari, masih sulitnya perekonomian di daerah untuk memperbaikikehidupan mereka.Dengan bekal seadanya, mereka berusaha bertahan hidup. Sebagian bekerjaserabutan, sebagian lagi menaruh nasibhidupnya di terminal-terminal. Otomatisterminal menjadi tempat untuk mencarisumber pendapatan. Berbagai bentuk‘warung berjalan’ bisa kita jumpai di sana.Demikian istilah ini digunakan karenamemang, tidak disediakan tempat khususuntuk berjualan di terminal.Sejauh ini, kita tidak akan menemukancerita kemapanan di terminal. Di sana kitaakan menjumpai pedagang kaki lima,penjual asongan, pengamen cilik, penjualnasi, dan pengojek berjibaku dengandebu, asap, teriknya matahari demisekantong recehan. Terminal KampungMelayu, Jakarta Timur misalnya, menjadisalah satu potret terminal yang menyimpan segudang cerita.Di hari-hari normal, Terminal Kampung Melayu merupakan salah satu titikkemacetan di Jakarta. Terminal ini jugamenjadi sudut kotor kota. Kita akanmenjumpai pot-pot pohon berubah fungsimenjadi tempat sampah. Kalau kitamelihat dari atas jembatan penyeberangan Kampung Melayu, terminal ini sudahsangat padat. Tak banyak angkutanumum yang dapat tertampung di dalamemplasemen terminal. Lalu lintas semakin macet karena banyak orang yangmenyeberang jalan seenaknya saja, tidakmelalui jembatan penyeberangan orang.Kehadiran halte TransJakarta di dalamterminal tidak cukup untuk ‘mendandani’terminal menjadi lebih manusiawi.Di banyak sudut terminal terutama diarea kosong, kita akan menemukanpengojek, pedagang asongan, anak jalanan, pedagang gorengan, penjual nasi,dan pengamen. Beberapa dari antaramereka berkenan untuk membagikansedikit cerita kepada kita.Bapak Ridwan (63), misalnya, sudahpuluhan tahun menjadi pedagang pisangdi Terminal Kampung Melayu. Untukmemenuhi kebutuhan keluarganya setiaphari, kakek yang punya lima anak danlima cucu ini berangkat pagi-pagi darirumahnya di Cisalak, Jakarta Timur.Usianya yang sudah tidak muda lagi,membuatnya tidak mampu mengangkutpeti-peti pisang dagangannya. “Sayasetiap paginya datang ke sini, terus sayabelanja ke pasar. Terus saya jual di sini,saya menyuruh tukang angkut baranguntuk mengangkatnya, “ katanya sambilmenunjuk ke arah pasar tempat diamembeli pisang sebelum dia jual lagi,yang berada di bawah jembatan layangtidak jauh dari terminal.Pak Ridwan setiap harinya memperolehpendapatan bersih Rp 20.000 per hari.“Belum lagi dipotong untuk bayar uangmakan saya di sini, dan ongkos pulangpergi, “ katanya lirih. Namun, dia tetapbersyukur karena masih bisa tetap melakukan pekerjaannya, yang walaupunminal Kampung Melayu. “Sudah lebihenak berjualan di sini, “ katanya lagi.Menjelang sore, kalau pisang-pisangdagangannya yang tidak habis dijual,dititipkannya dekat terminal. Untukdijual lagi besok harinya.Begitu juga dengan Ibu Erna (45) seSpenghasilannya pas-pasan, cukup menolong untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya bersama istrinya. Sementarabeberapa anaknya sudah berkeluarga.Meskipun jarak antara Cisalak dan Terminal Kampung Melayu cukup jauh, PakRidwan lebih memilih berjualan di TerBus dan mobil angkutan antri ngetem di Terminal KampPak Ridwan telah puluhan tahun berjualan pisang di Terminal Kampung Melayu, Jakarta.