Dalihan Na Tolu di Zaman Digital

Masih Perlukah Kita Tahu Posisi?

0
70
Dalihan Na Tolu
Struktur Dalihan Na Tolu sebagai sistem relasi sosial yang tetap hidup dalam masyarakat Batak modern.
Lama Membaca: 4 menit

Kita hidup di zaman di mana semua orang bebas bersuara, tapi makin sedikit yang tahu bagaimana seharusnya berbicara. Di situ, Dalihan Na Tolu menjadi penting. Bukan karena ia bagian dari adat Batak, tapi karena ia menyimpan sistem relasi yang tahu menata tempat, peran, dan sikap—hal yang tak pernah ketinggalan zaman.

Saya orang Batak. Lahir dan besar di tengah keluarga Batak yang masih kuat memegang nilai-nilai kekerabatan. Sebagai anak sulung, saya lebih dulu diperkenalkan pada siapa itu hulahula, siapa itu boru, dan bagaimana bersikap kepada keduanya, bagaimana memerankan keduanya. Bukan lewat ceramah atau buku, tapi lewat pengalaman sehari-hari: menyaksikan bagaimana Bapak saya menyapa hulahula dengan hormat, bagaimana Mama saya merangkul boru dengan lembut.

Saya juga diajak turut hadir dalam berbagai urusan keluarga besar. Bukan sebagai pengambil keputusan, karena Bapak saya masih ada dan memegang peran itu. Tapi saya belajar dengan mengamati. Menyimak bagaimana struktur sosial Batak berjalan bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai cara hidup yang penuh rasa.

Nilai-nilai itu tidak diajarkan di sekolah. Tapi saya menjalani dan menghidupinya—di ruang makan, di rapat keluarga, di pesta adat, dan bahkan dalam cara kami berkomunikasi sehari-hari.

Kini, interaksi sosial banyak bergeser ke ruang digital: grup WhatsApp keluarga, diskusi daring, hingga media sosial. Semua orang tampak setara. Semua bisa bicara. Tapi justru karena itu, sering terjadi gesekan kecil yang memunculkan ketegangan. Bukan karena perbedaan pendapat, tapi karena hilangnya satu hal penting: tidak tahu tempat.

Dan saya mulai bertanya: “Apakah Dalihan Na Tolu masih punya tempat di zaman yang serba cepat dan serba setara ini?”

Dalihan Na Tolu bukan sistem yang mati. Ia bukan peninggalan masa lalu, tapi bagian dari kehidupan yang terus berjalan dalam keluarga dan komunitas Batak hingga hari ini.

Secara harfiah berarti “tungku berkaki tiga,” Dalihan Na Tolu merepresentasikan struktur relasi sosial antara hulahula (pihak pemberi perempuan), dongan tubu (sesama marga), dan boru (pihak penerima perempuan). Tapi ini bukan sistem kasta. Tidak ada yang tetap lebih tinggi. Yang ada adalah peran yang dinamis—yang berubah sesuai konteks dan dijalani dengan kesadaran akan tanggung jawab, bukan kekuasaan.

Seperti dijelaskan dalam Hita Batak Jilid 1:

“Dalihan Na Tolu merupakan lambang semua kekuatan peradatan yang ada dan menjadi sumber dari semua peraturan-peraturan adat yang ada.”

Advertisement

Saya menyaksikan sendiri betapa sistem ini hidup. Di pesta adat pernikahan sepupu, misalnya, seorang saudara dari pihak boru maju menyampaikan sesuatu kepada hulahula dengan nada yang kurang pas. Seorang dongan tubu lalu mendampinginya. Bukan untuk menegur keras, tapi untuk membantu menyampaikan ulang dengan lebih tepat. Itu bukan koreksi kasar. Itu pelajaran sosial yang halus tapi efektif. Di situlah saya mengerti: Dalihan Na Tolu mendidik lewat kebiasaan, bukan lewat ceramah.

Di dunia digital yang tanpa batas, struktur relasi itu seakan hilang. Kita terbiasa merespons siapa saja dengan gaya yang sama. Tapi saat struktur menghilang, kepekaan pun ikut lenyap. Kita jadi mudah menyela, menyanggah, bahkan menyindir—tanpa sadar kepada siapa kita bicara.

Dalihan Na Tolu bisa menjadi alat yang membantu generasi muda menavigasi relasi di era digital. Ia bukan alat kontrol sosial yang kaku, tapi kerangka sosial yang menumbuhkan kepekaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Hita Batak Jilid 1:

“Hubungan fungsional DNT itu didasarkan kepada holong (kasih sayang) yang lahir dari pertalian darah dan perkawinan yang menjadi inti kehidupan DNT.”

Saya melihat relevansinya dalam banyak hal—termasuk dalam organisasi. Di tim kerja, ada yang berperan sebagai hulahula (mentor), boru (eksekutor), dan dongan tubu (rekan setara). Ketika semua tahu peran, kerja sama jadi lebih harmonis. Ketika ada yang tidak tahu posisi, kerja tim mudah pecah. Maka Dalihan Na Tolu bukan hanya nilai adat, tapi bisa menjadi dasar social intelligence anak muda zaman sekarang.

Sebagaimana ditekankan dalam buku Hita Batak:

“Ketiga tungku itu berukuran sama dan seimbang, bermakna persamaan derajat secara kontekstual dalam perbedaan kedudukan, peranan dan fungsi setiap orang dalam adat.”

Sebagian mungkin menganggap nilai-nilai seperti ini sudah usang. Tapi justru di zaman yang terlalu cepat, terlalu bebas, dan terlalu bising, kita butuh nilai yang memberi arah.

Dalihan Na Tolu adalah nilai itu. Ia bukan untuk membatasi, tapi untuk menjaga. Ia tidak menuntut kita untuk kembali ke masa lalu, tapi mengajak kita menjaga kepekaan dalam zaman yang hampir kehilangan rasa.

“Batak adalah DNT dan DNT adalah Batak. Sebab tidak ada filosofi dan sistem sosial DNT di belahan dunia mana pun selain di Tanah Batak Raya.”

Itu bukan slogan. Itu pengingat. Bahwa kita punya warisan sosial yang bukan hanya layak dijaga, tapi layak dihidupkan kembali—di mana pun kita berada, termasuk di dunia digital ini.

(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Sumber Rujukan: Hita Batak Jilid 1 karya Drs. Ch. Robin Simanullang

 

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Tentang Buku Hita Batak Jilid 1

Tulisan ini lahir dari perenungan atas Hita Batak Jilid 1, karya monumental Drs. Ch. Robin Simanullang. Buku ini bukan sekadar kumpulan informasi sejarah atau budaya, tapi sebuah upaya serius untuk menghadirkan kembali jati diri Batak dalam bentuk yang mendalam dan relevan. Ia menggabungkan pendekatan akademik dengan bahasa yang bisa dicerna, membentangkan warisan nilai Batak dari akar mitologi hingga sistem sosial kontemporer.

Kekuatan buku ini terletak pada keberaniannya membaca ulang Batak, bukan sebagai identitas statis, tapi sebagai sistem nilai yang hidup dan dapat dibawa ke masa depan. Ia menolak meromantisasi masa lalu, tapi juga tidak membiarkan kita kehilangan arah di masa kini. Dengan kedalaman analisis dan kelengkapan data, buku ini layak dibaca siapa saja—baik orang Batak yang ingin mengenali dirinya, maupun siapa pun yang ingin belajar bagaimana kearifan lokal bisa menjadi jawaban bagi tantangan modern.

Hita Batak Jilid 1 bukan hanya buku. Ia adalah cermin. Dan saat kita bercermin di dalamnya, kita tidak hanya melihat siapa kita, tapi juga bagaimana seharusnya kita melangkah.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments