Orba itu Hanya Masa Lalu
Ginandjar Kartasasmita
[ENSIKLOPEDI] Anggota DPD dari Jawa Barat yang mantan Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas ini kendati diserang sebagai bagian dari Orde Baru, akhirnya berhasil memenangi pemilihan ketua Dewan Perwakilan Daerah dalam Rapat Paripurna DPD periode 2004-2001. Ia didampingi Irman Gusman dan La Ode Ida sebagai wakil ketua.
Dia terpilih setelah melewati tiga tahap pemilihan dalam Rapat Paripurna DPD yang dipimpin Ketua Sementara Mooryati Soedibyo (DKI Jakarta) dan Muhammad Nasir (Jambi) itu, Jumat 1 Oktober 2004.
Dari 128 suara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ginandjar, meraih 72 suara, mengalahkan Irman Gusman dari Sumatera Barat, yang mendapat 54 suara. Satu suara tidak sah dan satu suara kosong.
Sejak pemilihan putaran pertama, Ginandjar sudah menggunguli pesaingnya. Ginandjar meraih 49 suara, disusul Irman Gusman 29 suara, Sarwono Kusumaatmadja (DKI Jakarta) 22 suara, La Ode Ida (Sulawesi Tenggara) 18 suara, Harun Al Rasyid (NTB) dua suara, Kasmir Tri Putra (Lampung) dan Muhammad Nasir masing-masing satu suara, serta lima suara dinyatakan tidak sah dan satu suara lainnya kosong.
Berhubung belum ada calon meraih lebih 50 persen suara, sesuai Tata Tertib DPD pemilihan dilanjutkan ke putara kedua.Sebelum memasuki putaran dua, tiga calon menyatakan mundur. Sehinga hanya tiga calon yang maju, yakni Ginandjar, Irman Gusman dan Sarwono.
Dalam putaran kedua, Ginandjar kembali meraih suara terbanyak dengan 59 suara, disusul Irman Gusman 43 suara dan Sarwono 26 suara. Karena belum ada juga calon meraih suara di atas 50 persen, pemilihan ketiga digelar diikuti dua calon teratas. Sarwono tereliminasi.
Di putaran ketiga, Ginandjar kembali unggul dengan meraih 72 suara, dan Irman 54 suara. Satu suara tidak sah dan satu suara kosong.
Setelah itu dilanjutkan pemilihan wakil ketua DPD. Pada pemilihan Wakil Ketua mewakili wilayah Barat terpilih Irman Gusman (50 suara), mengalahkan Nurdin Tampubolon (25 suara), Kasmir Tri Putra (23 suara), Malik Raden (14 suara), Bambang Suroso (delapan suara), dan Mediati Hafni Hanum (satu suara). Sementara mewakili wilayah timur, terpilih La Ode Ida.
Orba itu Hanya Masa Lalu
Anggota DPD dari Jawa Barat yang Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas di era Orde Baru ini sering diserang sebagai bagian dari Orde Baru. Padahal, menurutnya, Orba itu itu hanyalah masa lalu. Hal itu dikemukakannya Senin (27/9/2004) dalam konteks pencalonannya sebagai Ketua DPD.
Hal itu dikemukakan menanggapi pendapat bahwa orang yang mempunyai beban masa lalu sepantasnya tidak memimpin Dewan Perwakilan Daerah. Menurut Ginandjar, setiap anggota DPD berhak mencalonkan diri sebagai ketua pada proses pemilihan ketua DPD, dan paling tidak, kandidat DPD harus mendapat dukungan anggota dari satu provinsinya.
Perihal dirinya sebagai salah seorang tokoh orde baru, dia mengatakan, keanggotaannya di kabinet semata-mata sebagai seorang profesional. “Saya bagian dari sistem, tetapi saya sebagai profesional di kabinet,” katanya. Menurutnya yang salah bukan “orde”-nya, tetapi orang-orang yang terlibat.
Menanggapi tuduhan memiliki beban masa lalu sehubungan dengan pembuatan Technical Assitance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustraindo Petro Gas untuk pengelolaan lapangan minyak Bunyu, Pendopo, Prabumulih, dan Jatibarang, diamenegaskan, sesuai laporan perkembangan penyelidikan pengadilan koneksitas tindak pidana korupsi atas namanya, sudah disimpulkan bahwa proses pembuatan maupun isinya sesuai dengan ketentuan sehingga TAC itu sah secara prosedural.
Diajuga menjelaskan, terhadap pelaksanaan keempat TAC tersebut berdasarkan kesimpulan penyelidikan sudah bukan tanggung jawabnya sebab keterlibatan dirinya hingga penandatanganan keempat TAC tersebut adalah sampai Maret 1993. Setelah itu iaa sudah tak lagi menjabat Mentamben/Ketua DKPP.
Menurut Ginandjar, dirinya memang meminta untuk dilakukan pemeriksaan atas tuduhan koreksi itu agar tidak memiliki beban lagi. Jika nanti ada yang bisa membuktikan bahwa dia terlibat korupsi, Ginanjar menyatakan bukan saja akan mundur dari pencalonan ketua DPD tetap juga dari anggota DPD.
Dalam buku Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat 2003) disebut tidak banyak pejabat tinggi negara rezim Soeharto yang berperawakan atletis. Salah satunya adalah Ginandjar. Dalam kabinet Soeharto, Ginandjar, sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an, pernah menduduki jabatan tinggi di lingkungan sekneg dan anggota kabinet. Ia memang punya hobi berat olahraga – hampir semua olahraga, ia sukai dan jalani. Apalagi, ia juga perwira tinggi TNI-AU.
Ihwal aktifnya di dunia militer tidak terlepas dari keluarga. Baik dari pihak ayah maupun ibunya banyak yang menjadi tentara. Ayahnya sendiri adalah kolonel tituler dan pegawai Dephan. Dari keluarga ibunya ada tiga pamannya yang menjadi tentara. Ginandjar juga mengaku nasionalis, karena, baik ayahnya maupun ibunya, sama-sama aktivis PNI sebelum PD II.
Selepas SD, ayah empat anak ini masuk SMP Kanisius dan tinggal di asrama Kanisius. Demikian pula SMA-nya. “Seringnya bergaul dengan kawan-kawan yang kebanyakan berbeda agama dan nonpri, saya bisa melihat bagaimana mereka belajar,” katanya. Kelebihan etnis Cina yang lebih serius dan rajin ini telah membangkitkan rasa kebangsaan Ginandjar muda, “Muncul keinginan untuk menunjukkan bahwa bangsa kita juga tidak kalah dengan mereka.”
Setahun di ITB, Ginandjar mendapat beasiswa untuk kuliah di Teknik Kimia Universitas Tokyo (1960-1965). Sepulang dari Jepang, selama setahun Ginandjar bekerja di KOTI. Sebelum meniti karier di Sekneg (mulai 1968), ia bekerja di Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengembangan AURI. Sepanjang 1970-80, ia mengikuti kuliah di STIA LAN.
Barangkali, Ginandjar adalah orang Sunda yang berkarier paling lengkap. Di militer, pria yang senyumnya sumringah ini mencapai pangkat marsekal muda. Di sipil ia pernah menjadi menteri bahkan menko, dalam pemerintahan Soeharto maupun Habibie.
Kini, ia salah satu wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah. Disebut-sebut, peran Ginandjar “menurunkan Soeharto” cukup besar, ketika ia – bersama Akbar Tanjung dan sejumlah menteri lain – menolak duduk di kabinet reformasi yang akan dibentuk Soeharto. Manuver ini ‘menghilangkan minat’ Soeharto untuk terus berkuasa. mlp