Masa Kecil dan Sekolah
Soeparno Prawiroadiredjo
[ENSIKLOPEDI] Soeparno Prawiroadiredjo lahir di Pasuruan, 4 Juni 1933. Dia tidak merasa ada hal khusus yang dialami dalam masa kecil. Dia merasa menjalani hidup sebagaimana layaknya anak-anak di lingkungannya. Walaupun ayahnya, Soendaroe Prawiroadiredjo seorang pegawai pemerintahan dalam negeri, ambtenaar Binnenlands Bestuur (disingkat BB), sudah menjabat Asisten Wedana (Camat) pada Zaman Hindia Belanda. “Tapi kalau orang sebut, namanya BB, Budak Belanda, atau Bruine Bonen (Kacang Merah),” ungkap Soeparno, merendah.
Tapi, semua orang tahu, bahwa bahkan saat ini, Camat mempunyai kedudukan terhormat, apalagi pada zaman Belanda. Waktu itu, anak camat boleh sekolah Belanda. Soeparno pun mengecap pendidikan Europeesche Lagere School (ELS)[1] di Sidoarjo. Namun, di sekolah Belanda (ELS) ini, dia hanya sampai kelas 3 (1942). Karena pemerintahan Hindia Belanda ditaklukkan Jepang[2]. Bersamaan dengan itu, semua sekolah Belanda ditutup dan dibubarkan oleh Jepang. Namun, beberapa saat kemudian, sekolah kembali dibuka dengan nama dan sistem baru. Tidak diperbolehkan lagi menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, tetapi harus dengan bahasa Indonesia, serta wajib memelajari bahasa Jepang dan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo.
Jenjang pendidikan dasar diberi nama Sekolah Rakyat, atau Kokumin Gakko (bahasa Jepang)3. Soeparno masuk Sekolah Rakyat (SR) di Pasuruan, kemudian pindah ke Lumajang, dan tamat SR tahun 1947. Kala itu, terjadi Clash I (Agressi Militer Belanda I)[4], Belanda dan sekutunya menyerang, ingin menancapkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Rakyat pun mengungsi, termasuk Soeparno dan keluarganya mengungsi ke hutan di Dampit. Perlawanan sengit pun dilakukan TNI bersama laskar rakyat secara gerilya. Akibatnya, Soeparno, seperti juga anak-anak yang lain, selama hampir satu tahun tidak sekolah.
Namun, ketika di hutan, dia bersama anak-anak lainnya juga belajar di bawah bimbingan para guru, atau yang sudah terpelajar, yang ikut bergerilya di hutan. Salah seorang gurunya di hutan di Dampit adalah yang kemudian dikenal sebagai Jenderal TNI Soemitro.[5]
Kemudian setelah situasi memungkinkan, Soeparno sekolah lagi, masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Malang. Lalu, setamat SMP, Soeparno melanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota yang sama, Malang, tamat tahun 1953.
Setamat SMA, dia mengajukan permohonan beasiswa ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hanya dalam tempo satu minggu, permohonannya langsung ditanggapi. Dia diminta segera datang ke Jakarta. Permohonan bea siswanya dikabulkan, tanpa tes lebih dulu.
Kemudian dia meninggalkan tanah air, menuju Belanda untuk kuliah di Delft University of Technology.[6] Setelah beberapa saat belajar di Belanda, dia pindah ke Jerman, akibat perkembangan politik antara Republik Indonesia dengan Belanda. Di Jerman, dia melanjut ke Technische Hochschule Hannover7, hingga meraih gelar Diplom-Ingenieur Teknik Perkapalan, 1960.
Menikah dengan Teman SMA
Satu tahun setelah Soeparno meraih gelar Diplom-Ingenieur Teknik Perkapalan dari Technische Hochschule Hannover, Jerman, 1960, Soeparno menikah dengan Sri Roesmani Priosepoetro (lahir di Bangil 19 Desember 1933) di Jakarta pada tanggal 21 Mei1961. Mereka sudah berteman sejak SMA di Malang. Namun waktu itu, mereka masih belum saling menyatakan perasaan cinta, masih sekadar teman. Kemudian, setamat SMA, Soeparno berangkat beasiswa ke Belanda. Sedangkan gadis kenalannya melanjutkan sekolah ke School of International Relations, John Hopkins University, Washington, Amerika (1959-1960), setelah memperoleh gelar ‘Meester in de Rechten’ dari Fakultas Hukum dan Pengetahuan Massyarakat Universitas Indonesia (1958).
Kemudian suatu waktu mereka ketemu dan berproses saling mencintai hingga sepakat menikah, 1961. Buah kasih pernikahannya, dua orang anak, satu puteri dan satu putera. Puterinya Hesti Damayanti Porter Soeparno, sekolah di Iowa State University di Ames, Amerika, menikah dan menetap di sana bersama suaminya, Michael (Mike) Glen Porter, teman se-universitas.
Puteranya, Heru Tjahjono Soeparno, sekolah matematika di Technische Universitaet Berlin, Jerman. Tapi jenuh. Memilih menjadi wiraswasta, punya pabrik pengolahan beras di Bandung. Sudah menikah dengan gadis Jawa, Rita Bintari Lestari Gondosasmito dan memberinya tiga cucu, Heri Adinegoro Soeparno, Ruri Anggiani Soeparno dan Henri Adinegoro Soeparno. Sementara puterinya yang di Amerika, tampaknya belum mau punya anak.
Isterinya mengajar Hubungan Internasional di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, sebagai lektor kepala (Associate Proffesor) dengan pangkat IVD, Pembina Utama Muda, sampai meninggal dunia tahun 2001. Sepeninggal isterinya, kesehatannya sedikit terganggu. Namun, sebagai seorang muslim yang taat, dia melewati kesedihan atas meninggalnya isteri yang amat dicintainya itu. Sehingga, kini, kesehatannya masih terpelihara. Kepasrahan dan ketaqwaannya kepada Illahi, serta kebersahajaan hidupnya, menjadi kunci dari kesehatannya. Dia masih rajin senam, olah raga kebugaran yang disenanginya sejak dulu. Dia Dirut BUMN dan Dirjen yang tidak main golf. Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
[1] Europeesche Lagere School, disingkat ELS, adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Lalu, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[2] Penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945): Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tanggal 9 Maret 1942, ditandai menyerahnya Belanda kpada Jepang. Saat itu, Jepang menyatakan bahwa Jepang adalah saudara tua Indonesia dan Jepang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Indonesia dimasukkan dalam kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, di bawah kepemimpinan Jepang. Di bawah pendudukan Jepang, Indonesia dibagi dua, yakni: 1) Pulau Jawa dan Sumatra di bawah komando angkatan darat, berpusat di Jakarta; dan 2) Kalimantan, Sulawesi dan Maluku di bawah Komando Angkatan Laut yang berpusat di Ujung Pandang. Ternyata, pendudukan Jepang, jauh lebih kejam dari penjajahan Belanda. Pendudukan Jepang berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia, beberapa hari setelah tentara Jepang ditaklukkan tentara Sekutu. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[3] Sekolah Rakyat atau Kokumin Gakko: Setelah Jepang mengusir Belanda dari Indonesia, Maret 1942, segera menutup seluruh sekolah Belanda dan menggantikan dengan sistem pendidikan baru. Pendidikan dasar disebut Sekolah Rakyat atau dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko (kokumin-rakyat, gakko-sekolah). Wajah pendidikan berubah secara total dan fundamental. Salah satu yang paling mendasar ialah penghapusan diskriminasi antarberbagai sekolahan. Hanya ada satu macam sekolah untuk seluruh warga Indonesia. Untuk tingkat dasar hanya ada satu macam yaitu “Sekolah Rakyat” atau Kokumin Gakko selama 6 tahun. Tidak ada beda antara anak seorang Bupati dengan anak seorang petani dalam hal kemudahan masuk sekolah. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda, yang dibedakan berdasar berbagai kriteria dan golongan penduduk. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[4] Clash I atau Agresi Militer Belanda I atau disebut juga Operasi Produk adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang digencarkann dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi ini merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati dengan menggunakan kode “Operatie Product”. Diawali perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggarjati. Pihak Belanda tetap mendasarkan tafsirnya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negeri diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan gendarmerie bersama. Perdana Menteri Syahrir yang kemudian digantikan Amir Sjarifuddin menolak tuntutan Belanda. Kemudian, 15 Juli 1947, Belanda mengultimatum, 32 jam RI harus memberi jawaban. Penegasan penolakan disampaikan Amir Sjarifuddin tanggal 17 Juli 1947 melalui RRI Yogyakarta. Akhirnya, 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak dengan sasaran kota-kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera. Serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama. Menghadapi agresi militer Belanda yang bersenjata lengkap dan modern, satuan-satuan TNI terdesak ke luar kota. Selanjutnya, TNI bersama laskar rakyat melakukan serangan balasan dan taktik perang gerilya. Kemudian, 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. (Agresi Militer Belanda Pertama, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Seri 1945-1950, Skretariat Negara, Cetakan Keenam, 1985, hlm.144-145.
[5] Jenderal TNI AD Sumitro, lahir 13 Januari 1927 dan meninggal di Jakarta, 10 Mei 1998. Mantan Komandan Peleton Daidan Fukukan Probolinggo (1944), Ketua BKR Probolinggo (1945), Danton Yon I Probolinggo (1945-1947), Wadan Yon II Brigade I Divisi VIII/Brawijaya (1948) dan Komandan Militer Kota Malang (1948-1949), ini terakhir menjabat Pangkopkamtib/Wapangab (1971-1974). Saat menjabat Pangkopkamtib/Wapangab (1971-1974), sebuah jabatan yang sangat berkuasa pada era itu, dia didaulat para aktivis mahasiswa untuk berkenan menjadi Presiden RI menggantikan Jenderal Soeharto. Akibatnya, Sumitro yang akrab dengan mahasiswa terpaksa mengundurkan diri.Kala itu terjadi unjuk rasa mahasiswa menentang berbagai kebijakan pemerintah, antara lain tentang produk-produk Jepang yang menguasai pasar domestik. Unjuk rasa itu ditentang penguasa dan berujung pada terjadinya kerusuhan. Sehingga pemerintah menyebutnya sebagai Peritiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sumitro)
[6] Delft University of Technology (Technische Universiteit Delft), juga dikenal sebagai TU Delft, adalah perguruan tinggi teknologi terbesar dan tertua di Belanda. Terletak di Delft, Belanda. Universitas ini didirikan pada tanggal 8 Januari 1842 oleh Raja William II sebagai Royal Academy, dengan tujuan utama sebagai tempat pelatihan pegawai negeri sipil koloni Belanda. Kemudian, berkembang pesat menjadi Sekolah Politeknik pertama tahun 1864, lalu menjadi Institut Teknologi pada tahun 1905 sampai 1986, dan akhirnya mendapatkan hak menjadi universitas penuh pada 1986 sampai sekarang. (http://en.wikipedia.org/wiki/Delft_University_of_Technology)
[7] University of Hannover yang sejak 1 Juli 2006, diberi nama “Gottfried Wilhelm Leibniz Universität Hannover” (http://www.uni-hannover.de/).