Bekerja dengan Kepekaan Sosial

Arry Harryanto R
 
0
586
Arry Harryanto Reksodiputro
Arry Harryanto Reksodiputro | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Konsisten dalam prinsip, teguh dalam keyakinan agama, namun tetap menyadari adanya kelemahan sebagai manusia. Itulah potret pribadi Prof. Dr. dr. Arry Harryanto Reksodiputro. Bagi mantan anggotaTim Dokter Ahli Presiden RI, ini hidup adalah tantangan dan agama adalah modal untuk menghadapi tantangan itu. Ia seorang dokter yang memiliki kepekaan sosial cukup tinggi dan menganut prinsip bekerja untuk kepentingan masyarakat.

Prinsip, iman dan kesadaran itulah yang menuntun Kasubag Hematologi-Onkologi Medis, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (FK-UI), Jakarta, ini bahwa bekerja adalah untuk kepentingan masyarakat.

Dalam pembentukan jiwanya, yang selalu berusaha agar setiap pekerjaannya betul-betul menyentuh kepentingan masyarakat dan bermanfaat bagi kepentingan umum, banyak didorong tuntunan ayahnya Mr.Sumitro Reksodiputro yang berasal dari Rembang, Jateng dan ibunya dan Siti Djaenab yang berasal dari Sumedang.

Sejak kecil, pria yang dilahirkan di Malang, 28 Januari 1939, ini telah dituntun ayah-bundanya agar menjadi anak yang taat beragama, tidak menyombongkan diri, selalu peduli dengan sesama dan menghargai orang lain. Hal itu terbawa hingga di hari tuanya yang dalam segala sendi kehidupannya selalu mengedepankan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Sampai-sampai dalam memilih olah raga dan musik sekalipun selalu dengan pertimbangan tersebut.

Peraih Doktor bidang Ilmu Kedokteran dari FK-UI, Jakarta pada 21 Juli 1984, ini tidak pernah lupa berolahraga. Baginya, berolahraga jauh lebih penting dari hanya sekedar hoby dan prestasi saja, karena dengan berolahraga manusia akan sehat dan rileks. Apalagi di dalam olah raga itu terselip nilai-nilai sportivitas, sehingga orang yang suka berolahraga dengan sendirinya akan selalu berusaha menghargai orang lain. “Kalau bisa, berolahragalah sekali atau dua kali seminggu,” anjurnya.

Dokter yang semasa kecilnya bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Cikini ini punya kepekaan sosial yang cukup tinggi sehingga dengan segala upaya dia berusaha untuk tidak membuat batas-batas di antara sesama. Banyak jembatan yang mesti ia titi untuk mengenal lebih jauh tentang pandangan hidup bermasyarakat. Salah satu contoh, dalam memilih olahraga dia tidak mau memilih olahraga eksklusif yang bisa membuat dirinya malah jadi jauh dari masyarakat banyak.

Maka dengan maksud agar bisa selalu berinteraksi dengan masyarakat banyak tersebut sekaligus menghemat biaya maka dia memilih olahraga jogging dan renang sebagai olahraga rutinitasnya setiap minggu. “Dengan olahraga yang sederhana itu, kita bisa bertemu dengan masyarakat awam dan tidak mahal-mahal,” katanya sambil tersenyum.

Dalam hal musik, pecinta musik klasik ini berpandangan bahwa musik merupakan salah satu sarana komunikasi universal untuk mendeteksi pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang. Menurutnya, musik merupakan pantulan dari perasaan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk irama dengan bantuan sejumlah alat. “Kalau kita mendengarkan musik orang barat, kita akan bisa menggambarkan pola hidup mereka. Begitu pula pandangan hidup mereka,” tuturnya. Dia bisa mengikuti dan memahami sekian banyak jenis musik, seperti musik Dangdut, Melayu, Pop, Cadas maupun Klasik.

Namun, pria berkaca mata yang selalu menekankan perlunya disiplin ini, memilih musik klasik sebagai musik kesenangannya. Karena menurutnya, musik klasik itu berdimensi kemanusiaan.

Suami dari Anggraeni Suryanatamiharja ini selalu berusaha menempatkan diri agar bisa bergaul dengan masyarakat awam maupun di tengah keluarga. Namun tentu dia juga selalu berusaha agar tidak terjerumus kepada penyimpangan norma-norma masyarakat.

Advertisement

Dia tidak mudah kehilangan kendali hidup, berkat telah mendapat pengajaran norma-norma agama Islam yang dianut dan dipegangnya teguh sejak dini. Dengan pemahaman agama tersebut juga ia bisa mengetahui batas norma-norma hidup yang dijalankannya.

“Hidup adalah tantangan. Agama, modal untuk menghadapi tantangan itu. Dan tanpa agama, kita tidak bisa mensyukuri nikmat Tuhan.” ujarnya. Dengan keyakinan itu, ia tidak mau melepaskan diri dari ikatan agama yang sudah menjadi pedoman hidupnya. Pedoman hidup yang membuat kesehariannya selalu tampil tenang dan tegar.

Ketika mengikuti pendidikan Hematologi di Hospital St. Louis, L Universite de Paris, Perancis dan mengikuti pelatihan (postgraduate training) di St. Bartholomew’s Hospital, London, Inggris, dan pelatihan di Hospital Pitie-Salpetriere, Paris, Perancis, dia melihat semua orang bekerja keras, masing-masing tahu akan kewajiban mereka.

Selama mengikuti pendidikan itu, mereka dituntut mampu memecahkan segala masalah. Karena itulah, menurutnya, orang-orang yang pernah belajar di sana akan terlatih membuat keputusan. “Kalau mau belajar, harus tahu di mana tempatnya, bagaimana membagi waktu dan bagaimana mencari ilmu. Itu semua kita cari sendiri. Belajar sendiri,” katanya menerangkan.

Selain kemandirian, mereka juga selalu didorong untuk berani menyatakan pendapat. “Kita harus berani menyatakan pendapat. Kalau memang kita salah, kita harus berani mengakui bahwa itu salah,” tuturnya. Di situ jugalah, menurutnya, pentingnya berolahraga. Sebab berolah raga bukan saja berolah fisik tetapi juga berolah hati nurani.

Dikatakannya, berbeda pandangan hal biasa. Perbedaan pandangan itu terjadi karena kapasitas setiap manusia tidaklah sama, karenanya beda padangan itu sudah menjadi bagian dari hidup. Tetapi hasil pemikiran bersama, justru akan menghasilkan pemikiran atau konsep yang berbobot. Disitulah pentingnya menghargai pendapat orang lain, sambil mempertimbangkannya dengan pendapat sendiri.

Pengagum Mantan Presiden AS John F. Kennedy, dan Proklamator RI Bung Karno – Bung Hatta dan pemimpin India Jawaharlal Nehru, ini sangat konsisten dalam pendirian terutama dalam mendudukkan prinsip kemanusiaan sama seperti tokoh-tokoh yang dikaguminya tersebut. la juga mengagumi tokoh-tokoh dari kalangan kedokteran seperti, Prof. Sutomo Tjokronegoro, Prof. Djuned Pusponegoro serta Prof. Slamet Imam Santoso.

Sikap kemandirian dan kekonsistenannya itu terbina sejak dia masih berumur 8 tahun. Ketika zaman revolusi, ia dan kakaknya dibawa ayahnya mengungsi ke kota Gudeg, sedangkan ibu dan adik-adiknya tetap bermukim di Jakarta. Ketika di Yogyakarta itu ia tidak mengetahui kalau ayahnya diculik tentara Belanda. Selama ayahnya diculik, ia tinggal bersama kakeknya di Malang.

Tempaan demi tempaan semasa revolusi, menyebabkan Harryanto kecil menjadi tegar dan kuat. Setelah dua tahun tinggal bersama kakeknya di Malang, ia kembali ke Jakarta. Di sekolahnya pun, di SR Cikini, Jakarta, berkali-kali ia mesti masuk lubang perlindungan, setiap ada bunyi sirene pertanda adanya serangan dari tentara sekutu. “Kalau ada perang, saya dan kawan-kawan masuk dalam lubang perlindungan sambil menggigit karet,” kenangnya.

Pria yang bergaya hidup sederhana ini ketika sekolah di SMA I, Jakarta, 1953-1956, lebih suka bersepeda ke sekolah, padahal dia sebetulnya termasuk salah seorang yang beruntung sebab ayahnya menjabat sebagai Sekjen Departemen P & K ketika itu yang bisa membelikannya motor atau mengantar jemputnya.

“Sebagai teman yang sama-sama seperjuangan, sama-sama pelajar, kami ramai-ramai naik sepeda. Itulah kenangan saya semasa di SMA,” tuturnya mengenang masa remajanya. Setelah menamatkan SMA, dia kemudian masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1956, yang diselesaikannya tahun 1963.

Sebagai penerima beasiswa, ia harus mengikuti ikatan dinas selama 6 tahun sebagai pegawai negeri sambil mendalami spesialis di bidang ilmu penyakit dalam tahun 1963-1969. Setelah bertugas selama enam tahun di Pekan Baru, pada tahun 1969 dia mendalami masalah darah selama setahun di Hospital St. Louis, L’Universite de Paris, Perancis, 1969-1970. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1978, dia mengikuti pelatihan di St. Bartholomew’s Hospital, London. Setahun setelah itu, dia mengikuti lagi pelatihan di Hospital Pitie-Salpetriere, Paris, Perancis.

Pada tanggal 21 Juli 1984, dia meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran dengan tesis yang berjudul: “Limfoma Non-Hodgkin dan Saran Mengenai Alternatif Penatalaksanannya di Indonesia”. Selanjutnya, pada 14 Desember 1991, ia mengucapkan pidato guru besar dengan judul: “Onkologi Medis Masa Lampau, Kini dan Masa Mendatang: Peranannya dalam Menunjang Strategi Penanggulangan Kanker secara Terpadu. Di dalam Tim Dokter Ahli Presiden RI, dia diangkat sebagai ahli penyakit dalam.

Alumni Anggota Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) ini, mengemukakan ketika masalah AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) menghantui masyarakat pada dekade 80-an, dia juga sibuk menekuni penyakit yang melemahkan sistem kekebalan tubuh itu.

Menurutnya, sekarang ini masyarakat masih sering salah persepsi dimana dokter yang tidak menggunakan peralatan canggih, langsung dianggap dokter yang kurang piawai. Padahal, banyak sekali penyakit yang diderita pasien tidak memerlukan peralatan kedokteran yang canggih. Sebetulnya, menurutnya, sekitar 75 persen penyakit masih bisa dideteksi dengan stetoskop saja. Sisanya, baru perlu peralatan atau obat-obatan yang mewah. “Sering masyarakat meminta diobati dengan alat-alat yang canggih. Di sinilah perlunya pendidikan masyarakat,” katanya.

Menurut ayah dari Drs. Dharmawan Reksodiputro, Anggia Arifiati Reksodiputro, dan Mirta Hediyati Reksodiputro ini, seorang dokter yang profesional adalah dokter yang mampu menggunakan peralatan yang tepat guna. Yang penting perlu standarisasi pengobatan yang cocok dengan keadaan di Indonesia. Masyarakat awam juga perlu mengetahui pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan untuk setiap jenis penyakit serta manfaat pemeriksaan tersebut.

Yang menjadi masalah sekarang adalah standar itu belum ada. Akibatnya, banyak dokter yang kadangkala lebih suka menggunakan peralatan canggih padahal tidak semua penyakit memerlukan peralatan yang modern. Hal ini bisa terjadi, karena tuntutan pasiennya atau keinginan dokternya itu sendiri. Tidak heran, kalau kemudian biaya pengobatan di sini semakin mahal. e-ti

Data Singkat
Arry Harryanto Reksodiputro, Tim Dokter Ahli Presiden RI, 1982 / Bekerja dengan Kepekaan Sosial | Direktori | dokter, UI, kepresidenan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini