Narasi Kehidupan Baru Strategi Budaya Batak
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (8)

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (8)
Kitab Suci mengamanatkan: “Apa yang baik yang kamu miliki, janganlah kamu biarkan difitnah.” (Rom. 14:16). Maka, kita harus memulai lebih masif, laksana apologet (Apolos) Batak; Jangan dihantui kata terlambat, untuk tidak lagi membiarkan narasi nilai-nilai luhur Batak beristirahat dalam keheningan splendid isolation yang membuatnya selama ini terdistorsi (didistorsi dan didisinformasi) dalam narasi asing yang aneh bahkan jahat.
Narasi asing (distorsi, misinformasi dan disinformasi dan/atau misleadding content) yang selama ini telah membunuh karakter Batak, dan telah menjadi onggokan limbah kehinaan, kesedihan dan tangisan hati setiap insan Hita Batak, terbungkus dalam kabung unggun asap perapian yang belum kunjung menyala terang benderang. Saatnya kita lebih menyalakannya, menyalakan api narasi strategi kebudayaan Batak (Apologet Batak), api narasi yang bersumber dari nilai-nilai luhur Batak, api narasi kontemplasi, yang transformatif dan kita gelorakan masif kolaboratif. Menyalakan selaksa api obor narasi nilai budaya strategis nan tak kunjung padam (sustainable), sebagai tugas panggilan, tugas suci, untuk menerbitkan sinar mentari filosofi mulia hidup kita, sebagai kekuatan dan obat khasiat terbaik, bukan saja sebagai balsem penyembuhan pendarahan hati yang terluka, tetapi lebih lagi, terutama, untuk merevitalisasi dan memaknai hidup dan kehidupan kita dalam kemuliaannya yang berkodrat Ilahi.
Narasi kehidupan baru yang mengubah air mata kesedihan menjadi pancuran air mancur kegembiraan, suka-cita dan kebanggaan yang tersepuh dalam kemilau emas platinum dan mutiara gemerlap, yang turun merasuk dalam jiwa dan/atau roh (tondi) kita masing-masing menuju kemajuan kehidupan baru. Herbert Kaufman (1910) dalam The Winning Fight menyebut, jalan kemajuan adalah isak tangis darah yang jatuh dari hati mereka yang hancur.[1] Tidak saja kehidupan jasmani, terlebih lagi kehidupan rohani. Hidup dalam roh (tondi): Horas tondi madingin, pir tondi matogu! Hidup dalam Roh itu adalah doktrin klasik leluhur Batak, jauh sebelum islamisasi dan kristenisasi. Yang, ironisnya, sejak islamisasi dan kristenisasi, justru terdegradasi dan terdistorsi; Yang seyogianya, hakikat fundamental religiusnya mesti lebih teraplikasi empiris dalam inkulturasi adat dan agama (Kristen maupun Islam dan agama lainnya) yang saat ini dianut masing-masing Hita Batak.
Hakikatnya, narasi itu adalah hal sangat penting dari strategi kebudayaan. Selain mempunyai karsa yang berkekuatan raksasa secara internal, juga berkekuatan dahsyat secara eksternal; Untuk memulihkan, merevitalisasi dan mengembangkan karakter Batak yang sudah sejak ribuan tahun lalu dibunuh oleh narasi-narasi pihak asing. Antara lain, dengan mengubah dan memalsukan cerita, turiturian, dongeng, sejarah Batak; Menyebut Batak tidak bermoral, tidak beradab, kanibal, bahkan memakan daging orangtua dan saudaranya sendiri, pendendam, tidak punya tatakarama dan sopan-santun (adat), tidak menghargai wanita, dan tidak mampu berpikir hal yang abstrak seperti adanya Tuhan, dan lain sebagainya. Padahal, sejak leluhur hingga hari ini, orang Batak hidup dalam sistem nilai peradabannya, Trisila (tiga habisuhon) ideologis Batak. Tetapi, sangat sedikit cerita dan narasi tertulis tentang nilai-nilai luhur peradaban ini; Lebih dominan sebagai cerita dan narasi lisan (oral story) yang secara empiris faktual hingga hari ini.
Kekuatan strategi kebudayaan itu adalah cerita dan narasi yang terdistribusikan luas, masif. Istilah cerita dan narasi secara rutin digunakan secara bergantian, yang mungkin tidak terlalu menjadi masalah dalam percakapan sehari-hari. Namun, dalam hal komunikasi strategis, Toward New Gravity (2017) membuat batasan definisi istilah antara kerangka, cerita, naratif, dan meta-naratif (frames, story, narrative and meta-narrative). Dalam Toward New Gravity dijelaskan:
Frames (bingkai), otak kita mengidentifikasi pola, membuat kategori, dan mengandalkan stereotip untuk membantu mengatur pemahaman kita tentang masuknya informasi secara konstan melalui bahasa, gambar, dan simbol. Ilmuwan kognitif menggunakan konsep bingkai— “struktur mental yang membentuk cara kita memandang dunia”
Story (cerita) sebuah cerita, sederhananya, sesuatu terjadi pada seseorang atau sesuatu. Sebuah cerita itu terpisah dan berisi; itu memiliki awal, tengah dan akhir. Cerita menceritakan rangkaian peristiwa tertentu yang terjadi di tempat dan waktu tertentu dan sering kali mengandung arketipe struktural seperti protagonis, masalah, jalan, dan imbalan. Dari mitos penciptaan hingga sarana kreatif untuk melestarikan tradisi budaya dan ingatan komunal, mendongeng adalah bahasa umum pengalaman manusia. Cerita mengirimkan ide, kepercayaan, perilaku, humor, gaya, dan tren masyarakat dari satu orang ke orang lain, meme yang diwariskan dan ditiru yang secara kolektif menciptakan budaya tempat kita hidup. Mereka dapat menghibur seperti yang dapat mereka instruksikan. Mereka menjembatani rasional dan emosional. Mereka dapat beresonansi tidak hanya dengan pesan, tetapi dengan makna.
Narrative (Narasi) sering kali digambarkan sebagai kumpulan atau sistem dari cerita terkait yang diartikulasikan dan disempurnakan dari waktu ke waktu untuk mewakili ide atau keyakinan utama. Tidak seperti cerita individual, narasi tidak memiliki bentuk atau struktur standar; mereka tidak memiliki awal atau akhir. Hubungannya simbiosis; cerita menghidupkan narasi dengan membuatnya mudah dipahami dan diakses, sementara narasi menanamkan cerita dengan makna yang lebih dalam. Jadi, “cerita dapat diceritakan”, menurut ahli strategi komunikasi Jen Soriano, “sementara narasi dipahami pada tingkat naluri dan diaktifkan oleh kata-kata, suara, sinyal, dan simbol sederhana.”
Meta-narrative (Meta-naratif) ini sangat tertanam dalam budaya atau masyarakat dan secara konsisten diulang dan direproduksi dari waktu ke waktu. Mereka memberikan kerangka dasar untuk memahami sejarah dan peristiwa terkini, dan menginformasikan konsep dasar identitas, komunitas, dan kepemilikan kita.[2]
Narasi menggabungkan komponen utama dari penceritaan dan pembingkaian, yang didefinisikan oleh profesor Arizona State University Scott W. Ruston sebagai data (cerita, apa yang diceritakan) dan pola (bagaimana mereka diceritakan dan apa yang tidak diceritakan). Proses pencocokan data dengan pola terjadi berulang kali dan terus menerus. Orang-orang memperoleh pola melalui asuhan, budaya, pendidikan, dan pengalaman. Ruston menguraikan: Saat orang mendengar cerita, mereka memperoleh data dan mendistribusikannya ke dalam peran dan hubungan sesuai dengan pola naratif yang sudah mereka ketahui dan pahami. Cerita dan bingkai mungkin atau tidak mungkin didasarkan pada analisis, tetapi kekuatan naratif berakar pada kemampuannya untuk menganalisis masa lalu untuk memahami masa kini dan menunjukkan jalan ke depan.[3]
Perihal kekuatan narasi, John A. Powell mengingatkan kita, narasi beroperasi dalam konteks sejarah dan politik yang lebih luas yang menentukan kemampuan mereka untuk mengartikulasikan dan membungkam, untuk memasukkan cerita dari beberapa orang dan menghilangkan yang lain. Cerita, seperti politik dan ekonomi, ditentukan oleh kekuasaan, seperti yang diperingatkan oleh Chimamanda Ngozi Adichie dalam ceramah TED tahun 2009: “Bagaimana mereka diceritakan, siapa yang menceritakan, kapan diceritakan, berapa banyak cerita yang diceritakan, benar-benar bergantung pada kekuasaan.” Dia melanjutkan, “Kekuatan adalah kemampuan tidak hanya untuk menceritakan kisah orang lain, tetapi juga untuk menjadikannya cerita yang pasti tentang orang itu.” Ini adalah kekuatan naratif untuk mendefinisikan, untuk membuat beberapa subjek terlihat dan sambil menghapus sejarah lainnya.[4]
Chang, Manne & Potts sangat indah menjelaskan bagaimana hubungan cerita, narasi dan budaya itu: “Cerita itu seperti bintang. Individu, berkilau dan cerah, mereka menggerakkan dan menginspirasi kita. Sementara, narasi (dan sistem naratif) adalah kumpulan cerita seperti konstelasi yang merupakan kumpulan bintang. Cerita dapat dihubungkan bersama menjadi narasi, seperti bintang dapat dihubungkan bersama menjadi konstelasi, membuat pengertian dan makna yang lebih dalam. Lalu, budaya itu seperti galaksi. Selalu berkembang dan berkembang, budaya terdiri, sebagian, narasi karena galaksi terdiri, sebagian, konstelasi. Galaksi adalah tempat tinggal bintang dan konstelasi – itu adalah rumah mereka. Demikian pula, budaya adalah rumah bagi cerita dan narasi. Dan seperti semua elemen galaksi, cerita dan narasi berada dalam keadaan gerak dan interaksi yang konstan – masing-masing memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Akibatnya, budaya juga tidak statis.”[5]
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Kaufman, Herbert. 1910. The Winning Fight. Chicago: O.W. Brewer, p, 17.
[2] Kim, Jee; Hynes, Liz; Shirazi, Nima, (Foreword), 2017: p.11-14.
[3] Kim, Jee; Hynes, Liz; Shirazi, Nima, (Foreword), 2017: p.13.
[4] Kim, Jee; Hynes, Liz; Shirazi, Nima, (Foreword), 2017: p.13.
[5] Chang, Jeff; Manne, Liz; Potts, Erin, 2018: Op.Cit.