Ladang Masa Depan di Tanah Hari Ini

Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai Prototipe Masyarakat 6.0

0
Santri Al-Zaytun Bertani
Di Al-Zaytun, pendidikan berarti membentuk sistem hidup: bertani, beternak, mengelola dapur, menjaga kebersihan, menyusun logistik, dan hidup dalam disiplin spiritual.
Lama Membaca: 5 menit

Politeknik Tanah Air Indonesia Raya belum dibangun. Tapi gagasannya sudah mendobrak batas-batas lama tentang pendidikan tinggi. Di kampus ini, setiap mahasiswa kelak tak hanya diberi ruang belajar, tapi ruang hidup: 1.400 meter persegi lahan untuk diolah, dihidupi, dan dipertanggungjawabkan. Bukan sebagai praktik sesaat, tapi sebagai ekosistem pendidikan. Sebuah eksperimen sosial yang menyatukan teknologi, spiritualitas, dan produktivitas. Dan barangkali, akan menjadi prototipe masyarakat masa depan.

Di banyak kampus, tahun ajaran dibuka dengan brosur, iklan jurusan, dan ambisi akreditasi. Tapi kampus yang satu ini, bahkan sebelum dibangun, sudah punya arah: bukan mencetak gelar, melainkan menumbuhkan kehidupan. . Atau lebih tepatnya, menanam kesadaran menumbuhkan kemanusiaan. Politeknik Tanah Air Indonesia Raya dirancang bukan sebagai institusi pendidikan konvensional, tapi sebagai ruang hidup bersama. Di mana mahasiswa kelak akan menggenggam cangkul, mengelola dapur, dan menyemai benih secara harfiah, bukan metaforis.

Ia tidak dimulai dari diskusi akademik, melainkan dari dapur umum, ladang terbuka, dan struktur sosial yang sudah berjalan di Al-Zaytun. Kampus ini dibayangkan sebagai tempat di mana mahasiswa tidak sekadar belajar teori, tapi hidup dalam praktik. Tempat nilai, pengetahuan, dan keterampilan tumbuh bersamaan, dari tanah yang sama.

Barangkali inilah prototipe masyarakat 6.0 yang dirancang di pinggiran: model pendidikan yang menyatu dengan kerja, nilai, dan tanggung jawab. Pendidikan bukan sebagai ruang kelas, tapi sebagai ekosistem kehidupan yang menghidupi dan mendewasakan.


1.400 m² per Mahasiswa: Kampus atau Kebun Nilai?

Di sebagian besar perguruan tinggi, satu mahasiswa berarti satu kursi, satu meja, dan mungkin satu akun e-learning. Tapi dalam rancangan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya, satu mahasiswa berarti satu lahan seluas 1.400 meter persegi. Bukan untuk dipajang dalam silabus, tapi untuk diolah, ditanami, dan dipertanggungjawabkan.

Lahan itu bukan “fasilitas praktik,” melainkan ruang hidup. Setiap mahasiswa akan berhadapan langsung dengan siklus alam: memilih benih, memupuk, mengatur irigasi, memanen. Mereka tidak hanya belajar tentang produksi pangan, tapi juga tentang manajemen, logistik, hingga distribusi hasil. Dalam proses ini, kerja menjadi bagian dari kurikulum, dan tanah menjadi penguji paling jujur bagi ketekunan dan etika.

Inilah yang disebut sebagai novum gradum: lompatan baru dalam dunia pendidikan. Di sini, keberhasilan tidak ditentukan oleh nilai akhir semester, tapi oleh seberapa bijak mahasiswa memperlakukan tanah yang dipercayakan padanya. Kampus ini tidak menawarkan janji kerja setelah lulus, tapi menumbuhkan kesanggupan untuk menciptakan pekerjaan sejak masih belajar.

Sebuah kebun nilai: bukan hanya tempat bertani, tapi tempat menanam disiplin, keuletan, dan keberdayaan. Di atas tanah itu, kurikulum hidup akan dijalani. Dan dari sana, mungkin peradaban baru akan disemai.

Bupati Indramayu Lucky Hakim
Bupati Indramayu, Lucky Hakim menyoroti bagaimana Al-Zaytun telah memberi warna berbeda bagi wajah Indramayu. Dia menyampaikan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan kampus Politeknik Tanah Air Indonesia Raya sebagai pusat peradaban dan keberdayaan.


Pendidikan sebagai Simulasi Kehidupan Sosial

Dalam rancangan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya, mahasiswa tidak dibayangkan sebagai peserta didik yang menunggu instruksi, melainkan sebagai bagian dari sistem sosial yang hidup. Mereka akan bertani, beternak, mengolah hasil panen, mengelola dapur umum, hingga mendistribusikan logistik secara bergiliran. Tidak ada sekat kaku antara akademik dan praktikal; semua aktivitas adalah bagian dari pembelajaran.

Inilah bentuk pendidikan yang bukan sekadar menyiapkan seseorang untuk bekerja, tapi untuk hidup dalam tatanan masyarakat: mengelola sumber daya, menyelesaikan konflik, berbagi tanggung jawab, dan mengambil keputusan bersama. Ini bukan “praktikum” yang dijadwalkan beberapa jam seminggu, tapi kehidupan harian yang dijalani secara penuh.

Advertisement

Sistem ini sekaligus menjadi alat untuk menanamkan nilai-nilai sosial dan spiritual: gotong royong, kejujuran, kedisiplinan, serta kesadaran akan proses dan dampak dari setiap keputusan. Dalam struktur yang dibangun, tidak ada yang semata-mata “belajar”, semua mengalami. Politeknik ini akan menjadi ladang eksperimen sosial, di mana pendidikan bukan ditransfer dari dosen ke mahasiswa, tetapi dibentuk melalui interaksi dan tanggung jawab bersama.

Inilah konteks lahirnya pendekatan L-STEAM: Law, Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics. Bukan sekadar akronim, melainkan refleksi dari keseharian yang menyatukan nilai, teknologi, dan kehidupan nyata. Pendidikan tidak lagi menjadi proyek institusi, tapi bagian dari simulasi masyarakat masa depan yang utuh dan berkesadaran.


Teknokrat yang Tetap Menggarap Tanah

Apa jadinya jika insinyur masa depan tidak takut lumpur, dan ahli teknologi bisa menakar hasil panen? Dalam konsep Politeknik Tanah Air Indonesia Raya, mahasiswa tidak dipisahkan dari tanah. Mereka justru ditumbuhkan bersama tanah. Pendidikan tinggi di sini bukan berarti menjauh dari realitas, tapi justru semakin dalam membacanya, memprosesnya, dan mengubahnya menjadi nilai.

Inilah konsep “teknokrat spiritualis”: seseorang yang cakap secara teknis, berani secara moral, dan tetap membumi dalam keseharian. Di sinilah teknologi dan etika saling menguatkan. Mahasiswa diajak bukan hanya menguasai sistem irigasi berbasis IoT, tapi juga mengerti pentingnya berbagi air. Mereka belajar bukan hanya tentang produksi pangan, tapi juga tentang keadilan dalam distribusinya. Mereka boleh mahir algoritma, tapi juga dituntut tahu batas dan tanggung jawab sosialnya.

Kurikulum ini melampaui batas-batas akademik konvensional. Ia tidak hanya mencetak ahli, tapi membentuk manusia yang utuh: mereka yang bisa bekerja dengan mesin sekaligus menyapa petani, mereka yang menghitung hasil panen sambil menjaga kelestarian.

Barangkali inilah esensi dari pendidikan berbasis “jalmo utomo”, manusia utama yang tidak tercerabut dari tanah tempat berpijaknya. Yang tak hanya menanam padi, tapi juga menanam makna. Yang bisa menulis kode komputer, tapi tak canggung menyabit rumput atau memandikan sapi. Inilah model teknokrat masa depan: bukan yang menjauh dari rakyat, tapi yang tumbuh dari rahim masyarakat.


Eksperimen Abad 21: Pendidikan atau Komunitas Masa Depan?

Pertanyaannya kini bukan lagi: “kampus seperti apa yang akan dibangun?” melainkan: “masyarakat seperti apa yang sedang dirintis?” Politeknik Tanah Air Indonesia Raya tak sekadar menggagas cara baru belajar, tapi juga memproyeksikan bentuk baru kehidupan bersama.

Jika satu kampus ini mampu menghadirkan komunitas mandiri, yang memproduksi pangan, energi, dan sistem nilai sendiri, maka bayangkan jika model ini direplikasi hingga 500 titik. Artinya, akan ada 500 simpul masyarakat baru yang tak bergantung pada negara, pasar, atau tren global. Setiap kampus bukan lagi tempat mengejar gelar, melainkan pusat penghidupan dan pematangan manusia.

Di sinilah gagasan Masyarakat 6.0 menemukan manifestasinya: ketika teknologi tidak meminggirkan manusia, tetapi menguatkan relasi antarmanusia dan lingkungan. Ketika spiritualitas dan keberdayaan ekonomi bisa berjalan seiring. Ketika belajar tak lagi tentang ranking dan reputasi, tapi tentang kemampuan menciptakan sistem yang hidup dan adil.

Politeknik ini, jika terwujud, akan menjadi ladang eksperimen sosial paling radikal yang pernah dicoba dalam sejarah pendidikan Indonesia modern. Ia bukan hanya menjawab krisis pendidikan, tapi juga menantang ulang cara kita membayangkan masa depan bangsa.

Mungkin inilah titik awal lahirnya “desa futuristik” Indonesia. Tempat di mana peradaban dibangun dari akar, bukan atap. Dari komunitas yang tidak menunggu, tapi menanam.


Belajar Sambil Menghidupi

Pendidikan, dalam rancangan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya, tidak dimulai dari ruang kelas. Ia dimulai dari tanah, dari dapur, dari air yang harus dibagi adil, dan dari logistik yang harus disusun sendiri. Di sinilah belajar bukan soal hafalan, tapi soal keberanian untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan bertumbuh bersama.

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kampus ini justru merancang diri sebagai simpul utuh: antara teknologi dan tanah, antara spiritualitas dan produksi, antara pengetahuan dan nilai. Setiap mahasiswa tidak hanya dicetak untuk pasar kerja, tapi dibentuk menjadi bagian dari komunitas yang hidup. Komunitas yang berdaulat atas pangan, sistem, dan masa depannya sendiri.

Jika eksperimen ini berhasil, ia bisa mengubah cara bangsa ini memandang pendidikan. Dari sesuatu yang diajarkan, menjadi sesuatu yang dijalani. Dari proyek pembangunan SDM, menjadi proyek pembentukan manusia.

Maka kampus ini dirancang bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ladang, di mana benih teknokrat ditanam, dan peradaban masa depan dipanen.

(Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Baca juga:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini