Ritus Musik Wayan Sadra
Wayan Sadra
[WIKI-TOKOH] I Wayan Sadra (56) mungkin termasuk komponis lintas identitas, tetapi tetap berangkat dari khazanah bermusik lokal. Konsernya di Komunitas Salihara Jakarta, bulan Juli 2009, bertajuk “Borderless”, bisa jadi semacam penegasan terhadap pencarian sana-sini kelompok yang ia beri nama Sono Seni itu. Musiknya, yang dalam kategori sekarang sering disebut kontemporer, jauh melampaui batas-batas bermusik biasa, bahkan menembus sekat-sekat yang dibangun oleh sebuah instrumen.
Tempat tinggal Sadra di Perumahan Subur Makmur, Ngringo Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, adalah “pencapaian” lain dalam pendobrakan pakem seorang seniman tulen. Ia tidak memiliki dan juga tidak berniat untuk seterusnya membangun sebuah padepokan. Sebab, katanya, padepokan hanya akan menghentikan penjelajahannya terhadap kemungkinan bermusik. “Kalau salah kelola, padepokan bisa jadi stigma. Seorang seperti Sardono padepokannya ya di Baliem, Bali, atau Kalimantan, bukan di Solo…” tutur Sadra suatu malam pada bulan Agustus 2009 di rumahnya.
Selama ini komunitas Sono Seni yang didirikan Sadra 10 tahun silam, tetap berlatih dua-tiga kali seminggu di tempat-tempat berbeda. “Bisa di Taman Budaya Solo, ISI Surakarta, bahkan sering kali di bawah pohon. Alat-alat musik dibawa oleh para pemusiknya,” ujar peraih penghargaan New Horizon Award tahun 1991 dari International Society for Arts, Sciences and Techonology, Berkeley, California, Amerika Serikat. Sadra adalah orang Asia pertama yang menerima penghargaan bergengsi di bidang musik itu. Ia dianggap sebagai miles stone, tonggak pencapaian musik kontemporer dunia.
Anda dikenal memiliki cara bermusik yang “aneh”, misalnya dengan membawa sapi ke atas panggung atau memecahkan telur-telur seperti membuat omelet. Apa sesungguhnya yang ingin Anda capai?
Semua berbasis pada pemikiran ulang terhadap tradisi dengan ragam filosofisnya. Posisi gamelan dalam ritual di Bali adalah ngayah, sebuah laku berserah yang maknanya sama dengan sembahyang. Dalam ritus sembahyang, seluruh indera kita dibuka. Telinga kita mendengar gamelan, kulit merasakan tirta (air suci), lidah mengecap bija (beras berkah), mata menyaksikan rangkaian janur yang indah. Seperti orang bermain gamelan di pura itulah saya bermusik.
Saya berpendapat musik sesungguhnya sangat visual. Di dalamnya unsur-unsur audio dan visual inheren, menyatu. Itu saya buktikan dengan pemecahan telur di atas pelat baja yang panas. Ketika telur dilemparkan dan pecah, itu nirsuara….
Tetapi bukankah hakikat musik adalah suara?
Begini. Pada saat ritus menginjak telur dalam upacara pernikahan Jawa atau ritus nyambleh, pemecahan telur sebagai persembahan di Bali, paling-paling yang kita dengarkan suara halus plak-plak…Di situ sesungguhnya unsur rasa sedang bekerja. Kita merasakan ada yang lengket dan suara itu seolah-olah menggema dalam diri. Itulah dia nirsuara. Ini bukti bahwa audio dan visual itu menyatu.
Contoh mudahnya, kalau Anda mendengar suara krik-krik atau deru, secara otomatis Anda akan membayangkan jangkrik dan motor atau mobil. Jadi, suara sebenarnya mengandung unsur visual.
Apa yang Anda bisa jelaskan soal membawa-bawa sapi ke atas pentas itu?
Itu juga aspek dari ritus. Saya ingin membuat penjelajahan tentang keindahan, supaya tidak berhenti. Dalam istilah Jawa ada angdon lango, mencari keindahan terus-menerus. Saya tidak akan berhenti pada satu model.
Selama ini saya selalu diminta mengiringi manusia atau memainkan musik untuk manusia. Saya membayangkan kemudian sapi itu penarinya. Bagaimana hewan bereaksi ketika mendengar musik. Ketika saya mainkan musik, sapi malah buang air besar dengan kotoran yang encer. Hal itu membuktikan satu hal, ia stres jika mendengarkan musik. Artinya indera sapi tidak merasa nyaman jika dirangsang oleh sesuatu yang justru sering diasosiasikan membuat manusia nyaman. Saya di situ berhasil dari aspek tontonan, yang visual. Soal mengapa sapi jadi stres saat dengar musik, itu sudah bagian dari eksperimentasi lain.
Industri musik
Lelaki yang lahir di Banjar Kaliungu Kaja, Kota Denpasar, pada 1 Agustus 1953, ini pernah pula memainkan bakiak atau teklek sebagai media bermusiknya. Dalam komposisi berjudul Mulutmu Tong Sampah (1995), itu Sadra ingin menegaskan bahwa bermusik dan menyusun komposisi bisa dilakukan dengan alat-alat yang umum dikenal.
Di tengah jalur bermusik yang populer sekarang ini, di mana Anda menempatkan diri?
Terus kalau begitu apakah saya harus membuat musik yang populis, itu juga kan jadi pertanyaan. Sekarang orang membuat musik melulu memikirkan aspek komersialnya. Bahkan, anak-anak band selalu terobsesi ingin jadi bintang. Pertanyaannya mengapa dari sekian juta orang yang menekuni musik pop, yang jadi bintang atau yang laku cuma satu saja? Harusnya kita berlaku seperti Jimi Hendrix. Dia konsisten menyuarakan suara kemanusiaan dan eksplorasi pada teknologi elektrik. Bahwa musik itu memiliki nilai untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan juga sebagai bahasa untuk berhubungan kebudayaan dan sosial. Tetapi ketika digelar konser rock di Woodstock misalnya, produser lihat penggemarnya banyak, okay mari kita bikin kaset … lalu ada pembeli, harusnya begitu kan urutannya.
Pada kita, sejarah musik populer saja sudah keliru. Saat revolusi industri di Eropa orang jadi punya waktu senggang untuk mendengarkan musik, terutama musik-musik serius. Nah, kita tidak pernah memasuki revolusi industri, banyak orang punya waktu luang, harusnya banyak orang mampu mendengarkan sesuatu yang serius, tetapi kenapa tidak?
Jadi apa yang terjadi pada musik kita sebenarnya?
Musik kita didikte untuk memenuhi selera pasar. Dan, yang paradoks konsumen pun tidak bisa memilih dalam kecenderungan bermusik yang seragam. Itu juga karena pilihan-pilihan tidak diberikan tempat. Musik pop Indonesia tidak ada bedanya dengan musik pop Barat, kecuali bahasanya. Coba simaklah musik The Coors dari Irlandia. Mereka membawakan lagu-lagu tradisional yang bernuansa celtik. Musik mereka ditunjang oleh klub malam, kafe atau tempat hiburan lainnya.
Indonesia dengan tradisi yang lebih kaya, malah musiknya menjadi miskin. Tidak ada yang berani menyajikan musik tradisi. Bagaimana kita bisa bangga dengan musik kita.
Harusnya bagaimana sikap para penekun musik kita?
Kita tidak diberi pilihan. Kalau kita meniru musik Barat, kita tidak akan pernah bisa melampaui mereka. Modal kita sesungguhnya gamelan, kalau kita mau menjadi bagian dari musik dunia.
Meski tak seberapa besar Sadra kini masih menikmati royalti dari musiknya yang direkam dan diedarkan oleh American Gamelan Institut, Broadcasting Music International, Lyricord dan Frog Peak Composer Collective. Sejak usia sangat muda dosen ISI Surakarta yang menjelang kuliah S-3 di ISI Yogyakarta, ini sudah bermain musik. Pada saat kanak-kanak Sadra sudah memukul gamelan di banjar (balai setingkat RW) bersama para orang tua. Setelah tamat sekolah di Kokar (Konservatori Karawitan) Bali, ia mengikuti perjalanan Sardono dalam satu ekspo dagang ke luar negeri. Sepulangnya, Sadra malah memutuskan menetap di Jakarta dengan hidup dari mengajar gamelan Bali.
Televisi
Gejala populis yang ditebar televisi dan membuat penyeragaman terhadap selera bermusik masyarakat, mau tidak mau harus diimbangi dengan budaya tanding. Dalam keseragaman selera semacam itu posisi kesenian menjadi remeh-temeh. Di jalur budaya tanding itulah Sono Seni bekerja tak kenal lelah sejak 10 tahun silam. Sadra tak hanya bersedia berpentas pada festival-festival dengan penonton eksklusif, ia juga tak pernah menolak untuk bermain musik dalam acara-acara resepsi pernikahan. “Bahkan di tepi-tepi jalan pun kami ladeni. Silakan sediakan sound sytem, tanpa dibayar pun saya akan datang dan bermusik,” ujarnya.
Sesungguhnya, menurut Sadra, bukti menunjukkan musik yang ia mainkan sangat mudah diterima. Dalam beberapa pergelaran di kampung-kampung, ketika listrik padam pun, penonton tidak beranjak pulang. Hal yang kemudian membuat seolah-olah musik kontemporer “sulit” diterima penonton, stigmatisasi yang dibuat oleh industri. Bahwa musik kontemporer itu berat, harus didengar dengan kening berkerut, lalu disodorkanlah musik-musik yang seragam lewat televisi. Propaganda itu, kata Sadra, sangat merugikan musik Indonesia. “Itulah sebabnya saya terus melawan dengan menjelajah berbagai kemungkinan bermusik,” tuturnya.
Salah satu perlawanan Sadra terhadap penyeragaman selera itu dengan mementaskan “Borderless”, sebuah musik yang berangkat dari instrumen populer seperti drum, keybord, saksofon, flute, dan bass, tetapi dimainkan dengan cara berbeda. “Alatnya yang sehari-hari dikenal, tetapi kita mainkan dengan cara kita masing-masing. Nyatanya menghasilkan komposisi yang bisa jadi alternatif mendengarkan musik,” katanya.
Di situlah letak ritus musik Sadra. Ia mencipta berdasarkan dorongan estetika untuk mengejar nilai. Bahwa bermusik adalah proses menuju pada yang agung: yakni kedamaian sejati. Bukan sekadar menghibur….
***
Bukan Anak Biasa
Sejak kecil I Wayan Sadra bukan anak biasa. Ia bisa dalam tempo sangat singkat memainkan gamelan hanya dari melihat. Di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, awal tahun 1960-an, Sadra sudah terbiasa mendengar dan melihat warga banjar bermain gamelan. “Kalau cuma begitu cara orang memukul gamelan, saya juga bisa. Saya mulai coba-coba dan bisa,” tutur suami dari Rini Hendrawati (56) dan ayah tiga anak ini.
Pada usia 11 tahun Sadra bahkan sudah melatih sebuah kelompok gamelan di Puri Kendran, Gianyar, Bali. Saat itu ia amat heran terhadap kelambanan para orang tua memukul gamelan. “Saya heran berkali-kali kita ajar, tetap saja melakukan kesalahan teknis dalam cara memukul dan menutup bilah gamelan. Sampai saya berkesimpulan begitu mungkin kalau belajar sudah tua,” katanya.
Sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, Sadra sebenarnya bernama I Wayan Sudra, ia putra bungsu dari delapan bersaudara. “Namun, yang hidup hanya empat. Empat saudara kandung yang meninggal bahkan belum sempat diberi nama,” ujar pemusik yang sejak beberapa tahun terakhir memilih berkepala plontos ini.Ketika masuk SMP, ia sendiri yang mengganti namanya menjadi Sadra. “Soalnya Sudra itu artinya sangat jelata, rakyat kebanyakan yang selalu direndahkan dalam sistem kasta waktu itu. Saya tidak mau diremehkan orang…,” katanya.
Tanda-tanda komponis ini memiliki talenta istimewa makin terlihat ketika ia diminta secara khusus oleh pemimpin STSI Surakarta Gendon S Hoemardani mengajar pada institusi yang baru didirikan itu sekitar awal tahun 1980-an. “Saya menolak karena tak mau meninggalkan Jakarta,” kata Sadra. Padahal, saat di Jakarta sekitar tahun 1970-an, ia “hanya” menjadi pengajar gamelan yang hidup sehari-harinya dijalani di sekitar gamelan. “Saya tidur di samping gamelan,” kenangnya.
Ketika ia memutuskan menerima tawaran mengajar tahun 1983, masalah malah mulai muncul. Sadra tidak memiliki ijazah S-1 sebagaimana persyaratan seorang dosen. Oleh Hoemardani, ia diberi keringanan: kuliah sembari mengajar. “Kalau saya tidak kuliah saya bilang mengajar, kalau tidak mengajar saya bilang kuliah, ha-ha-ha…,” katanya. Pengalaman hidupnya seperti berulang, ketika ia kuliah S-2 di tempat yang sama. “Saya mahasiswa dan orang pertama yang lulus S-2 Penciptaan di kampus saya sendiri,” katanya. Kini ia sedang mempersiapkan diri untuk menempuh pendidikan S-3 di ISI Yogyakarta, meski usianya sudah memasuki 56 tahun.
Kendati dikenal dengan gagasan-gagasan bermusik yang radikal, Sadra tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang dosen, yang harus terus menumbuhkan sikap-sikap akademis di dalam dirinya. “Buat saya sekolah tetap penting, tanpa itu apa yang saya capai dalam musik mungkin sulit saya rumuskan sendiri,” katanya. e-ti
Sumber: Kompas, 13 September 2009 | Penulis: Putu Fajar Arcana-Ninuk M Pambudy