Siapa Mengawasi Intelijen?

Pengawasan Rahasia Intelijen 03

0
52
Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin atas arahan Presiden Prabowo ‘memegang kendali’ pernyataan pers tentang aksi demonstrasi akhir Agustus 2025 yang antara lain menjarah rumah Menkeu Srimulyani. Dijelaskan, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan tegas kepada para menteri kabinet dalam Sidang Paripurna Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu, 31 Agustus 2025.
Lama Membaca: 3 menit

Pengawasan Rahasia Intelijen 03

Siapa yang mengawasi intelijen, dalam hal ini Intelijen Negara, dan lebih khusus lagi Badan Inteliijen Negara, selaku penyelenggara Intelijen di dalam negeri dan luar negeri serta yang mengkoordinir seluruh Intelijen Negara? Apakah Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), Pengadilan (yudikatif), serta Pers dan masyarakat? Pertanyaan ini menyiratkan posisi unik dan kompleksitas yang melekat pada intelijen dalam demokrasi, sebab selama berpuluh-puluh tahun, legislatif dan pengadilan serta pers dan masyarakat telah menerima pandangan bahwa pengendalian dan pengawasan kegiatan intelijen merupakan hak prerogatif eksklusif dari Presiden (eksekutif).

Intelijen memang sarat dengan prediksi, bahkan fiksi, mitos, dan misteri, sesuai dengan status unik kerahasiaannya di pemerintahan dan di benak masyarakat. Menurut Genevieve Lester (2015) dalam When Should State Secrets Stay Secret?: Accountability, Democratic Governance, and Intelligence, sifat pekerjaan rahasia dan teknis intelijen menciptakan budaya unik yang jauh dari mekanisme peraturan pemerintahan demokratis konvensional. Menurutnya, kegiatan intelijen memperburuk masalah asimetri informasi yang melekat dalam pemerintahan. Permasalahan mengatasi asimetri informasi ini merupakan inti dari akuntabilitas dan pengawasan. Mekanisme telah berkembang selama beberapa dekade untuk menyeimbangkan kembali hubungan ini dan memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Keseimbangan total, tentu saja, antara aktor intelijen dan pengawas tidak akan pernah tercapai karena sifat pekerjaan tersebut, kerahasiaan yang melekat di dalamnya, serta kepemilikan dan kendali eksekutif tradisional atas Intelijen.[1]

Dr. Ian Leigh, Profesor Hukum, Wakil Direktur Pusat Hak Asasi Manusia, Departemen Hukum, Universitas Durham, Inggris (2005) dalam More Closely Watching the Spies: Three Decades of Experiences menyebut, “Pengawasan” adalah cara untuk memastikan akuntabilitas publik atas keputusan dan tindakan badan keamanan dan intelijen. Hal ini menekankan bahwa lembaga-lembaga di bidang ini harus setia kepada negara atau konstitusi sehingga harus menjauhkan diri dari politik partai sehari-hari.[2]

Dalam mempertimbangkan pengawasan Intelijen, sejumlah pertanyaan awal mengenai desain muncul: Kepada siapa lembaga Intelijen harus bertanggung jawab (pemerintah, badan legislatif, atau badan atau orang independen)? Untuk apa (pengeluaran, kebijakan, dan operasional)? Dan kapan (sebelum atau sesudah melakukan operasi)? Menurut Prof. Dr. Ian Leigh, operasi Intelijen ini jelas sangat sensitif namun dapat menimbulkan pertanyaan kebijakan yang merupakan bidang pengawasan yang sah. Jika suatu badan pengawas mempunyai pengetahuan sebelumnya mengenai operasi-operasi sensitif atau kontroversial, hal ini akan menghambat kemampuannya untuk meninjau operasi-operasi tersebut di kemudian hari tanpa memihak. Namun, sifat operasi intelijen dan keamanan yang bersifat jangka panjang membuat pemisahan tinjauan dan aktivitas saat ini menjadi sulit dalam praktiknya.[3]

Pilihan selanjutnya menyangkut tujuan atau standar peng­awasan, apakah untuk memeriksa efisiensi atau efektivitas, legalitas atau proporsionalitas? Hal ini pada gilirannya akan mewarnai prosedur yang terlibat: analisis kebijakan atau penyelidikan faktual, apakah badan pengawas bertugas sendiri, ditugaskan oleh eksekutif atau legislatif, atau memiliki yurisdiksi untuk menerima pengaduan. Anggota parlemen mungkin paling baik bekerja dalam pengawasan kebijakan, dibandingkan pekerjaan detektif. Proses investigasi lebih banyak dilakukan di beberapa negara oleh inspektur jenderal atau komisaris independen.[4]

Selama berpuluh-puluh tahun, di berbagai negara demokrasi atau bukan, pengawasan intelijen itu dipandang sebagai hak prerogatif eksklusif dari eksekutif (Presiden, Raja. Panglima dan/atau atasan secara internal). Belakang­an, terbilang belum lama — di berba­gai negara di seluruh du­nia, termasuk di negara-negara demokrasi Barat, demikian juga di Indonesia — mulai muncul pengawasan intelijen oleh legislatif, yang juga disebut pengawasan intelijen demokratis.

Dr. Ian Leigh mengatakan, hampir tidak ada waktu yang lebih tepat untuk mempertimbangkan kapan pengawasan keamanan dan intelijen dimulai. Perdebatan mengenai pengawasan badan intelijen oleh pemerintah dan badan legislatif dimulai pada tahun 1970an. Berbagai pengalaman komparatif telah dikumpulkan dan dapat menghasilkan pembelajaran yang lebih umum, terutama bagi negara-negara yang sedang memulai proses reformasi. Selain itu, perubahan iklim sejak 11 September 2001, telah menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan komitmen terhadap keamanan dan demokrasi. Hal ini hanya dapat dicapai jika kekuatan-kekuatan baru untuk menghadapi tantangan-tantangan keamanan baru disertai dengan penekanan baru pada pengawasan badan-badan keamanan dan intelijen.[5]

Menurutnya, di Amerika Serikat pemilihan tahun 1975 sebagai awal pengawasan intelijen mungkin terkesan sewenang-wenang. Tentu saja sudah ada undang-undang sebelumnya, terutama di Amerika Serikat dan Jerman (dan komite parlemen di Belanda sejak tahun 1952). Namun, pertengahan tahun 1970-an menandai dimulainya sistem demokrasi liberal yang mengungkap pelanggaran yang dilakukan oleh badan keamanan dan intelijen, yang telah terbukti menjadi katalis utama reformasi di seluruh dunia. Setelah Amerika Serikat, Australia dan Kanada membuat undang-undang mengenai pengawasan intelijen pada tahun 1979 dan 1984.[6]

Di Indonesia, pengawasan intelijen mulai diatur dalam UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Bagian Ketiga tentang Pengawasan (Pasal 43) mengamanatkan lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) berbewenang melakukan pengawasan (Pengawasan Eksternal), selain Pengawasan Internal yang dilakukan oleh pimpinan masing-masing. Dalam melaksanakan pengawasan, DPR-RI membentuk tim pengawas tetap yang terdiri atas perwakilan fraksi dan pimpinan komisi di DPR-RI yang khusus menangani bidang Intelijen serta keanggotaannya disahkan dan disumpah dalam Rapat Paripurna DPR-RI dengan ketentuan wajib menjaga Rahasia Intelijen.

 

Advertisement

Sebelumnya 02 || Bersambung 04

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan dari Buku Budi Gunawan: Manusia Perang Akal Berkhidmat Negarawan

 

Footnotes:

[1] Lester, Genevieve, 2015. When Should State Secrets Stay Secret?: Accountability, Democratic Governance, and Intelligence. New York: Cambridge University Press, p. 1-2.

[2] Leigh, Ian, 2005. More Closely Watching the Spies: Three Decades of Experiences. In Born, Hans; Loch K. Johnson and Ian Leigh (Ed.); Who’s Watching the Spies: Establishing Intelligence Service Accountability. Washington: Potomac Books, p. 7

[3] Leigh, Ian, 2005. More Closely Watching the Spies, p. 7

[4] Leigh, Ian, 2005. More Closely Watching the Spies, p. 7

[5] Leigh, Ian, 2005. More Closely Watching the Spies, p. 3.

[6] Leigh, Ian, 2005. More Closely Watching the Spies, p. 3-4.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini