Pencinta Seni dan Pariwisata
I Gede Ardika
[ENSIKLOPEDI] I Gede Ardika, pencinta seni yang bercita-cita mendalami ilmu seni rupa ini dua kali harus meninggalkan bangku kuliah di Fakultas Seni Rupa ITB karena memenuhi ‘panggilan’ dunia perhotelan dan pariwisata. Rupanya, itu sebuah misteri tuntunan tangan Tuhan untuk mempersiapkannya mengemban tugas menjadi Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata.
Manusia hanya perencana tetapi Tuhan-lah penentunya. Pernyataan yang mengisyaratkan betapa besar kuasa Sang Pencipta ini tercermin nyata dalam perjalanan hidup dan karir I Gede Ardika. Kisah hidup tokoh yang mengidolakan Dharmawangsa ini barangkali tidak untuk sekedar melihat keberhasilannya kini, namun dapat mengajak lebih jauh melihat betapa besarnya kuasa tuntunan tangan Tuhan dalam menentukan arah kehidupan makhluk-Nya di dunia.
Pria penerima penghargaan dan bintang jasa Satya Lencana Karya Satya (XX) 1997 dan Satya Lencana Pembangunan 1999, ini lahir 15 Februari 1945, di Banjar Dukuh, Desa Sudaji, Singaraja, Bali. Ia putera pertama seorang Sedan (perwakilan pemungut pajak untuk sawah di Bali) I Made Arka dan istrinya Ni Made Sandat. I Gede Ardika tumbuh ceria di tengah kehidupan keluarga desa yang sederhana dalam rangkulan tumbuh kembang ramahnya suasana pedesaan di Ibukota Propinsi Sunda Kecil di kala itu.
Sebagai anak pertama, ia tentu saja berkewajiban membantu ibunya menjaga adik-adiknya. Namun tidak berarti ia kehilangan masa kanak- kanaknya yang ceria. Tapi itulah tanggung jawab pertama yang dipercayakan kepadanya di masa itu.
Sejak kecil, Ardika telah mulai menampakkan kecintaannya terhadap dunia seni, khususnya cerita-cerita pewayangan Bali. Bermula dari kebiasaan neneknya yang hampir setiap hari menjelang dan hingga terlelap tidur mengisahkan pewayangan Bali. Kisah-kisah pewayangan itu terekam menjadi sebuah rangkaian bunga cerita di dasar hati Ardika yang turut pula menghiasi alur-alur mimpi indahnya.
Kecintaan Jadi Talenta
Kesukaannya terhadap dunia seni ini, akhirnya menjadi sebuah talenta yang semakin hari menggelitiknya untuk dapat lebih menyelami kesenian yang ada. Inilah pula yang membuatnya tidak pemah melewatkan waktu menyaksikan pertunjukan wayang ataupun dramatari Arja di kala ia masih anak remaja. Kendati tidak jarang jarak tempat pertunjukan cukup jauh dari desanya. Dan untuk memastikan berapa jarak tempuh itu, Ardika dan teman-temannya biasanya menggunakan beberapa ikat sundih (obor yang dibuat dari daun kelapa kering). Bila jaraknya menghabiskan lima atau sepuluh ikat sundih, maka dapat dibilang jaraknya tidaklah terlampau jauh. Namun bila sundih yang dihabiskan mencapai dua puluh ikat, berarti jaraknya cukup jauh dan mungkin harus melewati beberapa desa. Namun berapa sundih pun yang akan dihabiskan, Ardika tidak akan melewatkan pertunjukan itu.
Apalagi bila siang harinya, sepulang dari sekolah, ia telah dapat mengumpulkan putik bunga jati yang bila ditekan akan menyemburkan air, akan membuatnya makin bersemangat berangkat ke arena pertunjukan itu. Sambil mengulum senyum, ia sudah membayangkan wajah teman-temannya yang akan disemprot air putik bunga jati itu manakala terkantuk-kantuk di tengah pertunjukan.
Suasana desa yang demikian inilah yang membentuk figur diri Ardika. Terisi nilai moral dan falsafah hidup dari tiap penggal kisah pewayangan. Serta sosoknya terasah dari guyubnya, sosok masyarakat polos dalam ikatan adat dan budaya di tengah alam yang hijau subur. Suasana alam dan budaya yang menandakan kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja.
Memasuki dunia pendidikan dasarnya, Ardika memulai di Sekolah Rakyat (SR), desa Sudaji selama tiga tahun, sampai kelas tiga. Meski bangunan SR itu terbuat dari dinding bambu dan beratap daun kelapa, tetapi tetap tidak mengurangi antusias warga desanya untuk mengenyam pendidikan di kala itu. Namun suatu ketika, terpaksa Ardika dan kawan-kawan harus pindah belajar di bawah lumbung padi kakeknya, karena bangunan sekolah roboh disapu angin kencang.
Ardika kemudian meneruskan bangku kelas empatnya di Sekolah Dasar Negeri 2 Singaraja hingga tamat. Lalu melanjut di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Singaraja dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja.
Semasa sekolah itu, ketertarikannya pada dunia seni seakan sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia sungguh ingin mempelajari ilmu seni rupa, seni lukis ataupun seni ukir di perguruan tinggi. Ia berniat melanjut ke Fakultas Seni Rupa – Institut Teknologi Badung. Lalu ia mengikuti serangkaian ujian di Singaraja untuk dapat masuk fakultas itu.
Meski belum tahu apakah diterima atau tidak di perguruan tinggi itu, namun berbekal restu dari ayahnya, Ardika memberanikan diri merantau meninggalkan desanya dan berangkat ke Bandung dengan kereta api. Ia pun tak lupa membawa sepeda kesayangannya. Dan pada tanggal 28 Agustus 1963, ia turun dari kereta api, yang juga merupakan pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Pasundan.
Setibanya di Bandung, Ardika tidak melihat sepedanya. Sepedanya entah di mana. Padahal ia sangat memerlukan sepeda itu sebagai sarana transportasi mengenali dan mengakrabi sudut-sudut kota kembang itu. Namun yang paling penting lagi sebagai sarana mengantarnya melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru dari tempat kost ke kampus ITB Bandung. Apa boleh buat, akhirnya ia harus meminjam sepeda tetangga.
Ia memang seorang pencinta seni. Kecintaannya itu pula yang membawanya merantau jauh menimba ilmu agar dapat menjadi seorang seniman sekolahan. Seniman yang memiliki intelektualitas dan cara berpikir sistematis, yang bisa membuatnya mahir mengekspresikan seni yang tertanam dalam jiwanya menjadi wujud karya-karya seni terkenal. Atau setidaknya ilmu yang diperolehnya dapat bermanfaat bagi kelestarian dan perkembangan seni budaya di tanah kelahirannya.
Dengan hati berdebar, satu persatu gerak kakinya menggayung sepeda pinjaman itu mendekati kampus yang telah diidam-idamkannya sejak lama. Satu-satu keringat menetes dan disekanya tak terasa. Dengan nafas yang terengah-engah setelah mendayung sepeda itu, ia mendekati papan pengumuman dan matanya mulai menyelidiik nomor- nomor yang tertera di hadapannya. Syukurlah, ia temukan juga nomor miliknya yang turut tertera sebagai mahasiswa yang diterima di Institut Teknologi Bandung.
Rasanya sesegar udara pagi pegunungan, Ardika menghirup nafas dalam-dalam meluapkan kelegaan hatinya. Bahkan letihnya mengayuh sepeda di perjalanan pulang pun tak lagi terasa. Hari itu seolah terjawab sudah semua teka-teki di hatinya bahwa perjalanan jauhnya ini tidak akan sia-sia. Ia akan menggapai cita-citanya di bidang seni. Ia sungguh sudah menjadi mahasiswa Fakultas Seni Rupa sebagaimana yang ia inginkan.
Ia memang seorang pencinta seni. Kecintaannya itu pula yang membawanya merantau jauh menimba ilmu agar dapat menjadi seorang seniman sekolahan. Seniman yang memiliki intelektualitas dan cara berpikir sistematis, yang bisa membuatnya mahir mengekspresikan seni yang tertanam dalam jiwanya menjadi wujud karya-karya seni terkenal. Atau setidaknya ilmu yang diperolehnya dapat bermanfaat bagi kelestarian dan perkembangan seni budaya di tanah kelahirannya.
Kegembiraannya seakan bertambah sempuma dengan didapatkannya kembali sepeda yang dibawanya dari Bali. Rupanya sepeda itu turut terbawa kereta berputar-putar melewati Blitar dan setelah beberapa hari lamanya baru tiba kembali di Bandung.
Maka resmilah Ardika sebagai mahasiswa ITB. Dengan antusias ia mengikuti tiap mata kuliah di fakultas seni rupa itu. Kemudian baru ia sadar bahwa kuliah di seni rupa itu menuntut dukungan finansial yang tidak sedikit jumlahnya. Berhubung pada saat itu, subsidi pemerintah untuk sarana peralatan kuliah telah dihapuskan. Jadi mahasiswa harus menyediakan sendiri perlengkapan belajarnya, seperti cat, kuas, kanvas dan alat-alat seni rupa lainnya. Sehingga jadilah pendidikan kali ini merupakan sekolah yang cukup mahal baginya.
Permasalahan biaya sekolah ini, akhirnya membenturkan Ardika pada sudut kenyataan bahwa ia harus rela mengundurkan diri dari fakultas idaman setelah menekuninya dalam satu semester perkuliahan. Namun tentu saja tidak berarti Ardika kemudian menjadi pengangguran di sana. Tujuan untuk sekolah tetap menjadi prioritas utamanya. Karena sebelum memutuskan mundur dari fakultas Seni Rupa ITB itu, ia telah terlebih dahulu mendaftarkan diri pada Akademi Perhotelan di Bandung.
Walaupun tidak sesuai dengan kehendak batinnya, namun sekolah ini memiliki ikatan dinas, di mana ia mendapatkan asrama berikut makan beserta keperluan hidup dan uang saku.
Maka sekolah perhotelan yang tanpa biaya ini pun sungguh-sungguh ditekuninya. Ia pun berhasil menyelesaikan perkuliahan di akademi itu dengan memuaskan pada tahun 1967. Sehingga pihak institut langsung memberikan kepercayaan kepadanya menjadi asisten dosen.
Sebagai asisten dosen, ternyata banyak menyisakan waktu luang yang memungkinkannya mengikuti kursus bahasa Perancis yang ditempuhnya sampai tahun 1969. Pada tahun ini juga, mencuat kembali hasrat yang demikian besar untuk mempelajari seni rupa. Lagi pula, kali ini ia merasa telah cukup mampu untuk memenuhi biaya pendidikan seni rupa.
Maka dengan keyakinan bulat dan didukung kemampuan finansialnya dari gaji sebagai asisten dosen, pria yang menguasai (aktif) bahasa Inggris dan Perancis ini mendaftar kembali di Fakultas Seni Rupa ITB. Kali ini kehadirannya disambut sebagai “anak yang hilang” oleh dosen pembimbingnya. Sebuah pertemuan akrab yang menyenangkan, hingga ia merasa telah menemukan kembali jalan untuk siap menimba segala ilmu seni rupa seperti yang dicita-citakan.
Namun setelah Ardika menyiapkan segala-galanya untuk mulai kembali kuliah di Fakultas Seni Rupa itu, ternyata Tuhan berkehendak lain. Juni 1969, ia mendapatkan berita, bahwa ia lulus ujian seleksi beasiswa dari pemerintah untuk menempuh pendidikan Manajemen Perbotelan, Institut International Glion, Swiss. Rupanya inilah rencana Tuhan kepadanya, hingga dua kali harus mengurungkan niat untuk mengenyam ilmu seni rupa di ITB. Baginya hal ini sepertinya telah menjadi sebuah misteri kehidupan yang mungkin terjawab dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian dalam perjalanan hidupnya.
Kecewa memang dirasakannya. Namun kesempatan baik menempuh pendidikan Manajemen Perhotelan di Institut International Glion, Swiss ini tidak mungkin disia-siakan begitu saja. Demi tugas dan masa depannya, berangkatlah Ardika ke negeri Swiss. Meninggalkan hijaunya bumi persada ke sebuah tempat asing di mana dalam mimpi sekalipun tiada pernah terbayangkannya.
Tak terasa tiga tahun Ardika berada di Swiss. Sebuah pengalaman yang mengesankan di negara yang begitu maju dan menyenangkan. Namun seindah apa pun di negeri orang tentu tak dapat sebanding dengan memendam kerinduan pada bumi pertiwi yang semakin hari semakin dicintainya.
Tahun 1972, surat perpanjangan tugas pendidikannya di Swiss belum juga ia terima dari pemerintah. Meskipun pemerintah Swiss sendiri masih mengharapkan Ardika tetap tinggal di sana, namun mengingat sampai Desember 1972 surat persetujuan dari pemerintah RI belum juga tiba di Swiss, maka dengan inisiatif sendiri, ia memutuskan untuk pulang ke tanah air.
Setibanya di Jakarta, Ardika dengan masih membawa kopor besarnya langsung menemui duta besar Swiss di Indonesia melaporkan perihal kepulangannya. Ternyata memang Ardika belum waktunya pulang, karena surat perpanjangan pendidikannya di Swiss sebenarnya sudah siap untuk segera dikirimkan kepadanya. Namun apa boleh buat, berhubung ia sudah terlanjur tiba di Indonesia, maka akhirnya dengan bekal segepok ilmu dan pengalaman yang diperolehnya di Swiss, Ardika ditugaskan untuk bekerjasama dengan beberapa tenaga ahli dari Swiss di Akademi Perhotelan Nasional (APN) Bandung sebagai Kepala Seksi Pengajaran sekaligus dosen dalam mata kuliah house keeping.
Tahun 1973 adalah tahun yang memiliki warna tersendiri bagi I Gede Ardika. Karena ketika itu, dalam rangka melaksanakan salah satu tugasnya untuk melakukan wawancara kepada calon pegawai di APN Bandung, tanpa disangkanya, ia menambatkan hati pada salah seorang gadis pelamar. Wawancara bersama Indriati gadis asli Bandung itu berjalan lancar dan begitu mengesankan, sampai-sampai setelah Indriati berhasil diterima sebagai sekretaris di sana, Ardika tanpa menyerah mendekati, berteman, bersahabat dan akhirnya berpacaran. Tidak heran bila Indriati pun tertarik pada sosok akrab Ardika yang memang menyenangkan di balik kecerdasan putra Bali ini.
Prestasi dan Karir Sepadan
Prestasi kerja luar biasa Ardika dapat dikatakan sepadan dengan peningkatan karirnya. Dedikasi dan tanggung jawab pada pekerjaan telah merupakan karakter tersendiri baginya. Tahun 1976 ia telah menjabat sebagai Pjs. Direktur National Institute Bandung, sampai tahun 1978. Kemudian ia dipindahtugaskan menjabat Direktur Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata di Nusa Dua Bali. Pada tahun ini pula genap sudah lima tahun Ardika dan Indriati berpacaran.
Dalam kurun waktu yang cukup lama untuk meyakinkan diri dan saling mengenal, membuat Ardika tanpa ragu lagi meminang dan kemudian mempersunting Indriati pada tanggal 7 Agustus 1978. Sejak saat itulah mereka telah terikat untuk menyongsong hidup bersama sebagai suami istri yang sekaligus memberikan jabatan baru bagi Ardika sebagai kepala rumah tangga.
Selama di Bali, selain turut terlibat dalam pendirian Sekolah Tinggi Pariwisata dan keanggotaan Komisi Pendidikan pada International Hotel Association, Ardika juga memelopori diadakannya program diploma IV untuk mempersiapkan calon-calon pimpinan bidang perhotelan. Sebuah program yang memberikan pendidikan teknis dan keahlian manajerial dan kepemimpinan dalam wawasan yang menyeluruh setingkat S1.
Tahun 1985, Ardika berpindah tugas sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sub Direktorat Perhotelan dan Penginapan Ditjen Pariwisata di Jakarta. Kemudian diangkat menjadi Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Pariwisata pada tahun 1988 sampai 1991. Lalu mendapatkan tugas baru kembali ke Bali menjabat Kakanwil Departemen Parpostel Propinsi Bali.
Karirnya terus menanjak secara alamiah. Ia tidak pernah memilih sebuah tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Ia tetap setia mengikuti dan mengerjakan dengan sebaik-baiknya semua beban tugas yang diembannya. Kendati sudah banyak perusahaan swasta mengajaknya untuk bergabung, dengan penawaran pendapatan yang jauh lebih besar dari apa yang didapatkannya sebagai pegawai negeri, Ardika tetap setia pada panggilan tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara.
Itulah Ardika, yang telah kenyang dengan ajaran tingkah lakon penari Arja yang mata nuraninya telah terisi kisah-kisah pewayangan dan terasah kesetiaannya pada cita-cita seni, budaya dan luhurnya norma kemasyarakatan di bumi Bali. Hal yang membuatnya tetap teguh untuk melangkah pasti dengan keyakinan sebagaimana pemilik talenta seni dalam idealismenya yang tidak akan pernah ia ingkari. Talenta dan idealisme seni yang begitu mengakar pada dirinya. Meski harapannya menjadi sarjana seni rupa telah dua kali kandas namun setidaknya ia masih memiliki bara dan semangat seni itu untuk diabdikan bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negaranya, Indonesia.
Tahun 1993, Ardika kembali ke Jakarta, diangkat sebagai Kepala Pusdiklat Departemen Parpostel. Hingga selanjutnya tahun 1996, mengemban tugas sebagai Sekretaris Ditjen Pariwisata masih dalam lingkungan Departemen Parpostel. Setelah itu, tahun 1998 ia diangkat menjabat Direktur Jendral Pariwisata, Departemen Pariwisata Seni dan Budaya.
Tuntunan Tuhan
Lalu karirnya mulai mencapai puncak dalam pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Pada Kabinet Persatuan ia ditunjuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar sebagai Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Pada saat diumumkan di salah satu stasiun televisi, Ardika sendiri tidak sedang menyaksikan siaran itu, dan sungguh sebelumnya tidak ada pemberitahuan ataupun kabar perihal akan dipilihnya ia sebagai menteri.
Pada hari itu, saat Ardika sedang bekerja di ruang kerjanya, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan riuh dan kegaduhan di salah satu ruang stafnya yang kemudian disusul berhamburannya para karyawan dan staf kantor memasuki ruangannya untuk mengucapkan selamat. Tentu saja Ardika menjadi kebingungan dan tidak begitu saja mempercayai kesaksian sekian banyak orang yang mengucapkan selamat kepadanya. Tidak lama berselang, disusul dering telepon dan faximille yang tidak henti-hentinya yang kesemuanya senada mengucapkan selamat. Barulah kemudian, Ardika mencoba menghubungi sekretariat negara menanyakan perihal kebenaran berita yang ia terima. Ternyata semua ucapan selamat itu tidak salah alamat.
Inilah mungkin saatnya misteri kehidupan itu terungkap. Ia dibimbing dalam tuntunan tangan Tuhan untuk memikul tugas mulia sebagai duta budaya dan duta pariwisata bangsa ini. Dan dengan rasa syukur yang mendalam, Ardika menerima dengan ikhlas dan penuh kesadaran untuk memberikan yang terbaik dalam mengemban tugas sebagai menteri. Pernyataan ini bukan sekedar slogan, namun Ardika membuktikannya dengan nyata dan sungguh-sungguh untuk memegang sumpah jabatan yang diucapkannya dengan menyebut nama Shang Hyang Widi Wasa Tuhan Yang Maha Esa.
Tuntunan tangan Tuhan juga tercermin di saat Presiden Megawati Soekarnoputri dipercaya rakyat melalui Sidang Istimewa MPR RI duduk sebagai Presiden RI ke V pada tahun 2001. Suatu keputusan politik yang memastikan berakhirnya pemerintahan Presiden Gus Dur yang kemudian kabinetnya dinyatakan demisioner. Pada saat itu, banyak menteri negara yang jarang tampak di kantornya. Bahkan ada yang turut larut dalam kebingungan politik dan sibuk menentukan nasibnya di era pemerintahan baru ini.
Namun keadaan demikan tidak dijumpai pada figur setenang dan sematang Ardika. Ia telah tahu akan kewajibannya dan meski telah dinyatakan sebagai menteri demisioner, ia tetap bekerja seperti sedia kala menunggu perubahan kabinet oleh Presiden Megawati. Ia tetap menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai menteri meskipun ia sadar bahwa masa tugasnya sudah tidak lama lagi.
Seperti biasa, sepulang dari tugas rutin sebagai menteri, Ardika melepaskan rasa lelah di dalam ceria keakraban sebuah keluarga. Malam itu, ia menemani isterinya Indriati dan kedua puterinya Luh Ariati dan Made Andriani, menyaksikan sebuah serial sinetron. Di saat itulah tiba-tiba terdengar dering telepon. Indriati mengangkat telepon itu. Ternyata dari Kolonel Sutarto, ajudan Presiden, menyampaikan bahwa Presiden Megawati ingin berbicara dengan Ardika. Tak lama kemudian terdengar suara Ibu Negara itu, menanyakan kesediaan Ardika untuk membantu kembali dalam kabinet yang dipimpinnya.
Setelah menangkap makna yang disampaikan oleh Presiden, Ardika dengan rendah hati dan kesadaran untuk mengemban tugas negara, menjawab kesediaannya untuk dipilih apabila masih mendapatkan kepercayaan dari Ibu Presiden Megawati sebagai Kepala Negara.
Maka ia diangkat kembali sebagai menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam Kabinet Gotong Royong. Selanjutnya, ia pun bekerja keras untuk mewujudkan bangkitnya kembali dunia pariwisata di tanah air serta terpeliharanya budaya bangsa.
Di tengah upayanya untuk melestarikan budaya bangsa dan mengembangkan pariwisata, terjadi sebuah tragedi di Legian, Kuta, Bali. Teroris meledakkan bom di pulau dewata itu. Menewaskan lebih 180 jiwa dan mencederai ratusan jiwa lainnya. Peristiwa keji ini telah mengakibatkan banyak turis mengurungkan niat ke Bali bahkan ke berbagai daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia. Ardika dituntut untuk lebih bekerja keras lagi untuk memulihkan keadaan.
Penganut moto “Tantangan adalah kunci keberhasilan dan kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda,” ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Rabu 6 November 2002, berharap dalam enam bulan sampai dua tahun, kondisi pariwisata Indonesia sudah pulih bahkan sudah dapat berkembang. Namun ia tidak berkenan memberikan pernyataan lagi mengenai masalah ini. Menurutnya petanyaan tentang ini sudah kuno. Sebab sebelumnya ia telah banyak menyampaikan pernyataan sehubungan dengan peristiwa bom di Bali itu. Ia tampak menyesalkan beberapa pemberitaan media cetak maupun elektronik yang tidak selalu benar tentang berbagai hal yang menyangkut peristiwa itu. Bio TokohIndonesia.com