Berawal dari Pendidikan Moral
Abdul Khaliq Ahmad
[DIREKTORI] Dibesarkan dan dididik dalam keluarga santri, Abdul Khaliq Ahmad ingin menjadi orang yang bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Mantan guru asal Cirebon kelahiran Jakarta 8 Agustus 1961 ini sama sekali tidak pernah menyangka akan duduk dalam kursi parlemen mewakili PPP dan PKB hingga menjadi Sekjen PKB (Partai kebangkaitan Bangsa) yang kemudian menjadi Pekade (Partai Kejayaan Demokrasi) tahun 2003. Di dunia politik ia banyak berkecimpung dalam merumuskan pola dan sistem pendidikan dan pelatihan kader partai serta mengimplementasikannya hingga ke daerah-daerah.
Masa kecilnya diisi dengan pendidikan agama dan moral dari kedua orang tuanya. Meskipun ayahnya hanyalah PNS golongan rendah, ayahnya yang berpandangan moderat mengharapkan Khaliq tidak hanya berperan di bidang agama tetapi juga di bidang lain. Setelah Khaliq lulus dari SD, keluarganya hijrah ke Jakarta dan tinggal di sebuah perumahan yang strata sosialnya rendah, Pademangan Barat, sekitar tahun 50-an.
Di saat itulah terjadi pertentangan antara ayah dan ibunya. Ayahnya menginginkan ia masuk sekolah teknik dan tidak perlu masuk pesantren karena di sana hanya cocok untuk orang tua sedangkan ibunya berpikir kalau Khaliq tidak bersekolah di Pesantren, dasar moralnya bisa jelek karena khawatir anaknya bisa terpengaruh oleh pergaulan yang buruk di sekitar rumahnya.
Dengan pertimbangan inilah, orang tuanya sepakat mengambil jalan tengah dengan menyekolahkan Khaliq di sebuah Pesantren di Cirebon lalu masuk Madrasah Tsanawiyah kemudian Madrasah Aliyah. Selama 7 tahun di pesantren itulah, Khaliq mendalami pendidikan agama dan pendidikan umum. Setelah lulus, gurunya menyarankan agar ia melanjutkan kuliah ke IAIN, tapi apa dikata ia sudah mempunyai rencana lain. Ia memutuskan kembali ke Jakarta untuk ikut dalam Proyek Perintis IV bersaing dengan lulusan-lulusan SMA memperebutkan Perguruan Tinggi Negeri.
Waktu itu, program persamaan Madrasah masih relatif baru dan banyak yang meragukan mutu dan kemampuan lulusan Madrasah Aliyah dibandingkan dengan lulusan SMA. Hal inilah yang membuatnya tertantang lalu ‘memberontak’ tidak mengikuti saran dari gurunya. Keputusannya ini ternyata tidaklah salah. Dari 2500 pendaftar, ia menjadi bagian dari 250 orang yang diterima di IKIP (UNJ – red) jurusan PMPKN (Pendidikan Moral Pancasila dan Moral KewargaNegaraan). Kemenangannya ini membuat Khaliq bisa sedikit berbangga hati karena ia berasal dari sekolah Madrasah Aliyah di kota kecil dan sekaligus mengukuhkan namanya sebagai generasi kedua dari Madrasahnya di Cirebon yang diterima di PTN melalui tes.
Sebagai mahasiswa baru, Khaliq mendapati kenyataan bahwa teman-temanya berasal dari berbagai latar belakang etnik, agama dan budaya. Banyak di antara mereka yang aktif di HMI, GMMI, PMKRI, GMKI, dan PMII. Berbekal semangat, keberanian, rasa ingin tahu dan pengalaman bertemu tokoh-tokoh politik yang memiliki jenjang akademis, Khaliq sangat menyukai kuliah-kuliah yang sifatnya diskusi dan seminar dan sempat membuatnya memandang remeh dosen dan kuliah yang hanya mengandalkan text-book.
Untung saja, sikapnya itu hanya perasaan sesaat saja yang merupakan bagian dari proses pembelajarannya. “Ketika kita menemukan yang baru sering kali kita melupakan yang lama, padahal untuk mengenal yang baru kita dapat mengenalnya dari yang lama.” katanya menjelaskan.
Di IKIP, Khaliq menjadi Ketua Pengurus Mahasiswa Jurusan (PMJ), dipercaya menjadi salah satu pengurus Senat Mahasiswa di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial jurusan PMPKN (Pendidikan Moral Pancasila dan Moral Kewarga Negaraan), dan aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa.
Tidak puas dengan kegiatan di kampus, Khaliq aktif dalam berbagai kegiatan di luar kampus. Perlahan namun pasti, Khaliq di awal kuliahnya memulai kegiatan organisasinya di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai anggota pada tahun 1981, hingga kemudian ia dipercaya menjadi Ketua Umum PMII cabang Jakarta pada 1986-1987. Setahun kemudian ia memutuskan untuk beristirahat. Setelah itu ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) pengurus besar PMII bersama dengan Bapak Alm. Iqbal Assegaf sebagai ketua umum sampai tahun 1991.
Meskipun kuliahnya sempat molor karena lebih sering ‘mengorbankan’ kuliahnya, Khaliq tetap menikmatinya karena ia ingin mencapai sesuatu yang lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang lain. Menurutnya, ada dua kampus yang dia jalani waktu itu. Kampus yang pertama adalah tempat meningkatkan kemampuan analitik akademis dan kampus yang kedua adalah tempat di mana ia memperoleh pendidikan dan latihan kepemimpinan.
Suatu ketika, ia pernah diperhadapkan pada dua pilihan antara mengikuti ujian akhir semester atau mengikuti ‘momentum berharga’ Muktamar Alim Ulama NU di Situbondo 1984. Karena merasa ia mungkin tidak akan punya kesempatan lagi untuk untuk mengikuti ‘momentum berharga’ itu lima tahun berikutnya, Khaliq memutuskan untuk tidak mengikuti ujian akhir semester. Akibatnya, pada semester berikutnya ia tidak diperbolehkan mengambil mata kuliah lebih dari 12 SKS dan harus mengulang beberapa mata pelajaran.
Masa perkuliahan mempunyai kenangan tersendiri baginya, sebuah kenangan di mana ia berjuang ingin meraih kompetensi di bidang akademis dan kompetensi di bidang kepemimpinan organisasi. Dalam kesehariannya sebagai mahasiswa, tugas-tugas kuliah ia kerjakan bersama-sama dengan temannya di PMII dan dalam menghadapi ujian, ia lebih sering menggunakan sistem kebut semalam (SKS) dengan bekal bahan-bahan kuliah yang sudah difotokopi dari beberapa temannya yang suka mencatat dan rajin masuk kuliah.
Sewaktu kuliah orang tuanya selalu menanyakan dua pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya. “Kapan kamu lulus?”, “Mau bekerja sebagai apa?” Kedua pertanyaan ini tidak pernah ia jawab dan untuk menyudahi pertanyaan itu ia sering kali hanya menjawab “Ya pokoknya nanti luluslah, kalau nanti kerja ya jadi guru”.
Khaliq lulus secara administratif dari IKIP baru pada tahun 1988 karena perbedaan pandangan dengan dosen pembimbing skripsinya. Hampir lebih dari dua semester skripsinya terbengkalai, sedangkan teman-temannya yang lain dalam waktu empat tahun sudah menyelesaikan masa kuliah.
Persis setelah lulus dari IKIP, ia bekerja dalam kegiatan penelitian yang diadakan oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan UI yang diketuai oleh Rozi Munir selama setahun. Sebenarnya sejak lulus dari IKIP, Khaliq tidak berniat melamar pekerjaan karena profesi sebagai guru sudah ia rangkap semasa kuliah walaupun belum menjadi guru tetap. Diam-diam, Khaliq menyimpan suatu keinginan untuk berperan lebih besar bagi bangsa ini dengan terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga ia bisa turut memperjuangkan nasib guru.
Ketika keluarganya pindah ke Depok di awal tahun 80-an, orang tuanya menyaksikan betapa ‘enaknya’ menjadi pegawai tetap Departemen Agama, yang setiap pagi hendak berangkat dijemput dan kalau pulang diantar. Karena di Depok kebanyakan PNS semua, orang tuanya menjadi terpengaruh dan berkeinginan agar Khaliq juga menjadi pegawai tetap Departemen Agama yang mendapat ‘fasilitas’.
Meskipun mengetahui keinginan orang tuanya ini, Khaliq tetap pada pendiriannya tidak ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil karena melihat PNS pada waktu itu tidak netral. Agar orang tuanya tidak kecewa, Khaliq menyimpan sendirian keputusan dan keinginannya itu dan tidak pernah menyatakan hal tersebut di hadapan orang tuanya.
Ijazah baru diambilnya tahun 1991 setelah 3 tahun dibiarkannya ‘berkarat’ di kantor TU IKIP karena sibuk dengan kegiatan partai. Padahal, bagi kebanyakan orang, ijazah adalah gantungan hidup untuk bekerja. “Normal karena itu sebagai sesuatu sarana untuk mendapat kehidupan yangg lebih baik, bukan?” ujarnya menambahkan.
Ia ‘terpaksa’ mengambil ijazah tersebut untuk memenuhi syarat pembuatan visa ke luar negeri. Supaya tidak dianggap tidak menghargai hasil jerih payahnya dan tidak menghargai institusi IKIP, ia memilih memberikan alasan bahwa ijazah itu diperlukannya untuk melanjutkan studinya ke Amerika. “Dengan begitu petugas TU itu tidak sempat marah,” kenangnya sambil terseyum.
Pada tahun 1992, Khaliq melanjutkan studi S2 di UI jurusan Program Pengkajian Ketahanan Nasional (Program Kajian Strategis) untuk meningkatkan kemampuan berpikir sistematis dan naik ke jenjang akademis yang lebih tinggi. Namun karena padatnya kegiatan partai, ia terpaksa menunda untuk sementara waktu penyelesaian studinya.
Setahun kemudian, tahun 1993, ayahnya tercinta meninggal. Dari ayahnya ia mendapat suatu pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan. “Kalau mau menghargai diri sendiri hargailah orang lain, menghargai orang lain berarti menghargai diri sendiri,” kata ayahnya. Contoh yang sederhana adalah melalui cara berpakaian. Berpakaian rapih adalah wujud menghormati orang lain, dan dengan sendirinya nanti, penghargaan yang sama juga akan datang dari orang lain. Ayahnya juga mengajarkan agar menghargai pandangan orang lain yang berbeda dan tidak terpancing emosi ketika ada yang mengkritik atau berbeda pandangan politik. “Perbedaan pandangan adalah sesuatu yang wajar dalam dunia politik, karena demokrasi itu syarat kuncinya adalah Agree to disagree (setuju untuk tidak setuju, sepakat untuk tidak sepakat)” ujarnya menekankan.
Aktif di PPP
Kiprahnya di dunia politik tidak lepas dari pengaruh ‘guru politik’ yang dikenalnya semenjak 1989, Matori Abdul Djalil. Setahun setelah lulus dari IKIP Jakarta, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang mengenal dunia politik semenjak tahun 1981 ini, bergabung dengan PPP atas ajakan Matori Abdul Djalil yang pada waktu itu terpilih sebagai sekjen PPP dalam Muktamar PPP di Ancol tahun 1989.
