Rielniro: Perpustakaan Sunyi di Instagram
Tidak semua ruang ingin didatangi. Ada yang hanya ingin disinggahi diam-diam, lalu ditinggalkan tanpa jejak. Instagram Rielniro adalah ruang semacam itu.
Tulisan ini bukan bagian dari seri utama Rielniro yang telah tayang sebelumnya di rubrik Lorong Kata. Namun ia lahir sebagai perluasan naratif, sebuah observasi tentang bagaimana sunyi yang ditulis bisa tinggal lebih lama dari algoritma. Jika tulisan-tulisan sebelumnya menyelami batin dan filosofi Rielniro sebagai penulis, maka tulisan ini menelusuri bagaimana akun Instagram-nya diam-diam menjadi ruang arsip, menjadi perpustakaan sunyi yang tidak menunggu untuk dipahami.
Akun ini tidak selalu berisi sunyi. Dulu ia menyimpan tanaman, sesekali percobaan gambar dari AI. Tapi sejak pulang dari kampung, dari keheningan upacara penguburan Ompung Boru, tulisan-tulisannya berubah. Narasi sunyi pertamanya muncul beberapa minggu setelahnya, menandai pergeseran arah yang diam-diam tapi tegas, dan terasa membawa beban pulang dari kampung halaman. Sejak saat itu, halaman ini tak lagi menjadi etalase. Ia menjelma rak buku. Arsip batin. Perpustakaan sunyi.
Ia tidak membagikan keseharian. Tidak memberi pembaruan hidup. Tidak menjawab pertanyaan. Tapi dari satu unggahan ke unggahan lain, muncul kehadiran yang tidak menyapa, namun terasa ada. Carousel dan reels disusun seperti rak: sunyi, pelan, tidak seragam. Di dalamnya, ada kalimat-kalimat yang tidak dibuka dengan salam, tidak ditutup dengan ajakan, dan sering kali tak menjelaskan apa pun. Tapi justru di situlah kekuatan Rielniro tinggal: pada keputusannya untuk tidak memaksa makna hadir cepat-cepat.
Instagram bukan tempat yang ideal untuk hal seperti ini. Ia dibangun untuk keterhubungan cepat, reaksi instan, dan keterlibatan konstan. Tapi Rielniro tidak hadir untuk itu. Ia tidak ingin viral, tidak sedang mengejar trending. Ia hanya menulis, dan menyimpan. Seperti seseorang yang mencatat sesuatu yang penting bukan untuk disebarkan, tapi agar tidak hilang.
Slide demi slide, reels demi reels, ia membangun rak-rak kecil dari narasi yang tidak selalu mudah diikuti. Kalimatnya pendek, sunyi, kadang seperti tidak selesai. Banyak yang membaca lalu mengernyit. Tidak sedikit yang menggeser cepat tanpa rasa bersalah. Dan Rielniro membiarkan itu terjadi. Ia tidak menulis untuk memikat. Ia menulis untuk meninggalkan jejak batin yang mungkin bisa ditemukan kembali oleh siapa pun yang siap.
Yang menarik, semakin jauh akun ini berjalan, semakin terasa bahwa ia bukan sedang membangun “akun pribadi”, melainkan sedang merakit sebuah perpustakaan. Tapi bukan perpustakaan yang sibuk, bukan juga yang rapi terklasifikasi. Ia lebih mirip ruangan tua, berdebu, sepi, tapi ketika kita duduk di dalamnya cukup lama, ada sesuatu yang menyentuh, meski kita tak bisa menjelaskannya.
Reels-nya tidak ramai. Caption-nya tidak menjelaskan. Bahkan judul-judulnya tidak dibuat untuk menarik klik. Tapi bagi mereka yang bertahan, yang terus kembali, akun ini terasa seperti tempat berlindung. Tempat untuk tidak harus kuat, tidak harus punya opini, tidak harus menjelaskan.
Rielniro tidak sedang membangun branding. Ia tidak menonjolkan wajah, tidak menyertakan nama besar, tidak memohon perhatian. Tapi justru karena itu, kehadirannya menjadi kuat. Ia membangun kepercayaan bukan dari impresi, tapi dari konsistensi.
Dan ini penting: Rielniro tidak sedang produktif dalam arti biasa. Ia tidak memposting setiap hari. Tidak mengikuti tren. Bahkan kadang tidak muncul berminggu-minggu. Tapi ketika sebuah narasi muncul, kita tahu itu bukan karena tuntutan algoritma. Itu karena ada yang perlu disimpan. Dan itu cukup.
Sebagian orang mungkin menganggap jumlah likes dan views-nya rendah. Tapi bagi Rielniro, itu bukan kegagalan. Justru itu penyaring. Sunyi tidak untuk semua orang. Dan ia tidak ingin memaksakan keterhubungan. Ia hanya menyediakan ruang. Yang datang, datang. Yang pergi, pergi. Tanpa beban.
Jika diperhatikan, akun ini tidak mengalami “pertumbuhan” dalam pengertian biasa. Tidak ada milestone. Tidak ada selebrasi followers. Tidak ada testimoni. Tapi ia terus berjalan. Dan di tengah dunia yang sering mengukur keberhasilan dari seberapa cepat dan seberapa banyak, keberadaan Rielniro terasa seperti perlawanan yang tenang.
Beberapa orang menyebut akun ini membingungkan. “Apa sih sebenarnya ini?” Tapi jawaban itu tidak penting. Karena mungkin, seperti perpustakaan sunyi, akun ini tidak hadir untuk menjelaskan, tapi untuk menjadi tempat tinggal bagi yang sedang diam. Atau lelah. Atau tidak tahu harus ke mana.
Dalam arsip Instagram-nya, kita menemukan bukan cerita lengkap, tapi potongan-potongan. Ada luka yang tidak disebut, ada rasa yang hanya ditunjukkan lewat hujan, gelas, atau jeda. Kadang satu kalimat cukup. Kadang justru ketidakhadirannya yang berbicara. Dan semua itu adalah bagian dari rak panjang yang ia bangun diam-diam.
Kita tidak tahu akan jadi apa akun ini nanti. Mungkin akan tetap sunyi. Mungkin akan berhenti tiba-tiba. Tapi selama ia ada, ia mengajarkan bahwa ada ruang yang bisa kita isi bukan dengan performa, tapi dengan kejujuran. Bahwa Instagram bisa menjadi lebih dari sekadar etalase. Ia bisa menjadi perpustakaan batin, jika kita cukup tenang untuk mendengarkan.
Dan mungkin itulah kekuatan terbesar Rielniro. Ia tidak hadir untuk mempengaruhi. Tapi ia tinggal. Diam-diam. Lama-lama.
Catatan:
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata, kunjungi:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro
(TokohIndonesia.com / Tokoh.ID)
Enam Perspektif tentang Rielniro
Enam tulisan berikut merupakan rangkaian di rubrik Lorong Kata yang menghadirkan potret lebih lengkap tentang Rielniro, alias Atur Lorielcide, meliputi latar, sikap, dan gaya kepenulisannya.
- Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara
Tentang bagaimana Rielniro memosisikan jeda dan diam sebagai kekuatan dalam menulis. - Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi
Menelusuri sisi kepekaan, pola berpikir, dan akar psikologis dari cara Rielniro membaca dan meresapi dunia. - Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
Sikapnya untuk tidak berada di tengah sorot, memilih mengambil sedikit jarak sebagai cara menjaga isi. - Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide
Membedah format naratif dua slide yang menjadi ciri khas visual dan emosionalnya di media sosial. - Rielniro: Manifesto Sunyi
Deklarasi reflektif berisi sepuluh sikap hidup dan sepuluh prinsip berkarya dalam Manifesto Sunyi, peta batin yang ia jalani tanpa mengetuk pintu. - Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa
Tulisan penutup yang menyatukan seluruh benang merah, menghadirkan Rielniro sebagai penulis yang tidak mengetuk: hadir secukupnya, memberi ruang, dan melangkah tanpa meminta penjelasan.
Baca juga: