Rektor Reformasi Damai
Ichlasul Amal
[ENSIKLOPEDI] Doktor ilmu politik ini akrab dengan dunia pergerakan sejak mahasiswa (Angkatan ’66). Bahkan semasa menjabat Rektor Universitas Gadjah Mada (1998-2002), saat mahasiswa dilarang demonstrasi, dia malah turun demo bersama mahasiswa memperjuangkan reformasi. Oleh para aktivis mahasiswa, dia pun dianugerahi Bintang Jasa Utama Tokoh Reformasi Damai 1999.
Pria berdarah Madura kelahiran Jember 1 Agustus 1942, ini menjadi rektor pada saat yang tepat. Dia diangkat Presiden Soeharto jadi rektor setelah mendapat nilai tertinggi dalam pemilihan rektor oleh Senat Universitas. Saat dilantik jadi rektor, mahasiswa lagi berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun.
Namun kepercayaan Presiden Soeharto itu tidak membuat mantan Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jogja 1967-1968, ini memilih berseberangan dengan mahasiswa yang tengah menyuarakan reformasi dan menuntut turun Pak Harto.
Dia malah tak sekadar turut turun meramaikan unjuk rasa mahasiswa, tetapi juga memfasilitasinya dengan menyediakan panggung lengkap dengan pengeras suaranya, serta memberikan jaminan kepada para mahasiswa bahwa selama unjuk rasa berada di dalam kampus, aparat tidak bisa menangkap mereka.
Karena keberpihakannya yang tegas pada gerakan reformasi itu, dia pun dijuluki mahasiswanya sebagai rektor reformis. Amal punya pertimbangan matang atas pilihannya mendukung gerakan mahasiswa yang dituduh pemerintah melakukan politik praktis, itu. Dia menilai unjuk rasa mahasiswa itu murni menyuarakan kepentingan rakyat.
Maka dalam buku 50 Tahun UGM di Seputar Dinamika Politik Bangsa, disebut: “Beruntung UGM memiliki Prof Dr Ichlasul Amal. Lelaki kecil dengan nyali besar. Di pengujung rezim Soeharto, di tengah pesona psikologis pergantian milenium yang diharapkan membawa perubahan, dia merupakan figur yang tepat pada saat yang tepat. Dia muncul dengan berani untuk menegakkan demokrasi yang sehat di negeri ini.”
Walaupun Pak Harto sendiri, di ujung kekuasaannya masih berupaya merangkul Amal dengan menawarkan jabatan Mendikbud Kabinet Pembangunan Reformasi yang diniatkan menggantikan Kabinet Pembangunan VII. “Saya diminta langsung oleh Pak Harto. Dua kali malah, langsung ke handphone saya,” katanya suatu saat sebagaimana dirilis Jawa Pos. Tapi tawaran itu terpaksa tak dipenuhi, karena prinsip dan merasa tidak enak terhadap mahasiswa dan lingkungan sekitarnya.
Setelah Presiden Soeharto lengser, digantikan oleh BJ Habibie, Amal menunjukkan sikap politiknya yang tetap konsisten menyuarakan kepentingan rakyat. Saat itu dia menolak tawaran Habibie untuk menduduki jabatan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Kemudian disusul munculnya berbagai partai politik, pakar ilmu politik ini pun mengajak 76 parpol baru berdialog di kampus UGM, dalam acara “Dialog Antarpartai tentang Pemilu. Namun dia sendiri menolak tawaran bergabung dalam partai politik dengan dalih sebagai pegawai negeri. Lalu, dia juga mencetuskan ide pemantau pemilu sebagai ganti kuliah kerja nyata bagi mahasiswanya.
Selama menjabat rektor, dia membangun hubungan yang cair dengan segenap jajaran di kampusnya. Dia juga mengimplementasikan kebebasan berpikir terutama pentingnya berpikir alternatif. Menurutnya, berpikir bahwa berbuat sesuatu yang berbeda bukanlah hal yang salah.
Sampai alumni S1 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM (1967), ini melepas jabatannya, tidak terpilih lagi sebagai rektor, dia tetap konsisten dalam sikap politiknya. Saat melepas jabatan rektornya, dia didaulat sejumlah karyawan dan mahasiswa mengenakan ikat kepala bertulikan “reformasi” dan mengaraknya dengan andong di seputar kampus.
Masa Kecil
Suami dari Ery Hariati dan ayah dari dua orang anak (Amelin Herani SE dan Akmal Herawan) ini dibesarkan di tengah keluarga pedagang yang berbudaya santri. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan pondok pesantren dan pernah dijadikan markas Partai Masyumi.
Pada saat kecil, Amal mengaku tak punya cita-cita. Dia tidak bercita-cita jadi pedagang seperti orang tuanya atau kebanyak anak-anak sebayanya ketika itu. Ada budaya pesantren di kampungnya itu lebih banyak bercita-cita jadi pedagang, ketimbang jadi pegawai negeri. Cita-citanya mengalir saja laksana air.
Amal mengecap pendidikan SD, SMP dan SMA di kota kelahirannya. Dia selalu mendapat ranking pertama. Lulus SMA, dia mendaftar dan diterima di dua universitas, yakni UGM dan Unair Surabaya. Lalu, Amal memilih Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM. Dia pun tekun mengikuti kuliah, dan diselesaikan lima tahun (1967).
Dia pun langsung diangkat menjadi dosen di almamaaternya, tanpa melamar. Ketika itu, 1967, UGM mengalami kekosongan pengajar karena banyak dosen terlibat G30S dan dikeluarkan. Dua tahun berikutnya (1969), dia menikah dengan Ery Hariati, adik kelasnya waktu kuliah. Mereka dikaruniai tiga anak, namun satu meninggal dunia akibat leukemia.
Lalu, dia pun berkesempatan melanjutkan studi ilmu politik di Northern Illinois University, Illinois, Amerika Serikat, atas beasiswa Fullbright, meraih gelar MA.
Kemudian, sambil merawat anaknya yang sakit di Australia, Amal melanjutkan S3 di Monash University, Melbourne, Australia. Dia pun menggondol gelar doktor (PhD) dengan disertasi mengenai politik dalam negeri dalam kaitan hubungan pusat dengan daerah.
Selain sebagai guru besar politik di UGM, dia pun dikenal sebagai pengamat politik yang jernih tanpa mempunyai interes pribadi. Setelah tidak menjabat rektor, ia pun tetap menjadi pengamat politik. Dia pun senang dalam hobinya berolahraga tenis dan voli serta berkebun dan memelihara ikan dan aneka burung. Dia punya kandang burung setinggi tiga meter dan aquarium besar di rumahnya, Pendeansari Blok I No. 5 Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. e-ti/tsl, dari berbagai sumber