Pahlawan dari Singaraja

I Gusti Ketut Pudja
 
1
1404
I Gusti Ketut Pudja
I Gusti Ketut Pudja | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Ia ikut ambil bagian pada saat penyusunan naskah proklamasi dan memegang peranan sangat penting dalam memperbaiki butir pertama dari Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pancasila. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 2011.

Putra asli Bali ini lahir di Singaraja, 19 Mei 1908 dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma. Tahun 1934, di usia 26 tahun, Pudja berhasil menyelesaikan kuliah di bidang hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School, Jakarta. Setahun kemudian, ia mulai mengabdikan dirinya pada kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja.

Pada 7 Agustus 1945, Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang yang berkedudukan di Jakarta membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. I Gusti Ketut Pudja kemudian terpilih sebagai salah satu anggota PPKI mewakili Sunda Kecil yang saat ini dikenal sebagai Bali dan Nusa Tenggara. PPKI bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dimana sebelum panitia ini terbentuk, telah berdiri BPUPKI namun dibubarkan Jepang karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan.

Selanjutnya pada 16 Agustus hingga 17 Agustus 1945 dinihari, Pudja turut hadir dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat. Pudja juga menyaksikan momen bersejarah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Sehari setelah proklamasi, PPKI mengadakan rapat guna membahas Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang merupakan hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia. Piagam tersebut merupakan hasil rumusan Panitia Sembilan yakni panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.

Di dalam Piagam yang disetujui pada 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis) itu terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila, yaitu:
– Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
– Kemanusiaan yang adil dan beradab;
– Persatuan Indonesia;
– Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
– Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagian dari warga Indonesia bagian timur termasuk I Gusti Ketut Pudja tidak menyetujui butir pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pudja kemudian menyarankan agar menggantinya dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Istilah Muqaddimah pun diubah menjadi Pembukaan UUD. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, pada sidang kedua yang beragendakan penyusunan UUD, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I, 18 Agustus 1945, Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.

Presiden Soekarno kemudian mengangkat Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil yang waktu itu disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil pada 22 Agustus 1945. Keesokan harinya, Pudja tiba di kampung halamannya, Bali, dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur dan langsung memulai tugasnya.

Hal pertama yang dilakukannya adalah menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga ke desa-desa terpencil di Bali. Pudja menjelaskan latar belakang proklamasi dan struktur pemerintahan Republik Indonesia serta menyampaikan bahwa ia adalah Gubernur Sunda Kecil hasil pemilihan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disahkan oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Pudja juga mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.

Advertisement

Saat itu, walau sebenarnya sudah menyerah, Jepang tetap saja masih berkuasa di sejumlah daerah di Bali. Pudja kemudian mengerahkan para pemuda untuk melucuti senjata tentara Jepang di akhir tahun 1945. Namun sayang usaha itu gagal dan Pudja bahkan sempat ditangkap tentara Jepang.

Selain sebagai Gubernur, suami dari I Gusti Ayu Made Mirah ini pernah mendapat amanat dari Presiden Soekarno untuk menjadi pejabat di Departemen Dalam Negeri. Jabatan lain yang pernah diemban bapak lima anak ini adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga ia memasuki masa purnabakti di tahun 1968.

I Gusti Ketut Pudja meninggal dunia pada 4 Mei 1977 di usia 68 tahun. Pada 1992, Presiden Soeharto menganugerahkannya penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Pada tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Gelar tersebut secara resmi diberikan pada ahli warisnya IGM Arinta Pudja di Istana Negara, Jakarta.

Menurut sejarawan Universitas Udayana (Unud) Prof Dr I Gde Parimartha, pemberian gelar pahlawan nasional kepada I Gusti Ketut Pudja merupakan keputusan yang tepat. Sebab, dedikasi Ketut Pudja sudah tampak dari awal, baik untuk masyarakat Bali maupun bangsa Indonesia. Karena itu, Parimartha juga mengajak masyarakat Bali untuk meneladani kepahlawanan yang telah dilakukan tokoh kelahiran Singaraja itu selama hidupnya.

Parimartha juga berharap masyarakat Bali tidak hanya berhenti pada kebanggaan bahwa pendahulunya telah diakui oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional karena yang terpenting adalah pemaknaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan yang kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. muli, red

Data Singkat
I Gusti Ketut Pudja, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, sampai 1968 / Pahlawan dari Singaraja | Pahlawan | pahlawan nasional, Pahlawan, Gubernur, sarjana hukum, PPKI

1 KOMENTAR

  1. Pejuang tanpa tanda jasa masih banyak dan dilupakan dikarenakan tdk tercatat namanya…., yang gugur dalam masa perjuangan terutama dipelosok pelosok nusantara indonesia belum ditinjau kembali, prinsip seorang pejuang pada waktu itu adalah mati atau hidup, 2 pilihan yang sangat berat dalam menghadapi kejamnya PENJAJAH PENJAJAH TANAH AIR, lebih baik mati daripada dijajah, walaupun masih hidup…tetapi bebas dari tekanan para penjajah. Berjuang ada dg perang & diplomasi….orang yg pernah berjuang melawan para pejuang wajib diberikan penghargaan setinggi tingginya…misalkan diberi gelar, tunjangan keluarganya, perlindungan. INGAT…NKRI INI BISA BERDIRI KARENA PARA PEJUANG….BAIK YANG TERCATAT MAUPUN BELUM TERCATAT…., OLEH KARENA ITU HARGAI DAN HORMATI SETINGGI TINGGINYA PARA PAHLAWAN DAN PEJUANG….

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini