Novum Gradum: Jalan Panjang Pendidikan Tak Boleh Berhenti
Mimpi Besar Pendidikan Panji Gumilang dari Al-Zaytun untuk Indonesia

Dalam Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025, Panji Gumilang memperkenalkan Novum Gradum — sebuah gagasan pendidikan menyeluruh yang berpijak pada sejarah peradaban, berpadu dengan nilai ilahi, dan ditujukan untuk membangun bangsa yang tertata. Bagi Panji Gumilang, pendidikan bukan sekadar kurikulum atau pengajaran, melainkan sistem hidup yang harus terus berjalan, menyatukan semua unsur, dan ditopang oleh kesadaran kolektif untuk menjemput kemajuan, bukan mengejar ketertinggalan.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Dalam suasana hangat yang penuh semangat kebangsaan, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang berdiri di hadapan ribuan peserta Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025. Masjid Rahmatan lil ‘Alamin di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, menjadi saksi sebuah pidato penutup yang bukan hanya menyimpulkan hasil simposium, tetapi melontarkan satu gagasan besar: Novum Gradum, yang artinya Jalan Baru atau Cara Baru.
Ia tidak membuka dengan pujian atau sambutan panjang. Kalimat pertamanya langsung menusuk jantung realitas pendidikan kita hari ini.
“Mutu pendidikan yang selalu disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara—‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani’—sekarang berubah. Eng Arso Mangun Kuoso. Eng Madya Numpuk Bondo. Tut Wuri Hanje Galih. Ini yang berjalan.”
Dengan gaya khasnya yang lugas, Panji Gumilang menyampaikan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan kita telah digeser oleh semangat kekuasaan dan materialisme. Di depan publik pendidikan dari berbagai penjuru negeri, ia mencontohkan perilaku pejabat yang hilang arah sebagai hasil dari sistem pendidikan yang gagal membentuk karakter.
Namun, ia tidak berhenti pada kritik. Ia mengajak peserta menyusuri kembali akar peradaban dan sejarah pendidikan umat manusia. Dari Nabi Ibrahim hingga tokoh Yunani Kuno: Socrates, Plato, Aristoteles. Dari Aristoteles, ia menelusuri bagaimana teori deduktif—yang dikenal sebagai Organon—melahirkan Alexander Agung. Kemudian ia menuju ke Barat modern: Francis Bacon, filsuf Inggris yang memperkenalkan pendekatan induktif dalam berpikir ilmiah, Novum Organum.
“Francis Bacon tidak punya sekolah, namun masuk dalam sekolah trilogi—university yang kemudian jadi Universitas Cambridge. Mengembangkan berbagai teori. Berlawanan dengan teori awal, deduktif atau kias.”
Panji Gumilang tidak sedang mengajarkan sejarah filsafat. Ia membangun landasan untuk menyampaikan sebuah sintesis. Menurutnya, pendidikan ideal adalah gabungan antara deduksi Aristoteles dan induksi Bacon. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia ingin memasukkan satu dimensi lain: nilai-nilai ilahi. Dari situlah lahir gagasan Novum Gradum.
“Mudah-mudahan Zaytun ini bisa memadukan antara Organon dan Novum Organum menjadi Novum Gradum.”
Novum Gradum menjadi simbol sintesis antara pendekatan deduktif dan induktif, antara Barat dan Timur, antara logika dan nilai ilahi. Panji Gumilang menyebutnya sebagai gagasan pendidikan yang berpijak pada kias dan istiqro, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai metode istinbat hukum dan pencarian hikmah. Ia menegaskan:
“Kalau sudah ajaran ilahi, maka menyampurkan antara istiqro dan kias, antara induktif dan deduktif. Enak saja. Gampang-gampang saja.”
Konsep ini tampak sederhana saat ia ucapkan, tetapi sarat makna. Ia ingin mengatakan bahwa pendidikan bukan sekadar metodologi berpikir, tetapi juga sistem nilai dan orientasi hidup. Di sinilah Novum Gradum menjadi gagasan yang bukan hanya filosofis, tapi juga praktis.
Panji Gumilang kemudian menunjukkan bagaimana gagasan itu akan diwujudkan. Ia merancang pelatihan delapan unsur pendidikan: guru, administrator, yayasan, siswa, orang tua, penyedia konsumsi, kebersihan kampus, dan keamanan. Semuanya, katanya, harus dilatih bersama agar membentuk ekosistem pendidikan yang tidak terputus.
“Unsur 8 inilah yang harus terus dilatih supaya bisa ekosistem pendidikan ini tidak terputus-putus.”
Pelatihan delapan unsur itu dirancang mulai 1 Juni. Panji Gumilang menjelaskan akan ada kurikulum, algoritma, dan evaluasi capaian. Ia bahkan menyebut rencana kehadiran dua profesor tamu setiap bulan sebagai bagian dari proses pembinaan kolektif yang sistematis.
“Ada kurikulumnya, ada algoritmanya, supaya pencapaiannya bisa diuji, bisa dievaluasi, atau mengadakan inovasi.”
Langkah ini mencerminkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah proses yang harus dijaga kesinambungannya. Pendidikan tidak bisa hanya diserahkan kepada guru atau kurikulum. Ia harus hidup dalam sistem sosial, dalam tata kelola yang konkret.
Semangat kebersamaan menjadi bagian penting dari gagasan Panji Gumilang. Ia tidak meminta negara atau lembaga donor. Ia menawarkan musyawarah sebagai jalan keluar. Ia menjelaskan secara rinci bagaimana logistik pelatihan bisa ditanggung bersama. Makan di dalam kampus lebih murah daripada izin keluar. Menginap cukup mengganti biaya cuci kasur.
“Silakan tulis: saya sanggup setiap hadir sekian. Selesai, bukan? Itu namanya kerakyatan yang dipimpin. Ada pimpinannya. Ada leader-nya. Oleh hikmah kebijaksanaan.”
Ia menegaskan bahwa semua bentuk partisipasi itu bukan beban, tapi bagian dari keterlibatan. Inilah manajemen pendidikan ala musyawarah yang ia bangun perlahan, dari Al-Zaytun, untuk Indonesia.

Di sisi lain, ia menolak keras paradigma pembangunan pendidikan yang hanya mengganti kurikulum tanpa membangun infrastruktur pendukung. Ia menyebut bahwa dari 18.000 pulau di Indonesia, baru sekitar 6.000 yang terisi layanan pendidikan, dan itupun tidak sepenuhnya terkontrol.
“Kalau infrastruktur pendidikan disebar di 6.000, siapa yang kontrol? Sehingga indeks pendidikan di Indramayu ini baru sampai 5,12. Apakah seperti ini yang kita harapkan 2045?”
Panji Gumilang juga mengkritik cara berpikir bangsa ini yang menurutnya terlalu sering terjebak dalam inferioritas. Ia tidak setuju dengan semangat “mengejar ketertinggalan”. Baginya, itu adalah narasi yang menyiratkan kelemahan. Ia mendorong bangsa ini untuk mengejar kemajuan, bukan masa lalu.
“Sering tokoh-tokoh di Indonesia bilang, ‘Mari kita berbuat sehebat-hebatnya untuk mengejar ketertinggalan.’ Bagaimana ketertinggalan kok dikejar? Mengejar kemajuan! Sekalipun nggak sampai, sudah maju. Kita bergerak maju.”
Ia percaya bahwa bangsa ini harus berhenti membandingkan diri dengan negara lain, dan mulai membangun sistem sendiri yang sesuai dengan watak dan kondisi bangsa. Dalam Novum Gradum, pendidikan adalah alat untuk menciptakan masa depan, bukan membayar utang masa lalu.
Di akhir pidatonya, Panji Gumilang tak berbicara tentang program, bukan pula target politik. Ia berbicara tentang waktu dan kesetiaan. Pendidikan, menurutnya, adalah perjuangan panjang yang harus dijalani terus menerus. Ia tidak mengenal akhir, kecuali akhir kehidupan itu sendiri.
“Kita mulai dari titik kecil ini. Andai kata nggak mau juga dari kecil ini, sehingga pada tahun 2045 kalau masih belum tertata, kita ada mewakili Indonesia yang tertata.”
Dan akhirnya, ia mengakhiri dengan kalimat yang sederhana tapi menggugah. Satu kalimat yang mewakili filosofi hidupnya sebagai pendidik selama puluhan tahun.
“Kapan bosan hidup? Setelah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Begitu.”
Pendidikan, bagi Panji Gumilang, adalah jalan sunyi yang tak boleh berhenti. Novum Gradum adalah batu tapaknya. (Atur/TokohIndonesia.com)