Melawan Anomali dengan Tari
Mugiyono Kasido
[WIKI-TOKOH] Mugiyono Kasido konsisten menampilkan karya tarinya dengan mengusung kesederhanaan.
Dalam setiap penampilannya, lelaki itu memilih mengenakan baju kombrong dengan membiarkan benik terbuka, atau kaus oblong dan celana pendek tiga perempat, ketimbang harus memakai kostum yang eksotis.
Tubuhnya yang ceking terlihat lentur. Gerakannya sangat liat dan elastis. Dia mengeksplorasi berbagai macam posisi tubuh dengan elegan dan mantap, bertumpu pada satu kaki dengan telapak kaki mendekat atau mengendap kelantai, kemudian berdiri tanpa kesulitan. Itulah Mugiyono Kasido, seorang koreografer kenamaan alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang sekarang berubah status menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) Solo.
Selama hampir 18 tahun melakoni diri sebagai pencipta tari kontemporer, pria yang akrab dipanggil Mugi ini malang melintang ke berbagai penjuru dunia. Biasanya, suami Nuri Aryanti itu tampil dengan tema-tema aktual, yang kadang bersinggungan dengan situasi politik. Ia pun tidak canggung melekatkan elemen tradisional seperti musik gamelan, wayang kulit, ataupun drama topeng dalam karya kontemporernya, mengingat latar belakangnya memang seorang penari tradisi.
Yang menarik lainnya, ketika pentas, anak dalang asal Klaten kelahiran 1967 ini selalu membatasi diri pada sebuah panggung persegi panjang kecil. Dia meliukkan tubuhnya menjadi bentuk komikal dan satire. Dengan bantuan kaus putih ukuran besar, dia menjadi satu tokoh panggung yang secara konstan memanipulasi tubuhnya untuk menciptakan berbagai gerakan yang luar biasa.
Sejauh ini banyak pemerhati melihat gerakan-gerakan Mugi saat menari mengesankan paduan antara komedi, tragedi, satire ekspresi dramatis suara manusia yang mendalam. Seperti yang ditunjukkan pada pentas Kabar Kabur, yang menggambarkansituasi rusuh Mei 98 hingga tarian Srimpi Neyeng yang tercipta karena kegalauannya atas situasi saling klaim kebudayaan Malaysia-Indonesia.
Karya-karya Mugi terus saja berangkat dari pergulatan hatinya untuk merespons sebuah peristiwa yang kadang-kadang anomali. “Ya, terus terang saja, saya memang merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu. Misalnya ketika tari Pendet dan Reog diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Tentu sajayang bisa saya lakukan adalah sesuai dengan profesi saya sebagai seorang penari dengan membuat tari. Seperti April lalu saya pentaskan di Jakarta yakni Srimpi Neyeng,” ungkap Mugi seraya menyebut tariannya itu dipadukan unsur pedalangan seperti dodogan, sulukan, janturan, dan garapan.
Kaya penghargaan Mugi belajar menari sejak usia delapan tahun dengan dasar tari Jawa klasik. Selain di lembaga pendidikan formal, SMKI dan STSI Solo (kini ISI Solo), Mugi banyak belajar olah gerak dan tari dari pujangga tari Pura Mangkunegaran seperti Raden Ngabehi Rono Suripto dan juga koreografer kondang Sardono W Kusumo.
Pada 1992, pengelola sanggar tari Mugi Dance di Can-gakan, Kartosuro, ini mengawali karier sebagai seorang koreografer.
Karyanya saat itu berjudul Mati Suri. Ketika dipentaskan di Pura Mangkunegaran, karya itu meraih trofi KGPAA Mangkunegara IX sebagai penyaji terbaik tari kontemporer.
Lalu setahun kemudian, karyanya berjudul Terjerat yang dipentaskannya di Taman Sriwedari meraih penghargaan penata tari terbaik.
Masih banyak karya kore-ografinya yang menjulang-kan namanya. Salah satunya adalah yang akan dipentaskan di Gedung Kesenian Sriwedari, yakni tari Lingkar dan Surat Shinta. Kedua tarian yang mengusung tema perempuan itu beberapa tahun belakangan ini sering dipanggungkan di sejumlah negara.
Eropa dan Asia
Di tengah kesibukannya bergulat dengan olah tari kontemporer, Mugi berharap pemerintah bersedia berbenah diri di dalam menjaga warisan budaya bangsa.
“Terus terang saya khawatir dengan sikap skeptis pemerintah terhadap kekayaan budaya Tanah Air yang karut-marut ini. Kenapa terus terjadi pembiaran seperti ini? Sungguh indahnya kalau semua saling menjaga dan melestarikan warisan kekayaan budaya bangsa,” timpalnya lirih.
Sejauh ini, lanjut dia, pemerintah cenderung mengedepankan sesuatu yang justru bukan milik asli budaya bangsa.
Ini kentara sekali dengan yang terjadi di lembaga pendidikan, khususnya terkait dengan kebijakan kurikulum pendidikan yang mesti bisa menggunakan kearifan lokal.
“Lihatlah dalam kebijakan kurikulum pendidikan yang mengharuskan adanya muatan lokal di setiap daerah, kok yang terjadi justru memilih mata pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal sekolah. Yang namanya muatan lokal kok bahasa Inggris,” tandasnya.(M-4) e-ti
Sumber: Media Indonesia, 9 Juli 2010 | Penulis: Widjajadi