Data Ketua MPR-RI

[TOPIK PILIHAN] – PDTI – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (UUD 1945 hasil amandemen). Sebelumnya (sebelum reformasi), MPR merupakan lembaga tertinggi negara, sebagai pemegang (pelaksana) kedaulatan rakyat (Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat). MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Dalam sejarahnya, sudah ada 12 Ketua MPR (MPRS dan MPR), sejak terbentuknya MPRS tahun 1960. Namun, karena KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) diresmikan merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia, maka Ketua KNIP dapat dikategorikan sebagai Ketua MPR-RI.
Kemudian, saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun saat itu kemudian dibentuk lembaga Konstituante (Hasil Pemilu 1955) yang bertugas membuat UUD baru. Oleh karena fungsinya sebagai pembuat UUD, yang menjadi tugas MPR, maka Konstituante dapat pula dikategorikan sebagai MPR. Namun, Konstituante gagal melahirkan UUD, sehingga dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang juga ‘menggantinya’ dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Berikut Daftar (Data) Ketua MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), sejak 1945 sampai sekarang:
1. Mr Kasman Singodimedjo, 1945-1946, nonpartai, KNIP[1]
2. Mr. Assaat, 1946-1949, nonpartai, KNIP
3. Wilopo, 1955-1959, Partai Nasional Indonesia, Konstituante [2]
4. Chaerul Saleh, 1960-1966, nonpartai, MPRS [3]
5. Abdul Harris Nasution , 1966-1972, TNI Angkatan Darat, MPRS
6. Idham Chalid, 1972-1977, Partai Persatuan Pembangunan(NU), MPR/DPR[4]
7. Adam Malik , 1977-1978, Golkar, MPR/DPR
8. Daryatmo, 1978-1982, Golkar, MPR/DPR
9. Amir Machmud, 1982-1987, Golkar, MPR/DPR
10. Kharis Suhud, 1987-1992, Golkar, MPR/DPR
11. Wahono, 1992-1997, Golkar, MPR/DPR
12. Harmoko, 1997-1999, Golkar, MPR/DPR
13. Amien Rais, 1999-2004,Partai Amanat Nasional, MPR[5]
14. Hidayat Nur Wahid , 2004-2009, Partai Keadilan Sejahtera, MPR[6]
15. Taufiq Kiemas, 2009-2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, MPR
Keterangan:
[1] KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). KNIP dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950. Saat itu, KNIP masih merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian, setelah diterbitkannya maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP diberikan kewenangan untuk ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
[2] Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Kemudian, sesuai Pasal 134 UUDS 1950 yang mengamanatkan pembentukan UUD baru, maka pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar. Konstituante beranggotakan 550 orang berdasarkan hasil Pemilu 1955. Namun, Konstituante tidak kunjung dapat menetapkan Undang-Undang Dasar. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal (buntu), itu pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante. Sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan: Pembubaran Konstituante; Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950; Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), lembaga tertinggi negara yang dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang ditindaklanjuti dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut: 1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan; 2. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden; 3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya; 4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden; 5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden. Pada waktu itu, anggota MPRS berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah (Diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960).
[4] Pimpinan MPR disatukan dengan Pimpinan DPR.
[5] Pimpinan MPR dipisahkan dengan Pimpinan DPR
[6] MPR tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi, tetapi menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Perubahan ini terjadi setelah bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi yang tidak lagi menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” , setelah amandemen Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Pusat Data TokohIndonesia.com | rbh