Di PPP, Khaliq bersama teman-temannya terlibat dalam penyusunan dua draft rumusan konsep partai yaitu rumusan sukses pemilu PPP 1992 dan rumusan pola dan sistem pendidikan dan pelatihan kader PPP. Pengalaman ini menurutnya luar biasa karena ia menjadi salah satu konseptor program sukses pemilu PPP 1992 padahal belum pernah ikut pemilu. Meskipun semenjak tahun 1982 ia sudah mempunyai hak suara, ia tidak menggunakan haknya itu karena melihat proses politik di Indonesia saat itu tidak fair dan tidak memberi ruang bagi rakyat untuk mengartikulasikan kehendak dan aspirasi politiknya. Baru pada tahun 1992, ia menggunakan hak suaranya bersamaan dengan pelaksanaan program sukses pemilu PPP 1992. Dalam melaksanakan tugasnya, Khaliq tidak menemui kesulitan yang berarti karena data-data empiris yang diperolehnya dari berbagai arsip nasional dan arsip partai dapat diolah dan dijadikan sebuah rumusan yang nantinya menjadi program dan komitmen partai.
Selain ia membantu Matori dan DPP PPP dalam menyusun konsep-konsep partai, ia juga membantu dalam hal penyusunan pidato politik dan makalah partai bagi Sekjen dan Ketua Umum PPP. Ia mendapat kepuasan tersendiri dalam mengerjakan tugas tersebut, karena ketika sang pemimpin berbicara kepada publik dengan menggunakan bahan yang disiapkannya, itu sama saja dengan ia sendiri yang sedang berbicara. Khaliq menyadari betul bahwa dalam dunia politik, masyarakat lebih melihat siapa yang berbicara, bukan apa yang dibicarakan. Jadi, walaupun sama-sama mengeluarkan konsep yang bagus, namun karena yang satu keluar dari seorang tokoh politik kenamaan, yang satu dari rakyat biasa, masyarakat pasti akan memilih mendengar pembicara yang mempunyai nama.
Setelah bergabung dengan PPP selama 3 tahun, Khaliq dipilih menjadi bagian dari dua orang delegasi yang dipilih oleh ketua partai untuk memenuhi undangan dari American Council of Politic Leaders (ACOPL). Ia sadar betul bahwa ia termasuk orang baru di PPP, sehingga ia sangat kaget ketika ketua partai menunjuknya sebagai salah satu delegasi PPP yang akan mengikuti program pertukaran pimpinan muda politik Amerika-Indonesia selama 3 minggu.
Program itu adalah pengalaman internasionalnya yang pertama. Di sana ia dibekali pengetahuan dan wawasan melalui berbagai dialog dan diskusi dengan pimpinan partai republik dan demokrat serta pemimpin-pemimpin muda partai. Ia juga banyak berdiskusi dengan tokoh pers, bisnis dan LSM Amerika. Pengalaman tersebut sangat memberikan andil bagi perjalanan karirnya termasuk posisinya sekarang ini.
Setelah kembali ke Indonesia ia diminta oleh DPP PPP bergabung dalam tim penyusun yang terdiri dari Sri Bintang Pamungkas, Saleh Halib, Aisyah Amini untuk menyusun rancangan GBHN PPP. Berdasarkan hasil Pemilu, PPP mendapatkan 61 kursi, sedangkan saat itu masih ada anggota MPR Perimbangan yang diangkat langsung oleh presiden, sehingga berdasarkan undang-undang, PPP mendapatkan jatah 30 kursi untuk anggota MPR Perimbangan dari unsur partai.
Khaliq termasuk salah satu orang yang diangkat oleh presiden menjadi anggota MPR. Setelah resmi menjadi anggota MPR, ia diminta oleh partainya menjadi anggota Badan Pekerja MPR untuk periode 1992-1997. Teman-temannya dalam BP-MPR adalah Jusuf Kalla, Abdul Latief, Harianto Darnotirto dan lain-lain. Hal ini menambah pengalaman politiknya apalagi ia adalah anggota MPR termuda saat itu, pada usia 31 tahun.
Di tahun 1992 pulalah Khaliq menikahi Etty Dalwiarti, yang kemudian memberikannya dua orang anak yaitu Bagus Mustafa, lahir 15 Juli 1994 saat menjelang muktamar PPP dan Adhi Muzakky, lahir 10 September 1998 saat ia sedang berada di luar kota dalam kegiatan program pelatihan PKB. Ia mengatakan merasa beruntung memiliki mertua yang sudah mengerti dan memaklumi kesibukannya dalam dunia politik sehingga setelah anaknya lahir ia bisa mempercayakan anaknya kepada mertuanya.
Jauh sebelum menikah, Khaliq menceritakan bahwa ia mempunyai pengalaman yang unik bersama ayahnya yang selalu ‘gatal’ menanyakan kapan ia akan menikah. Suatu kali, Khaliq mengajak ayahnya dari Depok ke Kebon Baru, Tebet tanpa memberitahu maksud dan tujuannya. Merasa saatnya sudah tepat dan ingin membuat kejutan, Khaliq berkata, “Pak, lamarkan saya.” “Loh, udah mau kawin?” tanya ayahnya sedikit kaget. Akhirnya di Kebon Baru, Tebet, Khaliq dan ayahnya datang ke rumah calon mertua melamar Etty Dalwiarti untuk menjadi isterinya.
Pada bulan September 1992, calon mertuanya bertanya, “Kapan menikahnya?”. Khaliq menjawab dengan jawaban politis, “Ya akhir tahunlah Pak.” “Akhir tahun itu kapan, Desember atau November?” tanya calon mertuanya. Pertanyaan itu membuat ia harus berpikir keras bagaimana cara menjawab yang benar karena waktu itu ia tidak punya uang sebab sebagai anggota MPR waktu itu, ia hanya menerima honorarium sebesar 350 ribu rupiah per bulan. Setelah dipikirkan dengan matang, pernikahan akan dilangsungkan 29 November 1992.
Khaliq dilantik menjadi anggota MPR 1 Oktober 1992 lalu diangkat menjadi anggota Badan Pekerja MPR pada tanggal 3 Oktober. Mulai dari tanggal 4 Oktober hingga bulan Desember, Khaliq harus masuk base camp bekerja mempersiapkan materi sidang umum MPR 1993 dan terpaksa menginap di hotel. Karena tanggung jawab ini Khaliq tidak bisa maksimal dalam persiapan pernikahannya. Untung saja, ia mempunyai teman-teman dari PMII yang membantu mempersiapkan pernikahannya.
Pada hari H akad nikahnya, beberapa petinggi partai ikut hadir. Matori Abdul Djalil menjadi wali dan istri Matori melakukan Seserahan sedangkan Ismail Hasan Metareum membawakan khotbah nikah. Baginya, hari pernikahannya adalah hari yang sangat berkesan karena beberapa petinggi partai menjadi bagian dari sejarah hidupnya, dan karena itu ia sangat menghormati mereka.
Perjalanan karir politiknya terus berlanjut ketika diadakannya suksesi PPP melalui Mukatamar PPP pada tahun 1994 yang diadakan di Pondek Gede. Karena sejak awal yang merekrutnya masuk PPP adalah Matori, maka ia mengambil pilihan untuk mendukung penuh Matori dalam bersaing dengan calon-calon lain.
Namun sayangnya, perjuangan Matori terhenti oleh suatu ‘ketentuan’ yang menyatakan bahwa siapapun yang menjadi pimpinan partai harus mendapat restu dari Soeharto. Karena berseberangan dengan Soeharto, hasil akhirnya sudah dapat diduga, Matori kalah dalam bursa calon pimpinan umum PPP dan ketua umum yang lama kembali terpilih.
Bersamaan dengan momentum Muktamar PPP, Khaliq dengan beberapa teman mendirikan sebuah lembaga kajian yang disebut sebagai ISIS (Institute for Sosial Institutions Studies). Lembaga ini merupakan lembaga advokasi politik dan pelatihan-pelatihan politik terhadap anggota DPRD dan pengurus partai khususnya PPP yang memiliki kemampuan lebih, di mana mereka nantinya akan ditempatkan di posisi strategis intelektual dan managerial. “Dan alhamdulillah, ISIS masih tetap berjalan hingga saat ini, dan lebih berfokus kepada advokasi dan pelatihan politik.” katanya penuh syukur. Sejak awal ISIS mendapat dukungan donor dana dari dua lembaga yaitu The Asian Foundation (TAF) dari Amerika dan FNS dari Jerman.
Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK)
Kemudian sejalan dengan mengerasnya kemauan Soeharto untuk tetap bertahan memegang kekuasaan di negeri ini, Khaliq membantu Matori dan teman-teman mendirikan Paguyuban yang diberi nama Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK) pada tahun 1996. Ia memilih bergabung bersama Matori karena Matori adalah seorang figur yang memiliki idealisme dan bukan pragmatis. Berdasarkan pengalamannya, orang yang idealis tidak akan menyakiti orang lain, sedangkan orang yang pragmatis cenderung hidup untuk dirinya sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Ia kagum kepada Matori karena melihat Matori memiliki pendirian yang kuat tetapi tetap terbuka untuk bernegosiasi. Sebagai orang yang teguh memegang prinsip, Matori bisa bergaul dengan kalangan manapun. Kualitas inilah yang membuatnya untuk terus memajukan partai bersama-sama dengan Matori.
Di YKPK, Bambang Triantoro, mantan Sekjen Dekdikbud dan mantan Kasospol ABRI menjabat sebagai Ketua Umum sedangkan Matori sebagai Sekretaris Umum Yayasan banyak dibantu oleh Khaliq dalam berbagai kegiatannya.
YKPK muncul sebagai bentuk perlawanan politik terhadap pemerintahan Soharto yang berperan aktif agar gerakan reformasi semakin solid di tengah masyarakat. YKPK menyelenggarakan Sarasehan Nasional untuk membahas isu-isu politik dan sosial ekonomi dengan melibatkan berbagai tokoh bangsa seperti Kwiek Kian Gie, Siswono Yudohusodo, Jakob Tobing, Wijarnako Kuswoyo, Marzuki Darusman, dan lain-lain serta berbagai tokoh dari berbagai golongan lintas suku, agama dan warna politik.
YKPK juga secara aktif mendukung gerakan mahasiswa yang menyerukan adanya perubahan kepepimpinan nasional hingga pada puncaknya, 21 Mei 1998, YKPK turut mendukung kawan-kawan mahasiswa berdemo di gedung DPR/MPR. Di tengah-tengah proses reformasi yang semakin tidak jelas arahnya saat ini, YKPK tetap terlibat dan tidak menjadi penonton atau penumpang gelap seperti kebayakan orang yang mengaku reformis tetapi sebenarnya merupakan bagian dari unsur yang perlu direformasi. “Kita tahulah siapa orang-orang itu,” tegasnya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Sejak Mei 1998 NU mengadakan diskusi intensif dengan Matori Abdul Djalil. Dalam diskusi tersebut muncul 3 pendapat: Apakah NU perlu membuat partai politik tertentu, Apakah NU dijadikan partai politik, atau Apakah komunitas NU yang ada dalam partai tertentu tetap tinggal di partainya masing-masing?
Akhirnya diputuskan bahwa komunitas politik NU perlu memiliki partai politik sendiri. Atas inisiatif dari Kyai Haji Cholil Bisri, dikumpulkanlah para Kyai dan para tokoh politik NU untuk bertemu di Rembang, yang kemudian terkenal dengan sebutan Pertemuan Rembang, termasuk di dalamnya Matori Abdul Djalil sebagai penggagas awal lahirnya PKB. Pada waktu itu, muncul berbagai nama seperti partai kebangkitan rakyat, partai kebangkitan ummat dan lain-lain.
Matori, KH Cholil Bisri dan beberapa Kyai lain membentuk suatu tim yang akan mempersiapkan lahirnya partai baru ini. Sebagai seorang muda, Khaliq menghormati yang tua dan melakukan tanggung jawabnya dengan baik sebagai pencatat Notulen, merumuskan hasil-hasil kesepakatan pertemuan dan nama partai dalam Pertemuan Rembang.
Tim dari Rembang kemudian menyusun rapih rumusan teks deklarasi dan AD/ART untuk dimatangkan kembali di Semarang, Malang dan Bandung. Di Bandung, selain kelompok Pertemuan Rembang, hadir pula seluruh kelompok yang ada dalam komunitas NU.
Semua aspirasi kemudian disalurkan kepada PBNU sebagai institusi yang perlu memfasilitasi lahirnya partai baru. Hasil kerja keras tim dari Rembang melahirkan usulan yang hampir sempurna dan memudahkan PBNU dalam menentukan AD/ART.
Dalam proses pemilihan calon-calon pengurus, PBNU mengalami tarik-menarik pendapat mengenai siapa yang akan mengisi kepengurusan di partai. Maka dibuatlah sebuah persyaratan bahwa yang menjadi pengurus adalah mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik dan memiliki kemampuan dalam berpolitik. Matori maju sebagai Ketua Umum dan Khaliq membantu menyusun nama-nama pengurus pusat yang pertama, dan hampir 90% nama yang diusulkannya terpilih.
Pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur, PKB dideklarasikan dan Khaliq dipilih menjadi Ketua Bagian Pendidikan dan Pelatihan PKB, di mana saat itu ia sedang bertugas memberikan pelatihan kepada kader PKB di Sulawesi Selatan. Menjelang Pemilu, Khaliq berkeliling di 13 provinsi untuk memberikan pelatihan kepada kader-kader PKB.
Khaliq menjadi fungsionaris PKB sejak muktamar luar biasa tanggal 14-16 Januari 2002. Dalam memajukan partai, ia mempunyai tiga tolak ukur. Pertama adalah meningkatkan kinerja partai PKB. Dalam mengukur kinerja, ada 2 indikator yang harus diperhatikan, indikator internal dan indikator eksternal. Secara internal apakah ada kemajuan yang berarti dari sisi kepemimpinan partai entah itu secara konsep, manajerial, dan perilaku dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sedangkan secara eksternal, apakah partai PKB lebih baik daripada partai-partai lain pada saat sekarang entah itu dari penampilan dan cara mengungkapkan visi dan misi partai. Menurutnya partai-partai yang dianggap sebagai sparing-partner dalam mengukur kinerja adalah partai-partai yang memenuhi treshold terutama partai-partai pemenang pemilu.
Kedua adalah meningkatkan kualitas kader dengan dua pendekatan, pendekatan intelektual dan pendekatan operasional. Pendekatan intelektual lebih kepada meningkatkan wawasan, meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang didukung oleh pendekatan operasional yang berorientasi pada komitmen dan kepedulian sosial. Kedua pendekatan ini diperlukan untuk menghindari munculnya kader-kader yang hanya bisa berpikir tetapi tidak mampu mengimplementasikannya atau kader-kader yang hobi jalan tetapi kepalanya kosong. “Partai memerlukan kader-kader yang dapat berpikir dan terjun ke lapangan”, katanya tegas. Untuk mencapai hal ini diperlukan pelatihan kader yang berkesinambungan.
