Penjelajah yang Tak Kenal Lelah
Don Hasman
[DIREKTORI] Penjelajah alam bebas sekaligus fotografer alam senior ini sudah mendaki banyak gunung di dunia, menelusuri jejak suku-suku pedalaman, berjalan kaki dan bersepeda di Eropa bahkan menyelami banyak lautan. Pria yang masuk dalam daftar 100 Famous Photographer in The World tahun 2000 ini berkomitmen penuh pada profesi, loyal pada rekan, hidup bersahaja dan selalu rindu berbagi.
Don Hasman, fotografer senior kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1940 ini sudah mulai memotret sejak usia 11 tahun. Saat itu Don kecil menggunakan kamera merk Voigtlander milik sang kakak. Pada tahun 1968, Don memulai karirnya sebagai fotografer profesional. Ia mulai memproses sendiri cuci cetak foto-fotonya yang saat itu masih hitam putih. Sebelas tahun kemudian, Don direkrut Aristides Katoppo menjadi wartawan foto di Tabloid Mutiara Jakarta hingga akhirnya pensiun tahun 1995.
Selain berbakat di bidang fotografi, sejak kanak-kanak Don juga dikenal sebagai pribadi yang berjiwa petualang. Bahkan saat usianya baru menginjak 12 tahun, ia nekat bersepeda dari Jakarta ke Bandung demi menyaksikan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Kisah petualangan seorang Don Hasman terus berlanjut seiring waktu. Berbagai puncak gunung tertinggi di dunia sudah ditaklukkannya. Puncak tertinggi yang pernah dipijaknya adalah Nuptse, di kawasan Himalaya yang masuk wilayah geografis Nepal. Wilayah ini terletak 6.150 meter di atas permukaan laut. Pendakian ini dilakukannya tahun 1978, dimana baru 9 tahun kemudian rekor tersebut kemudian diperbaharui oleh orang Indonesia lainnya. Prestasi ini mengukirkan nama Don Hasman sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil menginjakkan kakinya di Himalaya.
Om Don, begitu ia kerap disapa, juga pernah menaklukkan salah satu puncak tertinggi di dunia, yaitu puncak gunung Kilimanjaro di Tanzania, setinggi 5.985 meter di atas permukaan laut tahun 1985. Ia berangkat antara lain bersama mendiang Norman Edwin – pecinta alam legendaris sekaligus wartawan Kompas.
Bahkan pada tahun 2007, di usianya yang sudah memasuki 67 tahun, dosen fotografi di FMSR ISI Yogyakarta ini masih kuat berjalan kaki sejauh 1000 kilometer saat menjelajah Saint Jean-Pied de Port di Perancis Selatan menuju ke Katedral Santiago de Compostela di Cape Finisterre, Spanyol Barat Laut. Perjalanan menelusuri napak tilas Santo Yakobus itu dilakukan selama 35 hari dan ditempuh dengan 2.200.000 langkah. Perjalanan tersebut diabadikan anggota kehormatan Mapala UI bernomor anggota MK 225 ini dalam lebih dari 14 ribu foto lewat kamera digital Canon 30D, G7 dan A640 yang disimpan dalam harddisk sebanyak 44 gigabit.
Pada tahun 2009, Don Hasman masih kuat mendaki gunung Tambora untuk menyusun buku fotografi tentang gunung yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu. Gunung Tambora jadi legendaris lantaran letusannya pada April 1815 tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah dunia. Kedahsyatan letusan gunung yang menewaskan 92.000 jiwa itu bahkan membuat bumi tersaput abu letusan selama setahun serta tak ada musim panas.
Jiwa petualang suami dari Suryati ini amat mendukung hobi fotografinya. Oleh sebab itu, ia lebih dikenal sebagai fotografer spesialis alam. Hampir semua hal yang diabadikannya saat melanglang buana naik turun gunung bernilai seni tinggi. Bahkan bekas-bekas aliran air pun menjadi karya foto yang menarik. Mengutip pernyataan Don Hasman di situs Landscape Indonesia, “Foto bagus adalah foto yang bisa menggugah perasaan. Foto yang menggugah bisa menginspirasi orang yang melihatnya. Membuat orang melakukan sesuatu,” ujar fotografer senior berdarah campuran Betawi, Sunda, Malaysia, China, dan Portugis ini.
Di usianya yang sudah memasuki 67 tahun, dosen fotografi di FMSR ISI Yogyakarta ini masih kuat berjalan kaki sejauh 1000 kilometer saat menjelajah Saint Jean-Pied de Port di Perancis Selatan menuju ke Katedral Santiago de Compostela di Cape Finisterre, Spanyol Barat Laut. Perjalanan menelusuri napak tilas Santo Yakobus itu dilakukan selama 35 hari dan ditempuh dengan 2.200.000 langkah.
Pengalaman puluhan tahun mengabadikan pemandangan indah di seluruh belahan dunia, membuat pria jebolan Akademi Hubungan Internasional tahun 1971 ini banyak dikagumi para fotografer junior yang ingin menimba ilmu padanya. Meski usianya sudah senja, sepertinya tak ada kata lelah dalam kamus hidup Don Hasman. Ia akan dengan senang hati membagikan ilmu dan pengalamannya di dunia fotografi. Uniknya, Don tak pernah mengharapkan imbalan materi berlimpah untuk ‘jasa’nya itu.
Seperti yang dituturkan Aji Wihardandi, seorang fotografer asal Balikpapan dalam situs Indonesiabox.com. Aji yang waktu itu berkomunikasi dengan Don via sms hendak mengkonfirmasi kehadirannya dalam workshop fotografi bertemakan Travel and Nature Photography Workshop with Don Hasman. Acara yang digagas oleh Hiperfokal atau Himpunan Penggemar Fotografi Alam Liar ini digelar di Balikpapan awal Desember 2010. Dalam balasan smsnya, Don berkata, “Tidak usah dibayar. Sesama teman jangan pasang tarif segala. Ongkosnya sudah diurus kalian, sudah cukup. Tanyakanlah kpd sdr Petrus ttg saya. Sekali lagi, tidak perlu dibayar. Terimakasih sudah mengundang saya. Salam hormat untuk kalian di Balikpapan.”
Aji pun bingung menanggapi sms tadi, dengan apa ia harus membalas semua ilmu yang dibagikan seniornya itu. Pertanyaan itu menjadi penting karena bagi Aji, ilmu dan pengalaman yang dimiliki seorang Don Hasman jelas sangat mahal. Tak banyak fotografer di usianya yang kini sudah kepala tujuh memiliki kekayaan batin sekelas Don Hasman.
Selain sikap tanpa pamrih dan senantiasa ikhlas berbagi, kehidupan sosok fotografer penjelajah ini juga patut diteladani. Meski namanya di dunia fotografi sudah begitu membahana, tak sedikitpun mengubah gaya hidupnya. Don tetaplah pribadi yang bersahaja. Seperti yang dikisahkan Kristupa Saragih, pendiri situs fotografi pertama di Indonesia, fotografer.net dalam tulisannya yang berjudul 70 Tahun Don Hasman. Don Hasman merupakan figur langka sehingga sulit mencari pribadi yang mampu menyamainya. Di tahun 2009, seusai menghadiri sebuah acara di Yogyakarta, Don pamit kepadanya untuk membeli tiket kereta api pulang ke Jakarta. Dengan diantar seorang mahasiswa berboncengan motor, Don pun berangkat ke Stasiun Tugu. Kepada mahasiswa tadi, Kristupa menitipkan sejumlah uang untuk tiket kereta eksekutif. Tapi mahasiswa tersebut, sekembalinya dari Stasiun Tugu, mengembalikan uang tersebut karena Don Hasman ternyata lebih suka menumpang kereta ekonomi.
Di mata Kristupa, Don Hasman juga merupakan sosok yang penuh inisiatif, ide berani dan semangat menyala-nyala. Pada tahun 2006 di Jakarta, Don Hasman berinisiatif mengumpulkan fotografer untuk sebuah proyek buku bertema Indonesia. Sejumlah fotografer terkemuka dikontaknya untuk berkumpul di studio Ferry Ardianto di bilangan Tebet. Kristupa, fotografer berdarah Batak yang termuda di rapat informal tersebut menyaksikan semua fotografer senior yang hadir amat menaruh hormat pada Don Hasman. Beberapa fotografer lantas berbisik-bisik mengingatkan satu sama lain untuk sekadar memberi ongkos taksi pada Don Hasman.
Uang tersebut kemudian diberikan secara diam-diam ke Don Hasman ketika acara usai dan semua saling berpamitan. Don Hasman menolak, seraya menyebutkan bahwa ia terbiasa menumpang bis umum. Dan, pria sederhana itu pun tetap pulang ke rumahnya di Depok menumpang bis umum. Begitu sederhananya kehidupan Don Hasman, ia baru bersedia memakai ponsel di tahun 2010. Sebelumnya, komunikasi hanya dilakukan melalui telepon di rumahnya di Depok. Meski begitu, rupanya Don Hasman juga tidak mau ketinggalan memanfaatkan Facebook dan Twitter sebagai media komunikasi.
Setiap kali pergi ke luar kota, Don Hasman menolak jika harus menginap di hotel. Ia cukup nyaman menginap di rumah salah seorang panitia saja. Ia juga enggan makan di restoran mewah. Fotografer kawakan sekaliber Don Hasman ternyata lebih suka makan di pinggir jalan. Kesederhanaannya menimbulkan kekaguman bagi siapa pun yang mengenal sosoknya, dengan sederet prestasi dan pengalaman, ia masih bisa dan masih akan terus hidup dalam kesahajaan.
Di usianya yang sudah lanjut, Ketua Asosiasi Fotografer Indonesia ini masih menikmati dunia fotografi dan petualangan dengan tetap menjunjung tinggi gaya hidup sederhana. Fotografi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup ayah dua putri bernama Arina dan Tarita ini. Dengan berbagai pengalamannya, tak heran jika pemerintah Perancis memasukkan namanya ke dalam daftar 100 Famous Photographer in The World tahun 2000. eti | muli, red