Tekuni Penelitian Hati
David H Muljono
[DIREKTORI] Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, ini terdorong menekuni penelitian hati agar Indonesia mandiri dan tak tergantung pada negara lain dalam hal vaksin dan alat diagnostik untuk hepatitis B. Menurutnya, Indonesia sebagai wilayah endemis hepatitis B, merupakan pasar potensial bagi vaksin dan alat diagnostik untuk hepatitis B.
Menurut lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, ini keragaman etnik di Indonesia sebagai akibat persimpangan migrasi bangsa-bangsa sejak berabad-abad lalu menyebabkan keragaman genetik, termasuk virus hepatitis B. Nyaris semua subtipe virus hepatitis B ada di Indonesia.
Sebagai wilayah endemis, Indonesia merupakan pasar potensial bagi vaksin dan alat diagnostik untuk hepatitis B. Karena itu, Indonesia perlu mandiri dan tak tergantung pada negara lain.
Semasa menjadi dokter inpres di Kecamatan Wera, Bima (1981-1983), maupun di Dinas Kesehatan Mataram, Lombok (1983-1988), David sering melihat penderitaan pasien gagal hati yang memerlukan banyak transfusi darah dan menjadi beban keluarga.
“Hobi” meneliti mendorongnya bergabung pada Pusat Hepatitis Bumigora NTB pimpinan Prof Soewignjo. Hal itu dilakukan seusai jam kerjanya di Dinas Kesehatan. Apalagi saat itu Lombok menjadi tempat proyek percontohan imunisasi hepatitis B dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
David sempat menjadi peneliti tamu di Universitas Sydney sambil mengikuti pelatihan tentang teknologi produksi antibodi monoklonal selama enam bulan di tahun 1989. Ia menyelesaikan spesialisasi penyakit dalam di almamaternya tahun 1993. Kemudian bergabung pada Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sejak 1995.
Disertasinya saat mengikuti program doktor di Jichi Medical School, Tokyo, membawanya mendapatkan Ronpaku Award dari Japan Society for the Promotion of Science sebagai penghargaan atas filosofi dalam strategi mencari penyebab baru dari suatu penyakit. Dalam program doktor yang selesai tahun 2000, David meneliti epidemiologi molekuler virus hepatitis non A-E serta menemukan dua genotipe baru virus TT penyebab hepatitis non-A non-B.
WHO menggolongkan Indonesia sebagai daerah endemik sedang sampai tinggi, dengan prevalensi HbsAg positif 3-17 persen. Jika penduduk Indonesia 230 juta, artinya ada 6,9 juta hingga 39,1 juta pengidap hepatitis B, baik yang menunjukkan gejala maupun sebagai pembawa virus, di Indonesia. Hal ini yang melatarbelakangi concern David terhadap hepatitis B.
Di Indonesia, demikian David, terdapat empat subtipe virus hepatitis B. Yaitu subtipe adw yang dominan di Indonesia bagian barat, terutama Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan sebagian Kalimantan; ayw banyak ditemukan di NTT; adr dominan di Papua; sedangkan ayr di Kutai, Kalimantan, serta Bayan, Lombok.
Infeksi umumnya terjadi di masa kanak-kanak. Sering kali infeksi tidak menunjukkan gejala, namun virus tetap berada di tubuh sehingga orang bersangkutan menjadi pembawa virus hepatitis dan terancam mendapatkan hepatitis kronis, sirosis (pengerasan) hati, bahkan kanker hati. Pencegahan hepatitis B dilakukan lewat imunisasi dengan vaksin hepatitis B. Vaksin terbuat dari antigen selubung virus hepatitis B (HbsAg).
Berpijak pada hasil penelitian para seniornya, Prof Mulyanto, dan kolega mengenai distribusi subtipe HbsAg di Indonesia, David memetakan keragaman virus hepatitis B di Indonesia di tingkat DNA.
Kini ia mempelajari mutasi pada gen S, yaitu gen yang menyandi selubung virus hepatitis B. Gen ini penting bagi kesehatan masyarakat karena menjadi dasar pembuatan alat diagnostik dan vaksin. Berdasarkan penelitian itu bisa dibuat alat diagnostik dan desain vaksin yang sesuai dengan virus yang beredar di Indonesia.
Saat ini vaksin yang digunakan untuk imunisasi massal hanya berdasarkan pada salah satu subtipe yang tidak dominan di sebagian besar wilayah Indonesia. Konsekuensinya, antibodi yang ditimbulkan hanya terbatas pada subtipe terkait, tapi tidak subtipe lain.
Menurut David, vaksin efektif untuk mencegah transmisi virus hepatitis B jika antibodi yang ditimbulkan sesuai dengan subtipe/genotipe virus yang beredar di wilayah bersangkutan. Jika tidak justru berisiko menimbulkan escape mutant, yaitu virus mutan maupun virus yang sebenarnya beredar lolos dari gempuran antibodi karena tak dikenali.
Hal serupa juga terjadi pada diagnostik hepatitis B. Virus tak terdeteksi jika alat diagnostik dibuat berdasarkan subtipe virus hepatitis B yang berbeda dengan virus yang beredar. Hal ini bisa menyebabkan virus hepatitis B lolos pada penapisan darah transfusi sehingga menyebar di masyarakat.
Paparan hasil penelitian David sempat direspon positif oleh pejabat Departemen Kesehatan tiga tahun lalu dan menyatakan akan mengkaji kembali vaksin yang digunakan di Indonesia. Hal itu sempat membuat sejumlah pihak merasa gerah.
Sayangnya respons positif tidak berlanjut, Depkes menyatakan tetap menggunakan vaksin yang ada karena belum ada anjuran WHO untuk menggunakan galur virus lokal dalam vaksinasi hepatitis B.
Namun, David tetap prihatin karena ada potensi ancaman terhadap keberhasilan program vaksinasi serta penyebaran virus hepatitis B yang lolos deteksi. Sebagai peneliti ia terus mengomunikasikan kemajuan penelitiannya di pelbagai forum ilmiah nasional dan internasional untuk meningkatkan awareness tentang keberagaman subtipe virus, mutasi virus, dan pentingnya penggabungan karakteristik gen galur virus lokal pada formula vaksin baku untuk meningkatkan keberhasilan imunisasi.
Lelaki yang santun dan pemalu ini menolak menyebutkan nama kedua anak lelakinya, hasil pernikahannya dengan drg Ratna Setianingsih, spesialis orthodonsi. Tentang ayahnya hanya ia sebut pernah menjadi hakim dan berperhatian besar pada dunia pendidikan, serta menjadi anggota Dewan Penyantun sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah.
Selain berkutat di laboratorium, David juga membimbing para mahasiswa S2 dan S3 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Obsesinya, Indonesia bisa memproduksi alat diagnostik dan vaksin sendiri berdasarkan subtipe yang ada sehingga Indonesia tidak semata-mata menggunakan produk impor.
“Teknologinya ada, namun penerapannya perlu mendapat dukungan pelbagai pihak. Dukungan politik dari pemerintah, pendanaan, fasilitas, serta penerimaan kalangan profesi kesehatan serta masyarakat,” kata David. e-ti/Atika Walujani M- Kompas 29 Oktober 2004