Militer Menatap Masa Depan

Endriartono Sutarto
0
226
Lama Membaca: 10 menit

Soal Pasal “Kudeta”

Endriartono Sutarto
Endriartono Sutarto

Saya sungguh amat terperanjat atas tanggapan berbagai pengamat dan pakar tentang draf Rencana Undang-Undang (RUU) TNI Pasal 19, yang lalu dipopulerkan press sebagai pasal “Kudeta”. Keterperanjatan saya karena amat tidak menduga bahwa pasal itu mengundang demikian banyak tanggapan dan polemik di luar dugaan, sehingga saya tidak lagi mampu memahami arah yang akan dituju atas pembahasan Pasal 19 draf RUU TNI itu.

Sebagai prajurit TNI yang telah bertugas lebih dari 30 tahun, saya amat merasakan bagaimana ketiadaan pedoman bagi TNI telah menyebabkan berbagai kegamangan para prajurit di lapangan dalam melaksanakan tugas yang harus diembannya. Saat awal meletus konflik horizontal di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso, TNI dikatakan senantiasa terlambat bertindak, karena saat kami turun atas permintaan Kepolisian, korban telah demikian banyak, dengan cara amat mengenaskan. Kepala orang dipenggal menjadi hiasan di jalan-jalan, jenazah anak-anak balita dalam pelukan jenazah ibunya bergelimpangan berlumuran darah di berbagai tempat. Rumah-rumah terbakar habis dengan hanya menyisakan tubuh yang hangus.

Pertanyaannya, benarkah TNI terlambat bertindak? Bila jawabannya tidak, mengapa Satuan TNI yang posisinya tidak jauh dari lokasi kerusuhan tidak segera dikerahkan? Dalam negara hukum, menempatkan hukum sebagai landasan dalam bertindak merupakan kemutlakan. Atas dasar itulah TNI benar-benar tidak mempunyai referensi hukum untuk dapat menjawab, salah atau benarkah kami?

Di satu sisi hukum mengatakan, pengerahan kekuatan TNI kewenangannya ada pada Presiden (Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara) atau atas permintaan bantuan dari pihak kepolisian (Pasal 41 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI).

Berkait dengan kewenangan Kepolisian, kiranya masih perlu dikritisi apakah tepat bahwa kewenangan pejabat Kepolisian RI dalam hal mengerahkan kekuatan TNI berada sejajar dengan kewenangan Presiden. Di sisi lain kebutuhan di lapangan menunjukkan, kadang untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk mengatasi persoalan yang muncul mendadak amat diperlukan. Apa tidak sepatutnya kita lalu mencari tahu, apa sebenarnya yang salah dan bagaimana solusinya agar kejadian seperti itu tidak harus terulang lagi?

Belajar dari pengalaman, dalam berbagai kesempatan termasuk di Komisi I DPR, penulis dalam kapasitas sebagai KASAD pernah menyampaikan perlunya dibuat suatu aturan perundang-undangan sementara atau aturan transisi yang dapat menjadi payung hukum bagi TNI untuk dapat segera mengerahkan dan menggunakan kekuatan guna menangani keadaan mendesak di masa damai. Suatu payung hukum yang minimal dapat menjawab pertanyaan: boleh, atau tidak bolehkah, atau bahkan wajibkah TNI segera bertindak untuk menangani kasus seperti di atas dan kasus-kasus lain yang memerlukan tindakan cepat?

Ini diperlukan agar kerugian lebih besar dapat tercegah, dan TNI tidak lagi harus menanggung beban dicap senantiasa terlambat bertindak. Ketiadaan payung hukum seperti itu hingga kini tidak pernah mendapat solusi, sementara kebutuhan akan hal itu terus mendesak.

Berkait Pasal 9 draf RUU TNI, pada awalnya TNI dapat memahami bila ada sementara pihak yang mengkhawatirkan bahwa pasal itu dapat ditafsirkan berbeda dengan apa yang menjadi substansi dari kandungan maksudnya. Namun dalam perkembangannya, di mana Pasal 19 ini lalu diterjemahkan sebagai keinginan terselubung TNI untuk melakukan kudeta atau mengaitkannya bahwa TNI berkeinginan kembali ke panggung politik. Lebih jauh lagi, dalam berbagai diskusi maupun tulisan pengamat maupun pakar militer maupun politik mengaitkan pasal itu dengan lemahnya otoritas sipil, maka lengkaplah sudah keterperangahan TNI.

TNI memang demikian terperangah. Barangkali keterperangahan ini disebabkan ketidakmampuan nalar TNI untuk dapat mencerna pendapat yang menyatakan bahwa suatu kudeta dapat dirancang agar menjadi sah melalui suatu pasal dalam sebuah UU. Sementara UUD 1945 yang kedudukannya lebih tinggi, jelas-jelas menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang membenarkan, penggantian presiden dapat dilaksanakan melalui kudeta atau diatur melalui UU. Atau barangkali karena TNI tidak mampu memahami fenomena, bahwa upaya penggantian suatu pemerintahan tanpa melalui jalan konstitusi hanya dapat sukses dan eksis bila mendapatkan dukungan mayoritas rakyat.

Advertisement

Tidak ada di dunia mana pun suatu kudeta dapat sukses hanya karena tindakan itu sebelumnya telah disahkan melalui UU. Rezim Khomeini di Iran, rezim Mao Tse Tung di RRC, rezim Mussaraf di Pakistan, contoh bagaimana suatu kudeta yang tidak ada legalitasnya dalam UUD maupun UU ternyata dapat berjalan dan eksis hingga kini. Kalaupun lalu “Supersemar” dianggap sebagai payung hukum, dapatkah itu sukses bila mayoritas rakyat kala itu tidak menerimanya.

Ada juga sejumlah “pakar” yang mengatakan Pasal 19 draf RUU TNI itu dimaksudkan mengesahkan jalan bagi TNI untuk kembali berpolitik.

Pertanyaannya, apakah respons cepat TNI guna mencegah kerugian lebih besar sebelum kepolisian datang mengambil alih dapat dikatakan berpolitik? Seperti kejadian di Kalbar dan Poso misalnya. Apakah tindakan TNI untuk menghalau, menghancurkan kapal selam, pesawat tempur atau sekelompok pasukan darat negara lain yang memasuki wilayah nasional yang diduga akan melakukan tindak yang dapat merugikan bangsa dan negara dapat dikatakan berpolitik?

Dapatkah disebut melakukan campur tangan politik, bila TNI segera bertindak cepat untuk membebaskan Presiden yang tengah disandera/hijacked oleh sekelompok orang. Keadaan-keadaan seperti itu harus segera direspons cepat, bahkan untuk beberapa hal keputusan sering harus diambil dalam hitungan detik. Bisakah dibayangkan, agar TNI tidak ingin disebut kembali berpolitik, maka TNI harus lebih dulu minta izin kepada penyandera untuk menghubungi Presiden guna menerima perintah lebih dulu sebelum melakukan aksi pembebasan.

Semua hal ini benar-benar membuat TNI terperangah. Kewenangan Presiden untuk mengerahkan kekuatan TNI adalah suatu kewenangan yang melekat dalam kedudukan Presiden selaku Penguasa tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, yang tidak diwakilkan kepada siapa pun termasuk pada Wakil Presiden atau juga kepada Triumvirat (UUD 1945).

Bahwa untuk menangani keadaan tertentu di lapangan dalam keadaan mendesak/darurat guna mencegah kerugian lebih besar, kiranya Presiden perlu mendelegasikan kewenangan mengerahkan dan menggunakan kekuatan TNI. Penting dicatat, situasi darurat yang dimaksud tidak sama dengan penentuan status hukum keadaan darurat seperti halnya darurat sipil atau darurat militer.

Sebagai ilustrasi, disampaikan bahwa sampai saat ini tidak satu pun aturan perundang-undangan yang memberi payung hukum bagi TNI untuk dapat melakukan tindakan represif-preventif atas kekuatan angkatan perang negara lain yang tiba-tiba memasuki wilayah yurisdiksi nasional Indonesia. TNI tidak punya landasan hukum untuk melakukan penanganan atas pesawat tempur atau kapal perang negara lain yang memasuki wilayah nasional, atau pasukan militer negara tetangga yang memasuki wilayah daratan nasional.

Bila dalam beberapa kesempatan TNI telah melakukannya, itu semata-mata karena tanggung jawab besar dari para prajurit TNI di lapangan dan sadar bahwa tidak ada institusi lain yang diberikan kewenangan untuk itu. Bisa saja, atas tindakan ini lalu memancing “pakar” yang usil untuk mempermasalahkan hal itu. Jika ini terjadi, TNI terpaksa harus mengakui, tindakan-tindakan itu tidak ada landasan hukumnya. Bila demikian, apakah ini harus dibiarkan berlarut?

Sejumlah pertanyaan kritis di bawah ini memerlukan jawaban yang harus dilandasi pemikiran jernih. Sampai di mana batasan bahwa tindakan prajurit TNI di atas masih dalam tingkatan yang dapat ditoleransi? Bagaimana bila dari tindakannya itu lalu menyebabkan terjadinya sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan? Sebaliknya, bila TNI tidak melakukan suatu tindakan apa pun sampai ada perintah sehingga terjadi kerugian besar bagi negara, apakah itu yang harus menjadi pilihan? Bukankah semua itu harus dapat dihindari bila tersedia aturan perundangan yang mengatur rinci pelibatan TNI di masa damai guna menghadapi situasi seperti di atas?

Itulah sebenarnya kandungan maksud Pasal 19 draf RUU TNI, yakni semata-mata menyediakan payung hukum agar TNI dapat memberi respons cepat pada keadaan-keadaan yang memerlukan tindakan segera. Bahwa formulasi kalimat pada Pasal 19 draf RUU TNI itu masih mengandung multitafsir, barangkali ada benarnya. Draf RUU TNI itu masih merupakan draf yang amat awal, yang masih harus melalui proses cukup panjang sehingga kemungkinan untuk diubah masih amat terbuka. Karena itu, mengapa tidak dicarikan alternatif formulasi kalimatnya agar menjadi lebih tepat sesuai kandungan maksud daripada kita mencoba mereka-reka sesuatu yang sebenarnya jauh dari realita dan akhirnya malah membingungkan banyak pihak.

Dari Pasal 19 yang telah disempurnakan itu lalu dijabarkan dalam aturan perundang-undangan tentang pelibatan TNI di masa damai (rule of engagements). Penjabaran pasal inilah yang akan mengatur pendelegasian kewenangan Presiden atas pengerahan dan penggunaan TNI itu secara lebih rinci, sehingga memberi kepastian atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan mana yang justru wajib untuk dilakukan TNI dalam menghadapi situasi mendesak (situasi kedaruratan), sekali lagi bukan menentukan status hukum kedaruratan.

Sebagai penutup, penulis ingin mengingatkan, TNI hanya sekadar alat Negara Kesatuan Republik Indonesia, alat untuk menegakkan kedaulatan Negara, menjaga keutuhan wilayah nasional serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Sebagai alat, berilah kewenangan cukup untuk dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.

Kekhawatiran bahwa kewenangan itu akan digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya, seyogianya disikapi dengan memberi aturan yang jelas dengan rambu-rambu yang cukup. Namun bila kekhawatiran dan kecurigaan kepada TNI sedemikian besar sehingga melebihi kebutuhan akan terjaganya kehormatan bangsa, terjaganya keutuhan wilayah nasional dan tegaknya kedaulatan Negara serta terjaminnya keselamatan segenap bangsa, maka pasal “Kudeta” memang tidak diperlukan. sumber Kompas 7/4/03 dan pusat data e-ti

Data Singkat
Endriartono Sutarto, Panglima TNI RI (2002) / Militer Menatap Masa Depan | Ensiklopedi | Jenderal, TNI, Panglima, ABRI, angkatan darat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments