Bapak Komik Indonesia
RA Kosasih
[ENSIKLOPEDI] Bagi generasi tahun 1950-1960-an, komik-komik karya RA Kosasih memenuhi ruang imajinasi anak-anak sampai orang tua di masa itu. Karya-karyanya banyak berhubungan dengan kesusastraan Hindu (Ramayana dan Mahabharata) dan sastra tradisional Indonesia, terutama dari sastra Jawa dan Sunda. Generasi komik masa kini menggelarinya Bapak Komik Indonesia. Dia meninggal dengan tenang pada usia 93 tahun pada 24 Juli 2012 di kediamannya, Cempaka Putih, Ciputat.
Komikus yang namanya dijadikan nama jalan di daerah Sukabumi ini lahir pada 4 April 1919 di Bogor, Jawa Barat. Kedua orang tuanya berdarah ningrat. Ayahnya bernama Raden Wirakusumah seorang pedagang dari Purwakarta. Ibunya bernama Rasmani, perempuan Bogor. Ia adalah anak bungsu dari delapan bersaudara.
Minat menggambar Kosasih datang tanpa sengaja. Ketika kelas satu Inlands School, Bogor, ia acap menunggu ibunya berbelanja. Nah, di saat membantu membongkari belanjaan sang ibu itulah, matanya menangkap komik Tarzan dari potongan-potongan koran bungkus belanjaan. Ia pun menjadi penikmat komik itu, meski dengan cerita yang tentu, tak berurutan.
Lulus dari Inlands School 1932, ia melanjutkan ke Hollandsc Inlands School (HIS) Pasundan. Di HIS inilah Kosasih mulai tertarik pada seni menggambar secara formal. Ketertarikannya itu muncul setelah ia melihat ilustrasi pada buku pelajaran Bahasa Belanda yang bagus-bagus. Buku catatannya banyak yang cepat habis karena dibuatnya jadi tempat gambar.
Selepas HIS, Kosasih tidak meneruskan sekolah, meski kesempatan menjadi pamong praja menunggunya. Masa menganggur itu ia puaskan dengan menggambar dan menonton wayang golek. Ia selalu pulang pagi, terutama jika lakonnya Arjuna, Bima, atau Gatotkaca. Karena sering menonton, ia sampai hapal semua cerita wayang, juga gaya para pedalang. Setelah menonton wayang, kepalanya masih selalu dipenuhi gambaran cerita wayang. Saat itu, ia mendapat ide bagaimana jika cerita itu dipersingkat tapi tetap berbobot dan disukai banyak orang. Tapi, ide itu hanya sebatas ide.
Tahun 1939, ia melamar sebagai juru gambar di Departemen Pertanian Bogor. Diterima, ia pun menjadi penggambar hewan dan tumbuhan. Gajinya cukup, meski tak mewah. Ketika Jepang ekspansi ke Indonesia tahun 1942, RA. Kosasih kelimpungan dan hidupnya tak karuan. Pekerjaan pun jadi berantakan. Ia tak lagi mendapatkan komik-komik kegemarannya. Yang ia dapatkan hanya komik Flash Gordon dari bekas kertas pembungkus. Flash Gordon adalah sosok pahlawan fiksi Australia yang digambar Alex Raymond yang diterbitkan sejak tahun 1934.
Setelah merdeka, ia melihat banyak peluang di koran-koran. Pada tahun 1953, ia melamar kerja sebagai komikus di harian Pedoman Bandung. Setelah diterima, ia masuk malam, karena siang masih bekerja di Departemen pertanian.
Pada tahun yang sama, salah satu majalah terbitan Jakarta memuat iklan. Isinya, penerbitan Melodie mencari penggambar komik. Kosasih tertarik lalu mengirimkan karyanya. Tatang Atmadja, pemilik penerbitan Melodie kepincut dengan karya Kosasih dan menemuinya di Bogor.
Dari pertemuan itu, Kosasih diberikan komik-komik Amerika. Dia diminta untuk meniru, namun harus dijadikan tokoh Indonesia. Kosasih tertarik dengan superhero Wonder Woman terbitan King Feature Syndicate. Kosasih menyulapnya menjadi tokoh Sri Asih.
Serial komik Sri Asih dirampungkan sebagai komik pertamanya. Sri Asih dikarakterkan sebagai superhero perempuan berkostum wayang. Memakai kain kebaya dan kemben, rambutnya panjang dengan mata besar, bermahkota giwang dan manik di dahi. Perempuan yang jago berkelahi, bertenaga kuat, dan bisa terbang.
Komiknya laku keras di pasar dengan cetak 3000 eksemplar. Honornya tak tanggung-tanggung, Kosasih mengantongi Rp 4.000. Jauh lebih besar dibandingkan honornya menjadi pegawai Departemen Pertanian yang hanya Rp150.
Sukses komik pertama, Kosasih semakin bersemangat membuat komik. Akhirnya terbitlah komik keduanya, namanya Siti Gahara. Komik ini bercerita tentang pendekar wanita bernama Siti Gahara. Sosok Gahara adalah plesetan dari Sahara, ratu Kerajaan Turkana yang berpakaian Timur Tengah. Kostumnya, dengan perut terbuka, lengan baju sebatas siku, dan bercelana panjang. Keheroan perempuan ini, bisa terbang dan jago berkelahi. Musuh bebuyutannya, nenek sihir. Komik ini pun laku keras.
Meski pundi-pundi honor hasil komiknya terus bertambah, Kosasih tak tinggal diam. Ia terus berimajinasi. Selanjutnya RA. Kosasih menggambar serial Sri Dewi. Sosok yang dikenal sebagai dewi kesuburan yang oleh orang Jawa dan Bali identik dengan
Dewi Padi.
Minat menggambar Kosasih datang tanpa sengaja. Ketika kelas satu Inlands School, Bogor, ia acap menunggu ibunya berbelanja. Nah, di saat membantu membongkari belanjaan sang ibu itulah, matanya menangkap komik Tarzan dari potongan-potongan koran bungkus belanjaan. Ia pun menjadi penikmat komik itu, meski dengan cerita yang tentu, tak berurutan.
Pada serial ini, sosok Sri Dewi kontra dengan Dewi Sputnik. Pada komik ini, Kosasih menggambarkan Sri Dewi merupakan perempuan dengan gaya tradisional dan Dewi Sputnik bersosok modern. Kosasih ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa Sri Dewi tak bisa dikalahkan dan selalu menang.
Di tengah upayanya merintis karir sebagai komikus, Kosasih yang sudah berumur 31 tahun belum juga menikah. Padahal, banyak perempuan yang ingin merebut hatinya. Alasannya, Kosasih berpikir mencari pendamping hidup. Pamannya kemudian memperkenalkan Kosasih dengan seorang perempuan. Namanya Lili Karsilah yang saat itu berusia 25 tahun. Kosasih langsung kepincut dan bersedia menikahinya. Dari perkawinan mereka dikarunia dua orang anak. Anak pertama laki-laki diberi nama Kusumandana. Dan yang kedua, perempuan bernama Yudowati Ambiyana. Namun Tuhan berbicara lain. Hidup putranya Kusumandana tak berlangsung lama. Tahun 1957 pada usia empat tahun, Kusumandana meninggal dunia terkena serangan demam. Kemudian dikuburkan di pemakaman Dreded, Bondongan, Bogor, Jawa Barat.
Dengan komik, Kosasih menafkahi keluarganya. Jika sedang berimajinasi, ia menolak untuk diganggu oleh siapa pun termasuk istri dan anak-anaknya. Kosasih bahkan tak segan-segan mengunci kamarnya. Hingga makan pun terkadang luput dari ingatannya. Ia bahkan berpesan kepada istrinya untuk mengatakan bahwa dirinya sedang pergi jika ada tamu yang tidak penting mencarinya.
Kosasih bahkan tak ingin orang lain tahu mengenai dirinya yang tenar dari komiknya. Begitu pula dengan wartawan apalagi dengan tetangga rumahnya. Ia selalu mewanti-wanti agar tidak memberikan alamat tempat tinggalnya. Tapi sepintar-pintarnya sembunyi, akhirnya identitasnya terbongkar juga. Seorang wartawan Kompas bernama Arswendo Atmowiloto pada 1970-an mengetahui alamatnya saat berada di Paris.
Arswendo langsung mendatangi rumahnya di Bogor dan Kosasih bersedia menemuinya untuk diwawancarai. Tidak lama kemudian, Kompas memuat tulisan tentang sosok RA. Kosasih. Sejak itu, pengemar komik buatan Kosasih mulai berdatangan. Tetangga mulai menaruh hormat padanya. Bahkan, banyak pengemar perempuan yang mengirimi surat. Bermacam-macam isinya, ada yang memberikan apresiasi karyanya, sekadar menyapa berkenalan, bahkan tak sedikit yang mengajak menikah.
Pada tahun 1955, Kosasih mengambil keputusan berhenti menjadi pegawai Departemen Pertanian karena kesibukannya di dunia komik. Tahun 1960-an, kondisi politik membuat dirinya menghentikan dulu komiknya. Saat itu, PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengecam komiknya karena dianggap berunsur ke barat-baratan. Tak ayal, tiras komiknya berkurang. Justru yang banyak beredar adalah komik-komik keluaran China.
Karena tidak mau tinggal diam, Kosasih menyiasatinya dengan menggambar sosok wayang. Komiknya antara lain, Mundinglaya Dikusuma, Ganesha Bangun, Burisrawa Gandrung, dan Burisrawa Merindukan Bulan. Dua komik terakhir menjadi komik terlaris di pasar. Singkat cerita, komik-komik Kosasih kembali merajai pasar komik Indonesia.
Selanjutnya, Kosasih membuat komik Ramayana dan Mahabharata. Idenya dari bacaan Bhagawat Gita terjemahan Balai Pusaka. Hasilnya luar biasa. Angka penjualannya mencapat 30 ribu eksemplar. Tiras paling besar sepanjang sejarah komik Indonesia.
Dua karya itu memang melambungkan nama Kosasih, namun yang lebih penting lagi, komik Mahabbarata berhasil memperkenalkan kisah itu kepada generasi baru, yakni anak-anak dan remaja perkotaan yang jarang nonton wayang kulit atau wayang orang. Bagi mereka, komik Kosasih adalah referensi awal ke kisah klasik asal India itu.
Walau tidak ada catatan pasti berapa jumlah komik Mahabbarata yang berhasil terjual. Kosasih ingat bahwa Mahabbarata dan Ramayana adalah dua karya yang kemudian berhasil membuatnya membeli rumah. Kesuksesan sebagai komikus jualah yang membuat Kosasih berani berhenti dari pekerjaannya dan total menggambar.
Di tahun-tahun selanjutnya, ia tetap menguasai pasar komik Indonesia dengan kembali membuat komik wanita superhero, Cempaka. Sosok perempuan berbaju loreng, kekar, tinggi dan seksi. Sosok Cempaka diilhami oleh sosok Tarzan. Sayangnya, komik itu tidak terlalu laris seperti komik sebelumnya.
Ketika popularitas komik wayang menyusut, Kosasih membuat komik berkarakter lain dengan imajinasinya sendiri. Ia beralih ke komik dari legenda. Misalnya, komik tentang Lutung Kasarung, Sangkuriang dan lainnya.
Pada tahun 1964, Kosasih hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk penerbitan Lokajaya. Ia membuat serial Kala Hitam dan Setan Cebol. Lagi-lagi, ia tak seberuntung dulu. Komiknya hanya laku 2000 eksemplar. Empat tahun kemudian, 1968, kesehatannya mulai tidak stabil. Kosasih memilih istirahat setahun lamanya dan kembali ke Bogor.
Dua tahun setelah istirahat, tahun 1970-an, ia diminta oleh penerbit Maranatha Bandung untuk membuat komik ulang Mahabharata. Karyanya berbeda dengan gambar yang kali pertama dibuatnya. Hasilnya pun dianggap gagal.
Dengan sisa kekuatan imajinasi, ia terus menggambar. Pada tahun 1984, ketika sedang menggambar, tangannya gemetaran. Pensilnya sulit dikendalikan. Tangannya secara tiba-tiba membuat gambarnya menjadi berantakan. Sejak saat itu, Kosasih sudah benar-benar tidak pernah lagi menggambar. Ia tidak mau memaksakan diri lagi dan lebih memilih berhenti total sebagai pembuat komik. Tahun 1994, ia menyatakan diri ‘pensiun’ dari dunia komik dan memilih menikmati sisa hidupnya.
Sejak tahun 1990-an, Kosasih hijrah ke rumah anak perempuannya Yudowati di daerah Rempoa, Ciputat, Jakarta Selatan. Kosasih menempati satu kamar yang berada di lantai dua. Sedangkan rumah di Bogor, dijualnya. Alasannya, agar dekat dengan anak dan cucu satu-satunya bernama Adinadra. Pada tahun 1994, istrinya Lili Karsilah, dipanggil sang Khalik setelah menderita stroke dan asma. Sang istri tercinta dikebumikan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
Kini kondisi kesehatan peraih penghargaan anugerah Lifetime Achievement (2005) ini semakin menurun. Ia tidak dibolehkan banyak bicara karena akan terjadi pengeringan cairan pada bagian paru-parunya. Penyakitnya tidak boleh kekurangan dan kelebihan air putih. Untuk itu, ia tidak boleh jauh dari air minum.
Sejak tahun 2009, Kosasih sering keluar-masuk rumah sakit. Ia mengidap sakit pembengkakan pembuluh jantung. Ketika Kosasih masuk RS Bintaro pada Januari 2009, perlu dana 15 juta untuk membiayai perawatannya. Lalu saat masuk rumah sakit itu kembali pada November 2009, ia mengeluarkan dana sekitar Rp 18 juta.
Melihat kondisi itu, para penggemar komik tak tinggal diam. Apalagi diketahui, Kosasih keluar dari rumah sakit karena keluarganya tidak punya biaya lagi. Para komunitas komik menggalang dana untuk kesembuhan RA. Kosasih.
Setiap awal bulan, Kosasih harus periksa ke dokter. Dan setiap periksa, ia mendapatkan obat baru yang habis setiap bulan sekali. Biaya periksa dan obat-obatan memerlukan biaya minimal sejuta. Untuk biaya pengobatan itu, Kosasih tidak bisa berharap dari royalti komiknya karena tidak ada royalti. Dulu ia dibayar sesuai pesanan.
Pada 4 April 2010, usianya mencapai 91 tahun. Kondisi matanya masih cukup baik untuk pria seusianya. Ia masih bisa melangkah dengan kakinya. Tongkat yang ia gunakan hanya sebagai alat bantu saja. Begitu juga dengan kacamata yang sesekali saja dipakai jika diperlukan. Saat itu, Kosasih sudah siap dipanggil Tuhan. Hal itu terlihat ketika Kosasih merayakan ulang tahunnya yang ke-91, para tamu menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Namun, saat tiba di kalimat “selamat panjang umur…”, tiba-tiba Kosasih memotong. Ia tidak mau lagi didoakan selamat panjang umur karena merasa umurnya sudah kepanjangan. Bahkan peraih Satyalancana Kebudayaan (2008) dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ini bergurau bagaimana kalau umurnya yang panjang itu dibagikan saja ke tamu yang datang.
Memang tidak ada seorangpun yang bisa menentukan lamanya hidup seseorang. Dua tahun kemudian, di usianya yang ke-93, Kosasih akhirnya dipanggil Sang Pencipta. Ia meninggal di kediamannya dini hari, Selasa 24 Juli 2012, sekitar pukul 01.00 WIB. Sebelumnya, Kosasih sempat menjalani perawatan di RS Bintaro karena penyakit jantung. Walaupun ia sudah tiada, karya-karyanya akan tetap hidup selamanya. e-ti | muli, mlp