Hai Para Guru: Kalau Mau Cari Uang, Jadi Pedagang!

Kala guru diajak ikhlas, tapi tak diajak sejahtera.

0
19
Hai Para Guru
Profesi guru kerap tertinggal secara ekonomi
Lama Membaca: 3 menit

Di negeri ini, guru diajari untuk ikhlas sejak awal. Bukan karena sistem mendukung, tapi karena sistem tak mampu menjanjikan apa-apa. Maka ketika guru mulai bicara soal gaji, yang diingatkan bukan haknya, tapi niatnya.

Di bulan September ini, satu kalimat dari Menteri Agama kembali menggema. Ia tak dilontarkan di ruang demonstrasi, melainkan di pelatihan calon guru. “Guru itu tidak mencari uang, tapi memintarkan anak orang,” ujar Nasaruddin Umar. Lalu menyusul kalimat yang membuat kepala banyak orang menoleh: “Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah.”

Bagi sebagian orang, itu nasihat luhur. Tapi bagi sebagian lainnya, kalimat itu terasa seperti tamparan halus. Ia menyentuh profesi yang tak hanya soal panggilan, tapi juga soal penghidupan. Dan saat kalimat seperti itu datang dari pejabat tinggi, maknanya tak lagi sekadar opini: ia membentuk cara kita memperlakukan guru.

Guru memang bukan profesi yang lahir dari hitungan laba-rugi. Ia lahir dari semangat berbagi ilmu, menanam nilai, dan membentuk manusia. Dalam logika pahala, guru sering digambarkan sebagai ladang amal jariyah: tak habis dipetik, meski penanamnya telah tiada.

Tapi dalam lorong yang lebih sepi, muncul renungan: mengapa nasihat ikhlas justru datang saat para guru masih bergelut dengan gaji yang tak cukup, status yang tak pasti, dan sistem yang sering membebani?

Guru bukan sekadar pengajar. Ia dibingkai sebagai pembentuk karakter dan penjaga masa depan bangsa. Dalam kata-kata Menag, guru “lebih mulia dari donatur masjid” dan “suci di langit dan bumi.” Maka tak heran jika profesi ini diselimuti ekspektasi moral yang tinggi: tulus, bersahaja, sabar, dan penuh cinta, meski terlalu sering ditinggalkan oleh sistem yang seharusnya berpihak.

Tuntutan itu datang tanpa jaminan hidup layak, tanpa perlindungan sosial, tanpa dukungan struktural yang memadai. Guru diminta jadi pahlawan, tapi tak diberi perlengkapan. Diminta profesional, tapi tetap diperlakukan seperti relawan.

Tiap tahun kita rayakan Hari Guru, tapi tiap bulan mereka harus bertahan hidup.

Pernyataan Menag mungkin dimaksudkan sebagai pengingat moral. Tapi bagi guru honorer yang hidup dari amplop tak menentu, itu terdengar seperti vonis. “Yang kami butuhkan bukan pujian baru,” ujar seorang guru di desa. “Kami hanya ingin bisa mengajar tanpa khawatir uang makan besok.”

Bukan hanya di Indonesia, profesi guru kerap tertinggal secara ekonomi. Tapi di beberapa negara, rasa hormat sosial tetap dijaga. Itu pun belum cukup. Tanpa keberpihakan sistem, guru tetap harus memikul beban besar di pundak yang lelah.

Advertisement

Lalu datanglah ucapan: kalau mau cari uang, jangan jadi guru.

Ujaran itu bisa dibaca sebagai seruan menjaga niat. Tapi juga bisa dimaknai sebagai pelepasan tanggung jawab negara, seolah-olah kesejahteraan tak penting, selama guru tetap ikhlas.

Padahal, ikhlas bukan berarti rela terus diperlakukan tak adil. Dan panggilan jiwa bukan alasan untuk membiarkan mereka menanggung beban yang mestinya ditopang bersama.

Negara terus meminta guru untuk tidak materialistis. Tapi negara sendiri memperlakukan mereka seolah jasa itu bisa dibayar dengan upacara dan pujian.

Jika guru memang amal jariyah, mengapa negara lamban membayar upahnya?
Jika guru itu suci, mengapa sistemnya begitu kotor?

Kita bisa menoleh sebentar ke belakang. Dulu, guru adalah pemimpin moral di kampung-kampung. Tapi sejak otonomi daerah dan birokrasi menebal, kemuliaan itu semakin digantungkan pada semangat pribadi, bukan dukungan negara. Pujiannya megah, pelayanannya terseok.

Negara bukan sekadar pemberi honor. Ia pemilik mandat konstitusional untuk mencerdaskan bangsa. Dan itu berarti: guru tak boleh hidup dari toleransi sosial, tapi dari keadilan yang sistematis.

Mungkin niat Menag tak untuk menyakiti. Tapi kalimat dari posisi kuasa sering membawa beban makna yang lebih besar dari yang disadari penuturnya.

Pernyataan “kalau mau cari uang, jadi pedagang” mungkin benar secara prinsip, namun menyederhanakan masalah. Seolah guru harus menerima kondisi apa adanya, menanggalkan hak atas kesejahteraan, dan hidup sepenuhnya dalam logika pahala.

Padahal, guru tetaplah manusia. Mereka juga butuh makan, tempat tinggal, dan hidup yang layak.

Negara memang tak bisa membalas jasa guru sepenuhnya. Tapi negara tetap wajib memastikan mereka hidup bermartabat. Bukan karena mereka menuntut, tapi karena keadilan adalah bagian dari tanggung jawab bersama.

Di tengah puja-puji terhadap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, mungkin ini saatnya kita bertanya ulang: apakah pujian itu cukup? Atau, seperti kata seorang guru di daerah terpencil: “Tanda jasa tidak perlu, asal jangan tanda abaikan.”

Mungkin memang benar, guru bukan untuk cari kaya. Tapi yang lebih penting lagi: guru tak seharusnya dimiskinkan demi menjaga niatnya tetap murni.

Sebab ikhlas itu panggilan jiwa, bukan pengganti tanggung jawab negara.

(Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, apakah profesi guru memang tidak seharusnya dijadikan tempat mencari penghasilan utama?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments