Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon: Tiga Napas, Satu Hidup

Menemukan Ulang Arti "Berhasil" dalam Nilai Batak

0
37
Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon
Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon (3H) seperti napas yang saling menghidupkan. Tak satu pun bisa berdiri sendiri..
Lama Membaca: 3 menit

Sejak kecil, banyak orang Batak diajarkan bahwa hidup yang “lengkap” adalah hidup yang punya Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Namun, seiring waktu, tiga nilai ini lebih sering dihafal daripada dimaknai, lebih sering dikutip daripada dijalani. Padahal, ketiganya bukan sekadar warisan budaya melainkan prinsip hidup yang saling menguji dan menguatkan. Pertanyaannya: apakah kita masih melihat 3H hanya sebagai simbol, atau sudah menjalaninya sebagai nilai hidup?

Dalam banyak forum adat, 3H kerap disebut seperti daftar keberhasilan hidup: punya anak (hagabeon), punya kekayaan (hamoraon), lalu mendapat kehormatan (hasangapon). Padahal, dalam kehidupan orang Batak yang sejati, 3H bukan urutan prestasi, melainkan jalan nilai yang dijalani bersama. Ia bukan klaim, tapi pantulan dari nilai yang terus dirawat dalam hidup sehari-hari.

Tulisan ini menjadi simpul dari tiga pembahasan sebelumnya tentang Hagabeon yang bukan semata soal darah, Hamoraon yang tak melulu soal harta, dan Hasangapon yang tak cukup dicapai hanya lewat gelar. Ketiganya seperti napas yang saling menghidupkan. Tak satu pun bisa berdiri sendiri.

Selama ini, Hagabeon kerap dimaknai sebatas punya banyak anak terutama anak laki-laki. Namun, dalam kenyataan hidup hari ini, pemahaman itu layak ditinjau ulang. Sebab tidak semua orang diberi kesempatan punya anak biologis, dan tidak semua keluarga dikaruniai anak laki-laki. Dalam tulisan Hagabeon: Tak Dilahirkan, Tapi Dihidupkan,” kita diajak melihat bahwa Hagabeon sejati adalah hidup yang memberi kehidupan, yang meninggalkan jejak dalam hidup orang lain, bukan sekadar meneruskan silsilah.

Hamoraon pun demikian. Dalam banyak pesta adat, mereka yang memberi paling banyak sering duduk di depan, didengar lebih dulu, dianggap paling layak berbicara. Tapi seperti disampaikan dalam tulisan Hamoraon: Kaya Tak Menjadikanmu Marhamoraon,” ada juga orang yang hidup sederhana tapi selalu hadir saat dibutuhkan. Tidak memamerkan kekayaan, tapi memberi dampak nyata. Maka, ukuran hamoraon bukan pada apa yang dibawa, melainkan untuk siapa kekayaan itu memberi arti.

Hasangapon, yang kerap dianggap puncak dari ketiganya, juga perlu dipahami dengan lebih jernih. Dalam tulisan Hasangapon: Siapa yang Layak Dihormati Hari Ini?“, kita diajak melihat bahwa tidak semua yang disalami layak dihormati, dan tidak semua yang layak dihormati minta disalami. Di tengah masyarakat yang semakin memuja status, gelar, dan penampilan, pertanyaannya kembali pada dasar: siapa yang benar-benar pantas dihormati? Dalam nilai Batak, mereka yang layak dihormati adalah orang-orang yang menjalani hidup dengan konsistensi, tanggung jawab, dan kontribusi bagi sesama.

Dalam buku Hita Batak Jilid 1, 3H tidak ditulis sebagai syarat keberhasilan, melainkan sebagai nilai-nilai hidup yang saling menguatkan. Hagabeon yang sejati bukan hanya soal punya anak, tapi soal memperluas kehidupan. Hamoraon yang sejati bukan tentang seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa luas yang dilibatkan. Dan Hasangapon yang sejati bukan soal di mana seseorang duduk, melainkan bagaimana ia berdiri dalam hidupnya.

Itulah sebabnya 3H harus dipahami sebagai satu kesatuan. Hagabeon memberi kehidupan, Hamoraon menghidupi, dan Hasangapon memuliakan. Jika salah satunya dipisahkan, yang lain akan kehilangan makna. Kekayaan tanpa nilai hanya menjadi beban. Anak tanpa arah menjadi warisan yang sia-sia. Kehormatan tanpa kontribusi hanyalah topeng yang rapuh.

Masalahnya, hari ini terlalu banyak yang mengejar 3H hanya sebagai simbol. Ada yang ingin cepat dihormati tanpa pernah memberi kontribusi. Ada yang ingin dipanggil “orang besar” tanpa menjadi teladan. Ada pula yang merasa cukup dengan punya anak, padahal hidupnya tak memberi arah. Maka tulisan ini hadir bukan untuk menggurui, melainkan untuk mengingatkan: bahwa jalan hidup orang Batak adalah jalan nilai, bukan jalan lambang.

Epilog ini bukan penutup, melainkan undangan. Sebuah ajakan untuk kembali menafsirkan apa arti “berhasil” bagi orang Batak. Sebab pada akhirnya, yang dikenang bukanlah siapa yang duduk di depan, melainkan siapa yang memberi arti dalam hidup orang lain. Yang diingat bukanlah siapa yang paling kaya, tetapi siapa yang hadir saat dibutuhkan. Dan yang dihormati bukanlah siapa yang paling sering disebut, melainkan siapa yang hidupnya menyentuh dan mengangkat kehidupan sesama.

Advertisement

Jika 3H dijalani sebagai sistem nilai, bukan sekadar status sosial, maka ia akan tetap hidup, relevan, dan kuat di tengah zaman yang terus berubah. Namun jika 3H hanya dijadikan simbol prestise, ia justru akan menjadi beban, baik bagi yang mengejarnya maupun bagi masyarakat yang terus memujanya tanpa menyaring maknanya.

Tiga tulisan sebelumnya bukanlah penjabaran teknis tentang adat Batak, melainkan refleksi kritis tentang bagaimana nilai-nilai itu seharusnya dibaca ulang hari ini. Hita Batak Jilid 1 menjadi penopang penting bagi pembacaan itu. Buku ini membuka ruang bagi kita untuk memahami kembali bahwa menjadi orang Batak bukan sekadar soal nama atau darah, tapi soal bagaimana kita menjalani hidup, memberi kehidupan, dan meninggalkan nilai. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments