Catatan untuk Para Pengecut Digital

Yang Tunduk Sebelum Ditundukkan

0
17
Catatan untuk Para Pengecut Digital
TikTok tak melarang, tapi mematikan. Bukan karena ditekan, tapi karena takut. Diam yang disamarkan sebagai etika, ditampilkan di layar sebagai kehati-hatian.
Lama Membaca: 4 menit

Apa yang tak viral, tak dianggap penting. Apa yang tak muncul di layar, tak dianggap terjadi. Bukan karena tak ada yang peduli, tapi karena algoritma tak mengizinkan.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian Lorong Kata yang membedah relasi kekuasaan, kritik, dan empati publik dalam demokrasi Indonesia:

  1. Kemarahan yang Sah. Menegaskan bahwa protes rakyat bukan gejala anarki, melainkan bentuk akumulasi luka akibat pengabaian.
  2. Ciri Orang Tolol Sedunia. Membongkar ironi ketika wakil rakyat mencemooh suara publik, dan bagaimana kata bisa jadi sumber delegitimasi.
  3. Ketika Rakyat Dianggap Bawahan. Melihat lebih jauh: bukan hanya pada insiden, tapi pada logika kekuasaan yang menyuburkan ketimpangan relasi.
  4. Affan Dilindas, Tanggung Jawab Menguap. Menunjukkan bagaimana tragedi rakyat sering hanya dijawab dengan ucapan duka dan janji bantuan, tanpa tanggung jawab politik yang nyata.
  5. Cara Halus Membungkam Suara. Mengurai taktik halus kekuasaan membatasi kritik publik, bukan dengan larangan eksplisit, melainkan dengan atmosfer takut.
  6. Catatan untuk Para Pengecut Digital. Mengungkap bagaimana sensor modern tidak lagi datang dari larangan, tapi dari algoritma yang memilih diam, dan platform yang tunduk bahkan sebelum ditundukkan.

Tak ada mesin yang bekerja secepat algoritma untuk mengatur isi kepala begitu banyak orang dalam waktu bersamaan. Ia tidak tahu mana kebenaran, mana kebohongan. Ia tak mengenal etika, tak paham kepentingan publik, tak peduli pada sejarah, apalagi keadilan. Ia hanya menjalankan logika tunggal: tunjukkan apa yang paling mungkin diklik, ditonton, dibagikan.

Dan dalam sistem yang dikendalikan oleh logika semacam itu, bukan yang penting yang muncul, tapi yang paling memancing. Bukan yang perlu didengar, tapi yang paling bisa memicu reaksi. Maka yang terangkat bukan argumen, melainkan amarah. Yang tersebar bukan pemikiran, tapi sensasi. Dan tanpa kita sadari, perlahan algoritma mengubah bukan hanya apa yang kita lihat, tapi juga bagaimana kita berpikir.

Ketika publik sibuk berbagi, membalas, menggulir, dan menyukai, sedikit yang sempat bertanya: siapa yang memilihkan ini semua? Siapa yang memutuskan bahwa potongan video itu muncul di layar, dan bukan berita tentang orang yang tewas saat aksi damai? Siapa yang menyingkirkan suara kritis, lalu menggantinya dengan konten komedi politik dua puluh detik atau narasi ‘optimisme’ dari pejabat publik?

Jawabannya mungkin tak kasat mata, tapi sangat nyata: algoritma.

Catatan untuk Para Pengecut Digital

TikTok, sebagai platform yang tumbuh dari kecepatan dan kecanduan visual, menjadi contoh paling terang tentang bagaimana algoritma bisa tunduk pada kekuasaan bahkan sebelum ada tekanan resmi. Saat demonstrasi besar berlangsung di Indonesia, TikTok secara sepihak menonaktifkan fitur siaran langsung. Tidak ada larangan pemerintah, tidak ada perintah hukum. Yang ada hanyalah keputusan sepihak: untuk diam. Dan diam itu bukan netralitas, ia adalah keberpihakan yang disamarkan sebagai kehati-hatian.

Langkah itu tak diumumkan secara terbuka. Hanya pelan-pelan, satu per satu Live menghilang, dan suara dari jalanan tak lagi bisa diakses secara real time. Di saat media televisi menyiarkan studio talk show yang dingin, dan media daring sibuk menulis ulang pernyataan pejabat, satu-satunya jendela langsung ke lapangan… ditutup oleh mesin.

Inilah yang membuat TikTok layak disebut “pengecut digital”: bukan karena ia satu-satunya platform yang menghadapi tekanan, tapi karena ia yang paling cepat menunduk. Platform lain: Twitter, YouTube, bahkan Instagram, tetap membiarkan siaran langsung berlangsung meski dalam tekanan. TikTok mengambil langkah berbeda: bukan melarang, tapi mematikan. Bukan menyanggah, tapi menghapus. Ia menyensor bukan karena terpaksa, tapi karena enggan menanggung risiko. Ketakutan korporat itu dibungkus rapi dalam narasi etika dan keamanan.

Namun TikTok tidak sendiri dalam dilema ini. Instagram dan Facebook (Meta) juga punya catatan panjang soal respons terhadap konten sensitif. Mereka kerap menyaring konten bernuansa politik, menghapus unggahan yang dianggap melanggar standar komunitas, bahkan saat konteksnya adalah advokasi publik. Tapi yang membuat mereka berbeda adalah: sensor itu lebih sering terjadi karena tekanan publik atau regulasi formal, bukan langkah diam-diam.

YouTube, di sisi lain, justru cenderung menjadi platform yang paling tahan terhadap tekanan kekuasaan. Di banyak negara, ia justru diblokir karena tidak bersedia menyensor kontennya sesuai permintaan rezim. Di Iran, China, bahkan Turki, YouTube pernah dibatasi sepenuhnya. Tapi ketegaran itu membuatnya justru menjadi tempat terakhir bagi suara-suara yang ditekan di ruang lain. Ia memang bukan tanpa cacat, tapi jarang tunduk tanpa sebab.

Advertisement

Kondisi ini menunjukkan satu hal: bahwa setiap platform punya logikanya sendiri, dan tingkat keberanian yang berbeda. Ada yang rela mengorbankan fitur demi menjaga kenyamanan bisnis. Ada yang bersedia diblokir demi menjaga ruang terbuka. Ada pula yang memilih diam, bukan karena tak punya suara, tapi karena terlalu takut mendengar.

Kita sering mengira bahwa sensor datang dari undang-undang atau polisi dunia maya. Tapi hari ini, sensor bisa datang dalam bentuk yang lebih licin: dari algoritma yang tak terlihat, dari tombol yang tak lagi bisa ditekan, dari fitur yang mendadak menghilang. Sensor yang tidak diumumkan, tapi sangat efektif. Sensor yang tidak melarang bicara, tapi memastikan tak ada yang mendengar.

Ini bukan sekadar isu teknologi. Ini soal bagaimana demokrasi perlahan kehilangan medianya. Bagaimana suara rakyat tak lagi dibungkam dengan ancaman, tapi diabaikan lewat sistem yang didesain untuk kenyamanan, bukan kebenaran.

Ketika algoritma menjadi kurator kenyataan, maka kenyataan yang tak viral perlahan dianggap tidak penting. Bahkan tidak ada.

Dan mungkin di situlah ironi terbesar hari ini: semakin banyak orang bicara, semakin sedikit yang didengar. Yang jernih tenggelam dalam banjir noise. Yang pelan ditenggelamkan oleh kecepatan. Dan yang mendalam, dikalahkan oleh logika “yang penting ramai.”

Barangkali kelak kita akan mengenang masa ini bukan sebagai era keterbukaan informasi, tapi era ketika informasi kehilangan arti. Ketika semua hal dikemas agar viral, dan semua yang tak viral… dianggap tak perlu dibicarakan.

Dan kita pun, pelan-pelan, belajar percaya pada yang muncul paling sering, bukan pada yang paling benar. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, siapa yang paling sering menyensor kebenaran hari ini?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments