back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    25.2 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    BeritaLorong KataKetika Bertanya Dianggap Durhaka

    Ketika Bertanya Dianggap Durhaka

    ID bisa kembali. Tapi yang retak tak semudah itu utuh lagi.

    Lama Membaca: 3 menit

    Seseorang kehilangan ID kerjanya hanya karena bertanya. Ia tidak meneriakkan propaganda, tidak memprovokasi, tidak menghina. Ia hanya mengajukan satu pertanyaan yang relevan, di tempat yang tepat, pada waktu yang tidak dilarang. Tapi ternyata itu cukup untuk membuat sistem merasa terganggu.

    Kita bisa membayangkan apa yang dirasakan jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, setelah ID peliputan istananya dicabut. Ia bukan sedang memalsukan berita, bukan menyebar hoaks, bukan pula membuat gaduh. Ia hanya bertanya kepada Presiden tentang laporan keracunan makanan dalam program makan bergizi gratis (MBG), kebijakan yang sedang dibanggakan pemerintah.

    Dan tiba-tiba, aksesnya hilang.

    Tentu, ID itu dikembalikan kemudian. Setelah tekanan datang dari berbagai arah: media, publik, Dewan Pers. Tapi yang tidak bisa dikembalikan adalah perasaan menjadi jurnalis yang diperlakukan seolah tak tahu tempat. Seperti tamu yang melangkah terlalu jauh ke dalam rumah kekuasaan, dan harus diingatkan di mana batasnya.

    Ruang kepercayaan itu retak. Dan retakan seperti ini tidak mudah diperbaiki dengan klarifikasi administratif.

    Pertanyaan yang muncul kemudian bukan lagi soal teknis: siapa yang menyuruh mencabut, mengapa, atau bagaimana. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: bagaimana kekuasaan memandang wartawan?

    Apakah sebagai mitra demokrasi yang setara, yang perannya dijamin konstitusi?

    Atau sebagai pelayan yang hanya datang ketika dipanggil, dan bicara ketika disuruh?

    Anda Mungkin Suka

    Biro Pers Istana, dalam kasus ini, bertindak bukan sebagai fasilitator transparansi, melainkan penjaga ketertiban suasana. Seolah-olah tugas mereka bukan membuka akses, tetapi menyaring siapa yang dianggap “beradab” untuk bertanya.

    Dan ini bukan insiden teknis. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap kerja jurnalistik. Sebuah sikap yang memperlakukan wartawan bukan sebagai pengemban mandat publik, tapi sebagai pengganggu kenyamanan.

    Kekuasaan kadang seperti ruangan ber-AC yang terlalu dingin: nyaman bagi yang di dalam, tapi membuat siapa pun yang bicara terlalu keras dianggap mengganggu ketenangan. Maka, ketika pertanyaan kritis dianggap sebagai pelanggaran etika, masalahnya bukan lagi soal substansi, tapi soal sensitivitas kekuasaan terhadap hal-hal yang tidak bisa dikendalikan.

    Wartawan tidak datang membawa senjata, tapi membawa pertanyaan. Dan justru di sanalah kekuatannya: menjadi pengingat bahwa kebenaran tidak selalu nyaman untuk didengar. Pencabutan ID mungkin terlihat sepele. Tapi ia menyimpan pesan yang lebih luas: bahwa bertanya bisa berisiko. Bahwa mengusik narasi besar negara bisa membuat seseorang kehilangan tempat. Bahwa kritik, meski halus dan berdasar, tetap dianggap sebagai tindakan melampaui batas.

    Padahal, justru di titik-titik seperti inilah demokrasi diuji.

    Apakah sebuah sistem mampu menampung pertanyaan yang tak sesuai skrip? Apakah kekuasaan cukup percaya diri untuk menanggapi keraguan dengan penjelasan, bukan pembungkaman?

    Kita pernah hidup dalam masa di mana wartawan hanya boleh bertanya sesuai daftar yang disetujui. Di era Orde Baru, ruang konferensi pers hanyalah panggung yang sudah ditata: siapa bertanya apa, kepada siapa, dan dengan nada seperti apa. Pertanyaan di luar skrip bisa berujung pada pencoretan nama, bukan penjelasan. Dan yang membuat kita khawatir hari ini adalah: pola itu seolah mulai kembali, meski dengan kemasan yang lebih sopan.

    Apa yang dulu dilakukan secara terang-terangan, kini muncul dalam bentuk yang lebih rapi, lebih administratif, tapi tak kalah represif. Atau justru kita sedang kembali ke masa di mana “sopan santun” didefinisikan sepihak oleh mereka yang duduk di puncak?

    Di banyak negara, represi terhadap pers tidak lagi datang dalam bentuk pelarangan terang-terangan. Ia hadir dalam bentuk yang lebih licin: pencabutan akses, pengabaian konfirmasi, atau pelabelan sebagai pengganggu suasana. Kebebasan pers sering diuji bukan oleh sensor resmi, tapi oleh sensitivitas kekuasaan yang berbalut citra.

    Demokrasi yang sehat butuh suara sumbang, seperti orkestra yang butuh disonansi agar musiknya hidup. Ketika semua terdengar selaras tapi sunyi, barangkali yang kita dengar bukan simfoni, melainkan pembungkaman yang dibungkus keharmonisan.

    Yang lebih mencemaskan, bukan hanya jurnalis yang akan berhati-hati setelah ini. Tapi juga publik yang menyaksikan. Jika satu pertanyaan bisa berujung pencabutan akses, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: jangan tanya terlalu dalam, jangan ganggu narasi resmi, jangan berbeda dari arus utama. Dan ini, pelan tapi pasti, mengubah cara kita berpikir.

    Diana Valencia mungkin sudah mendapatkan kembali ID-nya. Tapi setiap jurnalis yang menyaksikan peristiwa ini, sadar bahwa batas “boleh bertanya” kini lebih tipis dari sebelumnya.

    Apakah ini cara negara merawat demokrasi? Atau justru cara halus untuk menjinakkan suara yang tak sesuai?

    Yang paling menyedihkan bukanlah pencabutan ID itu sendiri. Tapi kenyataan bahwa, di negeri demokrasi ini, bertanya bisa dianggap tindakan yang durhaka. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (26.1%), Gusdur (17%), Jokowi (14.4%), Megawati (11.7%), Soeharto (11.2%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend