
Dalam presentasinya di Kampus Al-Zaytun, Prof. Dr. Sri Widiyantoro menyoroti sistem pendidikan berasrama Al-Zaytun sebagai contoh nyata ekosistem pembelajaran masa depan. Ia menegaskan bahwa pendidikan seharusnya tidak sekadar mengajar ilmu, tetapi juga membentuk manusia utuh yang berpikir kritis dan berakhlak. Proses itu, menurutnya, harus dilakukan dengan mengintegrasikan ilmu, iman, dan karakter ke dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Prof. Dr. Sri Widiyantoro, Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, hadir sebagai pembicara dalam acara Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 yang digelar pada Ahad, 15 Juni 2025, di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Kampus Al-Zaytun. Acara ini dihadiri lebih dari dua ribu peserta dari berbagai latar belakang (guru, siswa, mahasiswa, orang tua, hingga petani) dengan mengangkat tema “Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad 21 dan Usia 100 Tahun Kemerdekaan.”
Prof. Sri Widiyantoro menyampaikan pandangan dan pengalamannya mengenai arah transformasi pendidikan nasional, dengan menekankan pentingnya pendidikan karakter yang terintegrasi dengan ilmu dan teknologi. Meski berlatar belakang keilmuan geofisika, Prof. Sri Widiyantoro menyebut dirinya sebagai pelaku pendidikan yang selama ini turut membimbing dan mendampingi mahasiswa, baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana.
“Saya bukan ahli pendidikan,” ujarnya, “tapi saya senang belajar tentang transformasi pendidikan.” Ia menyampaikan pandangannya dengan merujuk pada pengalaman akademik dan pembinaan mahasiswa yang dijalaninya selama puluhan tahun, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Baginya, pendidikan merupakan fondasi utama dalam menyiapkan generasi masa depan, terutama dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
Prof. Sri Widiyantoro mengawali dengan refleksi tentang waktu dan urgensi. Ia mengingatkan bahwa dua dekade menuju 2045 bukanlah waktu yang panjang. “Tahun 2005 terasa baru kemarin,” katanya, “dan 2045 akan datang dengan sangat segera.” Oleh karena itu, ia menilai bahwa sistem pendidikan Indonesia harus bersiap sejak sekarang, tidak hanya melalui perbaikan kurikulum atau sarana, tetapi juga transformasi mendasar dalam cara pandang terhadap tujuan pendidikan itu sendiri.
Salah satu pokok gagasan yang ia tekankan adalah pentingnya membentuk peserta didik sebagai manusia utuh. “Pendidikan bukan hanya soal akademik,” katanya, “tapi pembentukan akal, adab, dan akhlak.” Menurutnya, pendidikan seharusnya mengintegrasikan ilmu, iman, dan karakter. Lulusan ideal, dalam pandangannya, adalah mereka yang mampu berpikir kritis, memiliki empati sosial, dan siap menghadapi dinamika global secara bijak dan bertanggung jawab.
Prof. Sri Widiyantoro juga menyampaikan bahwa pengalamannya sebagai mahasiswa di luar negeri turut membentuk pandangannya tentang pentingnya pembinaan karakter dalam pendidikan. Ia menceritakan bahwa meskipun banyak dari akademisi luar negeri yang ia temui menganut pandangan agnostik, namun nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab tetap sangat tinggi. Ia mencontohkan profesornya di MIT yang berprinsip kuat dalam mendampingi mahasiswa. “Kalau saya menerima mahasiswa, saya tidak mau mahasiswa saya gagal,” ujarnya mengutip sang profesor. Prinsip tersebut, menurut Prof. Sri Widiyantoro, membentuk komitmennya sebagai pembimbing mahasiswa untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa yang ia dampingi dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Pengalaman akademik lintas negara itu menjadi dasar bagi Prof. Sri Widiyantoro untuk menekankan bahwa pendidikan perlu memadukan pembelajaran kognitif dengan pembentukan etika dan karakter. Ia menyebut bahwa orientasi pendidikan ideal bukan sekadar meluluskan, melainkan mengangkat derajat manusia dan bangsa. “Pendidikan bukan hanya di kelas, tapi dalam seluruh pengalaman hidup,” tegasnya.

Dalam pidatonya, Prof. Sri Widiyantoro menyambut baik sistem pendidikan berasrama yang diterapkan di Al-Zaytun. Ia menyebut bahwa pendekatan tersebut sejalan dengan konsep ekosistem pembelajaran fleksibel yang ia gagas, di mana setiap aspek kehidupan baik guru, siswa, dapur, kebun, maupun teknologi, menjadi bagian dari proses belajar yang utuh. “Sebenarnya ekosistem belajar fleksibel sudah ada di sini,” ujarnya merujuk pada Al-Zaytun.
Ia juga membagikan pengalaman masa kecil saat sekolah di Karanganyar. Ia mengenang masa ketika belum ada listrik, dan sekolah ditempuh dengan berjalan kaki. Ia menyatakan bahwa nilai utama pendidikan pada masa itu, dan yang tetap relevan hingga kini, adalah belajar berpikir dan belajar menyelesaikan masalah. “Pendidikan itu intinya belajar berpikir (to think) dan belajar menyelesaikan masalah (to solve problems),” katanya.
Dalam menyusun arah transformasi pendidikan, Prof. Sri Widiyantoro menyoroti pentingnya menyesuaikan isi dan metode pembelajaran dengan kebutuhan nyata kehidupan masyarakat. Ia menegaskan bahwa kurikulum harus bersifat kontekstual dan berbasis proyek, bukan sekadar mengejar standar formal yang kaku. “Dorong project-based learning yang terhubung dengan masalah sosial, lingkungan, dan teknologi,” katanya. Menurutnya, pengalaman belajar yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari lebih efektif dalam membentuk pola pikir mandiri dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Ia kemudian mencontohkan masa kecilnya saat di sekolah dasar, ketika ia dan teman-temannya harus turun ke sawah untuk belajar menanam padi. “Kami menanam padi, kemudian memanen, dan menikmati hasilnya dalam bentuk makanan. Rasanya berbeda sekali,” ujarnya. Pengalaman itu menjadi salah satu bentuk awal pendidikan berbasis proyek yang secara langsung menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, dan pemahaman kontekstual.
Prof. Sri Widiyantoro juga menggarisbawahi bahwa pendidikan semestinya menjadi kekuatan peradaban. Ia merujuk pada negara-negara dengan sejarah pendidikan panjang seperti Inggris, yang memiliki universitas berusia hampir seribu tahun. Meski menyadari bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal itu, ia melihat peluang besar untuk mengejar ketertinggalan tersebut melalui pendidikan yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. “Pendidikan harus berakar pada nilai-nilai luhur keindonesiaan dan spiritualitas,” ujarnya, seraya mengingatkan pentingnya membangun jiwa nasionalis dan inovatif pada generasi baru.
Peran guru, dalam pandangan Prof. Sri Widiyantoro, tidak lagi bisa dipahami hanya sebagai penyampai materi. Guru harus hadir sebagai pembimbing perjalanan hidup peserta didik. “Guru bukan hanya mengajar, tapi menemani proses tumbuh peserta didik,” katanya. Ia mengutip pepatah Jawa, “guru itu digugu lan ditiru“, dipercaya dan diteladani. Oleh karena itu, ia mendorong adanya investasi besar dalam pengembangan profesionalisme guru dan dosen. Pendidikan, katanya, adalah investasi jangka panjang yang tidak boleh dianggap sebagai beban, melainkan prioritas.
Dalam pidatonya, Prof. Sri Widiyantoro tidak mengabaikan pentingnya teknologi dalam proses pendidikan. Ia menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 telah mempercepat perubahan dalam pola belajar dan bekerja, termasuk penggunaan platform digital seperti Zoom yang kini menjadi bagian dari rutinitas. Ia mengingatkan bahwa infrastruktur seperti akses internet, perangkat teknologi, dan literasi digital harus diperkuat untuk mendukung pembelajaran yang fleksibel. Namun demikian, ia menekankan bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan tujuan utama pendidikan.
Terkait dengan berkembangnya kecerdasan buatan (AI), Prof. Sri Widiyantoro bersikap terbuka dan pragmatis. Ia bahkan menyampaikan bahwa AI, termasuk aplikasi seperti ChatGPT, bisa dimanfaatkan secara bijak untuk meningkatkan kualitas penulisan akademik, selama tidak menggantikan proses berpikir dan riset itu sendiri. “Asal jangan menyuruh ChatGPT buat papernya dari awal,” ujarnya. Menurutnya, penggunaan AI untuk membantu proofreading atau mengingatkan kembali informasi yang sudah dipelajari bisa menjadi hal yang positif, asalkan penggunaannya tetap bertanggung jawab.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa pendidikan harus memiliki visi jangka panjang. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap sistem yang terlalu fokus pada nilai akademik dan les tambahan, yang justru mengurangi ruang anak-anak untuk bermain dan bereksplorasi secara alami. Ia mendorong agar pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan motivasi dari dalam diri peserta didik. “Tanpa sense of purpose, pendidikan bisa jadi hanya rutinitas mengejar nilai, ijazah, atau ranking, kosong dari makna,” ujarnya. Sebaliknya, dengan adanya tujuan yang jelas, siswa akan belajar dengan motivasi intrinsik, dan guru akan mengajar dengan kesungguhan.
Menutup pidatonya, Prof. Sri Widiyantoro menyampaikan pesan yang sederhana namun mengena: “Jika ingin melihat Indonesia Emas 2045, lihatlah pendidikan hari ini. Jika ingin melihat pendidikan hari ini, lihatlah siapa gurunya.” Ia menyampaikan apresiasi terhadap Al-Zaytun yang telah membangun sistem pendidikan terpadu dari usia dini hingga perguruan tinggi, serta dorongan bagi setiap elemen pendidikan, termasuk petani dan tenaga pendukung lainnya, untuk terus belajar dan berkembang.
Dalam pandangannya, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bangsa maju, asalkan pendidikan dikelola dengan serius dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Pendidikan bukan sekadar mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang siap memperbaiki masyarakat dan bangsanya. (Atur/TokohIndonesia.com)