Ketiga adalah meningkatkan aliansi strategis, sebab persoalan bangsa ini sangat besar dan kompleks dan tidak dapat diselesaikan oleh satu atau dua partai, golongan atau kelompok saja, namun diperlukan kerjasama dari seluruh komponen bangsa termasuk kalangan pers, LSM, perguruan tinggi, petani, guru dan sebagainya.
Khaliq berharap jika ketiga hal ini dapat dikerjakan dengan baik, bukanlah tidak mungkin PKB akan menjadi pemenang dalam pemilu mendatang. “Demi tujuan itu, kita bekerja keras untuk menjadikan PKB menjadi pilihan rakyat,” katanya.
Masalah Bangsa
Menanggapi tentang persoalan yang dihadapi bangsa ini, Khaliq sangat menekankan pentingnya menghargai perbedaan. “Fakta yang ada sekarang adalah bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya plural dan majemuk, jadi dengan demikian, bagi saya kehidupan mendasar dalam masyarakat yang perlu dikembangkan oleh kita sebagai satu bangsa adalah harus bisa menghargai perbedaan yang ada, oleh karena itu setiap prinsip penyeragaman, penyatuan pendapat, dan proses yang mengarah serba disatukan, saya tidak sepakat,” katanya dengan tegas.
Ia melihat bahwa setiap pribadi memiliki individualitas dan hak pribadi yang harus dihargai oleh pribadi lain. Jadi individualitas itu penting, oleh karenanya tidak boleh ada penyeragaman. Ia mengambil contoh budaya Minang dan budaya Jawa. Kedua budaya ini berbeda namun memiliki titik temu yaitu demokrasi. Dalam kebudayaan Minang setiap orang dianggap sama, sehingga di dalam kebudayaan Minang tidak ada yang namanya tingkatan bahasa sedangkan dalam kebudayaan Jawa terdapat tingkatan namun setiap orang memiliki hak untuk berbicara di depan umum. Jadi, jika ia merasa tidak puas atau protes terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya, itu diperbolehkan. Kenyataan seperti ini memberikan kesadaran bahwa kita tidak dapat melakukan penyeragaman.
Makanya ia sangat menyambut baik otonomi daerah yang memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing sesuai dengan karakteristik budaya, sosial politik dan ekonominya. “Jadi tidak boleh ada lagi tindakan penyeragaman nama, misalnya di Jawa menggunakan kata desa, dan di Sumatera harus desa, ya gunakan saja nama yang sesuai dengan tradisi daerah setempat,” katanya.
Meskipun secara sosial Indonesia adalah bangsa yang plural, ia mengingatkan bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa harus mempunyai suatu komitmen yang sama sehingga komitmen itu bisa menjaga dan memelihara subkultur yang ada di Indonesia. Wujud komitmen itu adalah Pancasila sebagai dasar negara, dan bentuk negara, negara kesatuan. Dua hal inilah yang menjadi komitmen bersama yang tidak akan pernah berubah. Demikian juga dengan sikap NU sebagai bagian dari bangsa ini tetap berkomitmen dan menyatakan bahwa Pancasila dan negara kesatuan adalah final, tidak boleh lagi bergeser. “Sampai kapan pun dasar negara ini harus Pancasila dan bentuk negara ini harus Negara Kesatuan.” katanya penuh keyakinan.
Menurutnya, ada dua pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh bangsa ini. Pertama, pemulihan ekonomi dan yang kedua, integrasi bangsa yang semakin kokoh. Baginya, gerakan reformasi dimulai oleh karena bobroknya keadaan ekonomi, yang kemudian menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa seperti yang terjadi Aceh dan Papua yang merasa tidak mendapat keadilan dari pemerintah. “Jadi, jika sebuah partai ingin memenangkan pemilu tanpa melihat tugas utama bangsa ini, saya kira itu akan menjadi benih yang pada akhirnya membawa bangsa ini kepada krisis yang terus berkepanjangan.” katanya sembari menutup wawancara. Atur, Anis, Yusak