Dalihan Na Tolu: Keindahan Menjadi Orang Batak

Tiga Peran, Satu Nafas: Hulahula, Boru, Dongan Tubu

0
65
Dalihan Na Tolu: Keindahan Menjadi Orang Batak
Yang menjadikan Hita Batak Jilid 1 istimewa adalah keberaniannya untuk menyusun Dalihan Na Tolu bukan hanya sebagai warisan adat, melainkan sebagai sistem nilai terbuka yang bisa ditafsir ulang secara kontekstual.
Lama Membaca: 3 menit

Menjadi orang Batak bukan sekadar mewarisi marga, tapi juga menghidupi cara pandang yang diwariskan lintas generasi. Di dalamnya, Dalihan Na Tolu menempati posisi sentral: bukan hanya sebagai struktur adat, melainkan sistem relasi sosial yang membentuk sikap, peran, dan kebersamaan.

Di sebuah pesta pernikahan adat, seorang pria paruh baya terlihat membagikan minuman, menyusun kursi, memotong daging, lalu menyerahkannya ke panitia adat. Hari itu, ia adalah boru. Tak banyak bicara, tak menonjol, tapi semua paham: ia sedang melayani. Beberapa minggu sebelumnya, dalam acara keluarga lain, ia duduk di barisan terhormat, disambut ulos, dihargai sebagai hulahula.

Mungkin bulan depan, dalam acara marga, ia akan menjadi dongan tubu: ikut musyawarah, mewakili suara marga, menjaga keseimbangan. Tidak ada peran yang tetap. Semua bergilir. Semua saling tahu tempatnya. Di situlah letak keindahan sosial orang Batak: bukan soal status, melainkan giliran dan tanggung jawab.

Dalihan Na Tolu seperti tungku berkaki tiga. Jika satu kaki lebih tinggi, nyala api tak merata, masakan pun gagal. Maka, tiap kaki perlu tahu kapan menyangga, kapan menyesuaikan. Begitu pula dalam musik gondang Batak: kadang taganing menonjol, kadang ogung memberi arah, kadang sarune yang berbicara. Jika satu terlalu keras, iramanya pecah. Tapi ketika semuanya saling memberi ruang, terciptalah harmoni.

Begitu juga dalam kehidupan sosial Batak: ada tiga peran, satu nafas. Hulahula, boru, dan dongan tubu bukan sekadar kategori. Mereka adalah peran-peran yang saling menghidupi. Satu dihormati karena yang lain memberi hormat. Satu melayani sebagai bentuk pengabdian. Satu setara karena menjaga yang lain. Tiga peran, satu nafas. Dalihan Na Tolu tidak hanya membagi peran, tapi menjaga keseimbangan hidup bersama.

Setiap orang Batak, dalam perjalanan hidupnya, akan mengalami menjadi boru, dongan tubu, dan hulahula. Masing-masing memberi pelajaran. Keindahan menjadi orang Batak tak terletak semata pada ulos, tortor, atau marganya melainkan pada nilai-nilai yang mengajarkan hormat bukan karena takut, melayani bukan karena rendah, dan memimpin bukan karena kuasa. Karena yang pernah menjadi boru akan tahu bagaimana bersikap saat menjadi hulahula. Dan yang pernah menjadi hulahula tahu bahwa kepemimpinan sosial lahir dari pengalaman, bukan dominasi.

Sebagaimana ditulis dalam Hita Batak Jilid 1:

“Sistem dan struktur kemasyarakatan Batak Dalihan Na Tolu (DNT) adalah bersifat kontekstual, egaliter dan terbuka. Semua orang, secara kontekstual berkesempatan menjadi Hulahula, Dongan Sabutuha dan Boru.”

Karena peran itu bergilir, martabat seseorang dalam masyarakat Batak tidak diukur dari gelar atau posisi tetap, tapi dari kemampuannya menjalani peran dengan kesadaran dan keluhuran. Inilah yang menjadikan Dalihan Na Tolu lebih dari sekadar sistem sosial: ia adalah cermin kehidupan. Ia tak menentukan siapa kita harus jadi, tapi membentuk kita untuk siap menjadi siapa saja.

Di tengah arus perubahan zaman, nilai ini tidak luntur. Justru menjadi penanda jati diri. Dalam kata lain dari Hita Batak Jilid 1:

Advertisement

“Maka jadilah orang Batak modern yang cerdas, arif dan teguh pada jatidiri Dalihan Na Tolu. Hanya dengan prinsip Dalihan Na Tolu, seseorang pantas disebut orang Batak, yakni insan berperilaku Anak ni Raja dan Boru ni Raja.”

Bagi sebagian generasi muda, Dalihan Na Tolu mungkin terdengar sebagai urusan adat semata: seperti sesuatu dari masa lalu, kurang relevan di dunia yang serba cepat ini. Tapi justru dalam dunia yang seperti itu, nilai-nilai seperti ini bisa menjadi penuntun.

Dalihan Na Tolu menawarkan sesuatu yang mulai langka: kejelasan peran, ketepatan sikap, dan kesadaran bahwa relasi hidup bersama menuntut keseimbangan. Bukan soal siapa yang paling keras suara atau paling sering tampil, tapi siapa yang tahu kapan berbicara, kapan mendengarkan, dan bagaimana menjaga ruang bagi yang lain.

Dalam berbagai ruang hari ini, di komunitas, tim kerja, bahkan ruang digital, kita terus berpindah peran. Tapi tidak semua menyadari itu. Dalihan Na Tolu membantu kita membaca situasi, memahami posisi, dan menjalani peran dengan tepat. Karena tak ada posisi yang abadi, namun setiap posisi menuntut tanggung jawab penuh.

Bagi generasi muda Batak, Dalihan Na Tolu bukan sekadar ajaran adat. Ia bisa menjadi prinsip hidup. Bukan untuk membatasi langkah, tetapi memberi arah. Bukan untuk mengatur-atur, tapi menumbuhkan kesadaran sosial. Di tengah zaman yang serba bebas, kita sering kehilangan penanda. Dan Dalihan Na Tolu hadir bukan untuk membawa kita ke masa lalu, tapi untuk mengingatkan: bahwa menjadi orang yang tepat, sering kali dimulai dari menjadi orang yang tahu tempat.

(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Sumber Rujukan: Hita Batak Jilid 1 karya Drs. Ch. Robin Simanullang

 

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Dalihan Na Tolu dalam Hita Batak Jilid 1

Tulisan ini lahir dari pembacaan mendalam terhadap buku Hita Batak Jilid 1 karya Drs. Ch. Robin Simanullang, sebuah karya komprehensif yang tidak hanya menjelaskan struktur adat Batak, tetapi juga menggali akar identitas Batak secara menyeluruh. Di dalamnya, Dalihan Na Tolu tidak sekadar dipahami sebagai sistem hubungan dalam upacara adat, melainkan sebagai fondasi hidup sosial yang menuntun cara berpikir, bertindak, dan menempatkan diri dalam masyarakat.

Buku ini tidak berhenti pada susunan ritual. Ia menelusuri bagaimana Dalihan Na Tolu hadir dalam praktik sehari-hari: membentuk kesadaran atas peran, menanamkan rasa setara melalui giliran, dan membangun tanggung jawab dalam posisi yang selalu berubah. Pendekatannya tajam dan jernih, menggabungkan refleksi budaya, filsafat sosial, serta pengalaman kolektif yang masih hidup dalam masyarakat Batak masa kini.

Yang menjadikan Hita Batak Jilid 1 istimewa adalah keberaniannya untuk menyusun Dalihan Na Tolu bukan hanya sebagai warisan adat, melainkan sebagai sistem nilai terbuka yang bisa ditafsir ulang secara kontekstual. Batak, dalam buku ini, tidak hanya soal marga atau upacara, tapi soal kemampuan untuk memahami tempat dan peran kita dalam kehidupan bersama. Bahwa menjadi Batak modern bukan berarti meninggalkan akar, tapi menemukan kembali pijakan melalui nilai-nilai yang hidup.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments