
[ENSIKLOPEDI] Jenderal (Purn) TNI-AD Achmad Tahir (78), Sabtu 17/8/02 pukul 08.15, meninggal di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) 1982-1987 itu meninggal setelah dirawat sepekan karena kanker paru-paru. Jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata hari itu juga. Ia seorang prajurit pejuang sampai akhir. Seperti istilah yang populer di dunia militer Old soldier never die, bahwa prajurit, meskipun telah tua, tidak akan pernah mati atau berhenti berjuang, kecuali kematian itu sendiri yang menghentikan perjuangan fisiknya. Achmad Tahir telah menunaikan tugas sebagai seorang prajurit pejuang hingga akhir hayatnya.
Sebagai Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), posisinya yang terakhir, ia banyak memperjuangkan nasib veteran terutama yang belum memiliki rumah. Berkat perjuangannya pada 1994, banyak veteran bisa memiliki rumah. Pembangunan rumah itu atas kerja sama LVRI dan Induk Koperasi Karyawan (Inkopkar) serta Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1994.
Ketika itu lima puluh persen dari 843.000 anggota LVRI belum mempunyai rumah. Untuk mengatasi pendanaan pembangunan perumahan itu, ia pun membuat terobosan melalui “Gerakan 1000 Veteran” yakni pemotongan dana Rp1.000 dari tunjangan veteran yang diterima setiap bulan. Dari 843.000 anggota LVRI terdapat sekitar 220.000 orang yang menerima tunjangan veteran tiap bulan, berarti organisasi veteran itu dapat mengumpulkan Rp220 juta tiap bulan untuk pengadaan rumah bagi anggotanya. Bapak mertua Menteri Perhubungan Agum Gumelar ini sangat peduli atas nasib para veteran. Ia berupaya agar mereka terbebas dari kesusahan sepanjang hidupnya.
Hingga akhir hayatnya ia seorang prajurit sejati yang tiada henti menanamkan rasa cinta bela bangsa. Ia memang seorang pejuang yang pantas diteladani. Sebagaimana dituturkan oleh para sahabatnya yang datang melayat. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menilai, Tahir adalah salah satu pemimpin yang komunikatif dan luwes. “Beliau salah satu pemimpin dari kalangan militer yang mampu mendamaikan dan merangkul berbagai elemen dari bawah sampai atas.” tutur Sabarno. Pengusaha Tong Djoe menilai Tahir sebagai pemimpin yang lincah dan suka melindungi kawan yang sedang mengalami kesulitan. Sementara mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang tiba pukul 11.46. mengatakan Achmad Tahir lebih memikirkan bangsa ini daripada memikirkan diri sendiri atau keluarganya saja.
Ia meninggal saat bangsa ini merayakan HUT ke-57 Proklamasi Kemerdekaan. Mantan Gubernur Akabri Umum Darat (1966-1968) itu meninggalkan seorang istri (Rooslila); enam anak, yaitu Gelora Surya Dharma atau Dali Tahir, Hari Indra Utama, Yulia Saprita, Linda Amalia Sari Agum Gumelar, Adi Putra Darmawan, Chaerul Permata Cita, serta 11 cucu.
Presiden Megawati Soekarnoputri dan suami, Taufik Kiemas, dating melayat pada pukul 11.27, diikuti Wakil Presiden Hamzah Haz. Hampir seluruh pejabat tinggi sipil, militer, pengusaha, serta mantan petinggi era mantan Presiden Soeharto memenuhi rumah duka di Jalan Taman Patra XIV Kavling 12-13, Jakarta Selatan.
Mereka yang dating melayat antara lain Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan ketiga kepala staf angkatan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, mantan Menteri Sekretaris Negara Soedharmono, mantan Menteri Pendidikan Fuad Hassan, mantan Menko Polkam Wiranto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Subagio HS, Cosmas Batubara, Wismoyo Arismunandar, Bomer Pasaribu, Arifin Siregar, AM Fatwa, dan Menristek Hatta Radjasa.
Achmad Tahir lahir di Kisaran, Sumatera Utara, 27 Juni 1924, sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya yang berasal dari Salatiga (Jateng) adalah masinis perusahaan kereta api DSM di Sumut, sedangkan ibunya asli Serdang (Sumut). Semasa kecil Tahir mendapat didikan disiplin yang mengarahkannya menjadi sosok mandiri dan harus menjalankan tugas rumah sehari-hari. “Tugas saya membelah kayu dan mengambil air,” kenangnya seperti dikutip buku Apa dan Siapa (Pustaka Grafitipers, 1986). Sejak kecil ia dikenal sebagai pria yang gesit dan cepat tanggap. Untuk membantu orang tuanya, ia menjajakan rokok dan permen di bioskop, pernah pula menjadi tukang pungut bola di lapangan tenis. Dan, akhirnya ia menjadi seorang tokoh militer dan sipil yang menguasai bahasa Inggris, Perancis, Italia, dan Belanda.
Ia mengawali pendidikannya sebagai siswa HIS Medan (1938), MULO-B Medan (1941), SMA-B Bukittinggi (1948, tidak selesai), hingga jenjang perguruan tinggi di Fakultas Sospol Universitas Jayabaya (1972, sarjana muda). Sebelumnya, ia juga pernah mengikuti latihan opsir Gyugun (1943), latihan Candradimuka (1952), kursus atase militer (1956) dan ikut Seskoad (1960).
Ia bertemu dengan Rooslila yang menjadi pendamping hidupnya, saat Achmad Tahir berpangkat letnan dua mengikuti latihan perwira Gyugun (semacam Peta di Jawa). Suatu hari di bulan Agustus 1945, ia menerima selembar salinan teks proklamasi dari Rooslila, penyiar Radio Jepang dan wartawati Sumatera Shinbun. Ia kemudian menikah dengan Rooslila –gadis campuran suku Batak dan Minang pada 1946. Rooslila pernah menjadi anggota DPR periode 1982-1987.
Sementara karirnya antara lain sebagai Panglima Divisi IV/TKR (1945), Komandan Polisi Tentara Sumatera (1946-1947), Kastaf KDO Sumatera (1948-1949), Kabag Umum Dinas Personalia AD (1950-1952). Asisten Ajudan Jenderal (1952-1953), Kepala Seksi III Staf Umum TNI-AD (1953-1956), Atase Militer KBRI Roma (1956-1959), dosen Seskoad (1960-1962), Kastaf Gabungan Komando Mandala (1962-1963), Kastaf Gubernur Militer Indonesia Bagian Timur(1962-1963), dan Gubernur Akabri Umum Darat (1966-1968).
Lalu empat tahun ia menjabat Pangkowilhan I Sumatera (1969-1973). Kemudian Dubes RI di Prancis (1973-1976), Dubes RI di Spanyol (1973-1975), Sekjen Dephub (1976-1983) dan Menparpostel (1983-1988 dan 1988-1993). Pada 1994 Tahir bertugas sebagai Dubes Keliling Gerakan Nonblok untuk wilayah Eropa.
Saat perang saudara berkecamuk di Yugoslavia yang membuat negara itu terpecah belah, Tahir menyerukan agar Indonesia meminta Rusia untuk menekan Serbia dan Jerman menekan Kroasia, demi mewujudkan perdamaian di Bosnia-Herzegovina.
Achmad Tahir yang saat itu dikirim Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non Blok mengatakan Indonesia melalui diplomasi ‘diam-diam’ berupaya membantu mewujudkan perdamaian di wilayah bekas Yugoslavia itu. dari berbagai sumber TI