Hidup Bersama Roh Orang Meninggal

Vaksin Rohani
0
8
Promovendus Pdt. Estomihi Hutagalung, MTh (tengah) foto bersama dengan para dosen penguji/pembimbing seusai sidang (3/11/2025) di Gedung Agape UKDW. Di sebelah kanannya: Ketua Sidang: Pdt. Daniel K Listijabudi, PhD; dan Penguji Luar dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Yizak YM Lattu, SSi.Theol, MA, Ph.D. Sebelah kirinya: Penguji 1/Pembimbing 1 Pdt. Prof. Dr (hc) E Gerrit Singgih, PhD; dan Penguji 2/Pembimbing 2 Pdt. Wahyu S Wibowo, MHum, Ph.D
Lama Membaca: 8 menit

Oleh: Pdt. Estomihi Hutagalung (Ringkasan Disertasi)

Berteologi Kontekstual Gereja Methodist Indonesia bagi jemaat Batak Toba Berdasarkan Wesleyan Quadrilateral. Presensi pada Ujian Disertasi Program Doktor Fakultas Teologi UKDW-Jogyakarta, Senin, 03 Nopember 2025

Pergulatan utama disertasi ini dibingkai dalam perjumpaan Gereja Methodist Indonesia dengan keyakinan berelasi dengan roh orang meninggal sebagaimana dipraktekkan anggota jemaat Gereja Methodist Indonesia dari etnik Batak Toba.

Pergulatan dimaksud ditandai adanya ketegangan batin yang dialami anggota jemaat dari Gereja Methodist Indonesia dari etnis Batak Toba dalam mengekspresikan keyakinan kulturalnya sebagai orang Batak Toba dan berusaha setia dalam iman percayanya kepada Yesus.

Bagi masyarakat Batak Toba, praktek berelasi dengan roh orang meninggal merupakan warisan keyakinan yang menubuh dan mendarah daging dari zaman sebelum kekristenan RMG di tanah Batak dan dipraktekkan sampai saaat ini.

Keyakinan ini berakar kuat berdasarkan worldview Batak Toba mengenai teogonik, kosmogonik dan antropogonik. Kehidupan dipahami bersumber dan berada dalam kuasa Mulajadi Nabolon, ilah tertinggi yang memerintah dunia atas (Banua Ginjang), menyatakan diri di dunia tengah (Banua Tonga), dan berkuasa bagi dunia bawah (Banua Toru).

Roh manusia yang diartikan sebagai tondi diberikan Allah sehingga kematian tidak dilihat sebagai akhir, melainkan sebagai peralihan eksistensi. Roh orang meninggal tetap hidup dalam kuasa Ilahi dan terjalin dalam kasih dengan keturunannya.

Maka orang yang hidup selalu menjaga relasi ini karena bagian dari hidupnya. Keyakinan demikian dapat dilihat dalam aspek personal maupun komunal. Dalam aspek personal misalnya berziarah kubur, menatap foto sambil berbicara dengan orang yang meninggal. Dan dalam aspek komunal keyakinan tersebut dilihat melalui ritual adat penggalian tulang belulang misalnya.

Dalam konteks disertasi ini diberi judul ā€œHidup Bersama Roh Orang Meninggal.ā€ Judul ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan komunikasi spiritual dengan roh orang meninggal secara magis, melainkan untuk menegaskan suatu realitas iman dan budaya: bahwa kehidupan manusia Batak Toba dipahami sebagai persekutuan kasih yang tidak berhenti di kubur. Dalam teologi Kristen, pemahaman ini sejajar dengan communio sanctorum — persekutuan orang-orang kudus yang hidup dan mati di dalam Kristus.

Ketika anggota jemaat Batak Toba dari gereja-gereja warisan RMG, banyak berpindah menjadi anggota jemaat Gereja Methodist Indonesia, maka masuk jugalah pengalaman ketegangan batin di gereja asalnya yang mewarisi larangan berelasi dengan roh orang meninggal dalam doktrin RMG.

Maka konflik batin pun berlanjut, karena para pendeta Gereja Methodist Indonesia ternyata tidak mampu memberi pemahaman teologis lalu tidak mampu memberi pendampingan liturgis maupun pastoral.

Advertisement

Ketidakmampuan para pendeta dimaksud berakar dari ketiadaan rumusan doktrin Gereja Methodist Indonesia mengenai posisinya dalam menghadapi keyakinan kultural Batak Toba berdasarkan nilai-nilai Wesleyan di Methodist.

Padahal, dalam tradisi Wesleyan, ada ruang reflektif yang sangat kaya untuk mengenang dan mendoakan orang yang telah meninggal, seperti melalui All Saints’ Day.

Dari sinilah muncul apa yang saya sebut ironi teologis: GMI mewarisi Methodist dari John Wesley, tetapi kehilangan roh reflektif Wesleyan yang menghargai persekutuan kasih lintas kematian.

Peneliti mengasumsikan, jika kondisi ini tidak ditangani dalam konteks menggereja sebagaimana diwariskan John Wesley kepada orang-orang Methodist, maka Gereja Methodist Indonesia akan mengalami stagnasi dan akan kehilangan roh Wesleyan Methodist

Pertanyaan Pokok Disertasi:

Dari uraian masalah mengenai adanya stagnasi dan ironi teologis sebagaimana disebut di atas, disertasi ini mengajukan pertanyaan utama: Bagaimana Gereja Methodist Indonesia (GMI) dapat membangun teologi kontekstual dalam pemahaman hidup bersama roh orang meninggal dalam konteks budaya Batak Toba, tetapi tetap setia pada Injil sekaligus menghargai identitas kultural jemaatnya?

Metodologi Penelitian

Maka untuk menjawab pertanyaan pokok, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naratif yang bersifat deskriptif-interpretatif dan reflektif-teologis yang berfokus pada penafsiran makna, simbol, dan pengalaman jemaat GMI Batak Toba dalam menghadapi kematian serta relasinya dengan roh orang meninggal. Budaya dipahami sebagai locus theologicus—ruang di mana iman Kristen dihidupi dan dimaknai secara kontekstual.

Untuk menjawab pertanyaan utama disertasi ini, maka dibutuhkan metode kerja dengan pengumpulan data.

Responden dipilih secara purposive sampling, yaitu dua janda dan dua duda anggota jemaat Batak Toba dan dua janda pendeta GMI Batak Toba, guna memastikan data yang diperoleh relevan dan mendalam.

Data kualitatif juga diperoleh dari observasi partisipatif, dan studi dokumen teologi Methodist yaitu buku tata ibadah GMI berbahasa Batak Toba dan berbahasa Indonesia serta Buku Nyanyian Rohani Methodist yang warisan Charles Wesley serta teks teologi yang relevan.

Data kuantitatif juga diperoleh berdasarkan penyebaran angket kepada 110 pendeta GMI Batak Toba.

Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yakni reduksi, kategorisasi tematik, dan interpretasi hermeneutik dengan mengintegrasikan ketiga kerangka teoritik tersebut. Hasilnya disajikan dalam bentuk narasi teologis yang memperlihatkan hubungan antara pengalaman budaya dan refleksi iman Kristen. Keabsahan data dijaga melalui triangulasi sumber data wawancara (member checking) data observasi, dokumen teologi, verifikasi teologis Wesleyan dan diskusi dgn PGBT.

Dan kerangka kerja penelitian dilakukan dengan kerangka analisis interdisipliner berlapis.

Lapisan I (Budaya): Hermeneutik Budaya Clifford Geertz dengan konsep thick description digunakan untuk membaca praktik budaya (seperti ziarah makam dan mangongkal holi) sebagai teks simbolik yang mengandung makna religius.

Lapisan II (Teologis): Wesleyan Quadrilateral (Kitab Suci, Tradisi, Akal Budi, dan Pengalaman) berfungsi memvalidasi makna praktek keyakinan Batak Toba dalam terang iman Kristen.

Lapisan III (Sintesis): Model Sintesis Stephen Bevans digunakan untuk mengintegrasikan keyakinan Batak Toba dengan teologi Wesleyan sehingga menghasilan formulasi teologi kontekstual yang dialogis antara Injil dan budaya Batak Toba.

Dengan demikian, metodologi ini dirancang untuk menyingkap kompleksitas spiritual jemaat Batak Toba dan menghasilkan teologi kontekstual yang setia pada Injil sekaligus menghargai budaya.

 

Kebaruan (Novelty) Disertasi

Ada dua kekuatan utama disertasi ini dalam menjawab persoalan kultural dan teologis terkait ketegangan batin jemaat akibat perjumpaan GMI dengan keyakinan Batak Toba.

Kekuatan Pertama: Novelty Teoritik

Kekuatan disertasi ini terletak pada novelty teoritiknya: sejauh penelusuran, belum ada penelitian sistematis di lingkungan akademik GMI yang mempertemukan keyakinan Batak Toba mengenai roh orang meninggal dengan teologi Wesleyan.

Selama ini, studi antropologis/sosiologis selalu memberi kesimpulan bahwa keyakinan berelasi dengan roh orang meninggal merupakan keyakinan kultural yang tak terpisahkan dari keyakinan Batak Toba.

Tetapi studi-studi sosiologis antropologis tersebut berhenti pada kesimpulan tanpa merefleksikannya pada aspek teologis.

Sebaliknya, studi teologi protestan umumnya berpijak pada warisan misi RMG yang bersifat konfrontatif terhadap adat.

Akibatnya, kedua pendekatan berjalan sendiri-sendiri. Disertasi ini hadir untuk menjembatani jurang antara teologi dan budaya, memperlihatkan bahwa dalam dialog tersebut, Injil tidak perlu meniadakan adat, tetapi dapat menjadikan keyakinan kultural Batak Toba sebagai sarana meneguhkan iman jemaat.

Kekuatan Kedua: Novelty Metodologis (Kerangka Epistemik Berlapis)

Guna mewujudkan novelty teoritik, disertasi ini dibangun dalam kerangka epistemik yang berlapis, ini menjadi novelty metodologi epistemic berlapis

Lapis pertama. Memahami Kultur Batak Toba, bukan dengan etik tetapi dengan emis dengan menggunakan teori thick description dari Hermeneutika Budaya Clifford Geertz, studi ini mampu menemukan memahami keaslian keyakinan kultural Batak Toba dimaksud

Lapis kedua. Validasi Teologis: Hasil pembacaan Geertz divalidasi berdasarkan metode berteologi John Wesley dalam Methodist yang disebut Wesleyan Quadrilateral: (1) Apakah keyakinan ini dibenarkan secara Alkitab? (2) Apakah sesuai tradisi gereja (Bapa Gereja Mula-mula)? (3) Apakah masuk akal (Akal Budi)? (4) Apakah berdasar pengalaman orang-orang percaya? Validasi ini akan menemukan aspek titik temu dan titik tengkar keyakinan.

Lapis ketiga. Sintesis Kontekstual: Menggunakan Model Sintesis Stephen Bevans, studi ini mensintesis titik temu sebagai sarana memperkaya dan memperteguh iman, sementara bagian yang menjadi titik tengkar akan ditransformasi guna memberi jalan keluar teologis yang konstruktif.

 

Temuan Utama

Dengan menggunakan kerangka epistemic berlapis ditemukan bahwa maka hasil validasi Wesleyan quadrilateral terhadap keyakinan Batak Toba dapat diterima berdasarkan:

Alkitab sebagai sumber utama dan prinsip utama:

Bahwa pemaknaan terhadap kitab Keluaran 12: 14 yang berbunyi, ā€œHari ini menjadi hari PERINGATAN bagi kamu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN, sebagai ketetapan untuk selamanya.

Penelitian ini menemukan kata peringatan, ingatan berasal dari kata zikkaron, zakar yang berarti dalam ibadah paskah Yahudi, umat Tuhan berdoa, memohon agar TUHAN mengingat dan dengan kuasa-Nya menghadirkan kembali peristiwa penyelamatan dari Mesir sehingga umat yang merayakan Paskah dapat menyatu dan berada dalam barisan perarakan leluhur Israel yang keluar dan diselamatkan dari perbudakan di Mesir.

Demikian juga dengan teks 1 Korintus 15 mengenai Paskah dalam kuasa Allah yang membangkitkan Yesus dari kematian dapat menjadi penerimaan keyakinan Batak Toba. Bahwa kebangkitan Yesus dari kematian menjadi dasar pengharapan dan keyakinan akan adanya kebangkitan orang yang mati dan dipersatukan Allah dalam persekutuan orang-orang kudus.

Allah yang berada di dunia atas, menjadi manusia di dunia tengah lalu mati dan dikuburkan ke dalam dunia bawah tetapi dibangkitkan Allah mengalahkan kuasa kematian, kuasa dunia bawah.

Paskah menjadi dasar penerimaan bagi keyakinan ritual adat Batak Toba akan adanya kebangkitan dan persekutuan orang kudus.

Bahwa Allah di dunia atas, menjadi manusia di dunia tengah lalu mati dan dikuburkan ke dalam dunia bawah tetapi dibangkitkan Allah mengalahkan kuasa kematian, kuasa dunia bawah.

Pada Paskah zikkaron & askah Yesus, maka kematian dan roh orang meninggal tidak lagi ditakuti, disembah (Batak Toba) tetapi dimaknai transformatif sehingga dalam ibadah zikkaron orang meninggal dikenang secara pribadi atau ibadah adat penggalian tulang belulang.

Praktek berelasi demikian bukan suatu usaha kontak langsung dengan roh orang meninggal tetapi pemaknaan liturgis teologis kuasa Allah sehingga kehidupan dari orang yang meninggal di masa hidupnya diyakini dapat memberi dampak positif bagi orang yang hidup (sebagaimana doa pengebumian tata ibadah Bahasa Batak Toba).

Dalam pemahaman demikianlah, judul disertasi ini dimaknai secara antropologis teologis bagi GMI berdasarkan Wesleyan quadrilateral.

Dengan keyakinan demikian, apa yang dialami anggota jemaat sebagaimana dalam wawancara, yang berelasi dengan orang yang meninggal ketika berbicara dengan foto orang meninggal maupun hasil observasi mengenai praktek penggalian tulang belulang yang menunjukkan adanya praktek berelasi dengan roh orang meninggal dapat diterima secara liturgis teologis.

Dasar Alkitab sebagai hasil validasi Wesleyan quadrilateral demikian menjadi dasar bagi GMI untuk menetapkan rumusan doktrin teologi GMI dalam menghadapi keyakinan kultural Batak Toba. Ini jawaban terhadap kemiskinan teologi dan miskin berteologi GMI berdasarkan angket bahwa 83,64% para Pendeta etnis Batak Toba tidak tahu ajaran mendoakan orang meninggal dalam ibadah Alla Saints Day.

Dasar Alkitab ini juga menjadi dasar untuk penetapan Liturgi Peringatan Orang Meninggal, dengan menggacu pada penetapan Wesley bagi orang Methodist mengenai ibadah All Saints Day sebagaimana ditetapkan The United Methodist Church sebagai induk Gereja Methodist sedunia.

Pada ibadah ini Pendeta memohon agar Allah zikkaron, mengingat orang yang meninggal dengan menyebutkan nama orang meninggal, menyalakan lilin simbol terang kebangkitan paskah, mendoakan pergulatan kehidupan orang yang meninggal di masa hidupnya sehingga dapat menjadi dampak positif bagi keluarganya.

Para pendeta GMI Batak Toba tidak lagi merasa bersalah dan sudah mampu memberi jawaban terhadap kebutuhan anggota jemaat mengenai pengarahan tangan pendeta ke wajah orang meninggal pada ibadah penutupan peti jenzah sebagai tanda penghiburan bagi keluarganya bahwa roh yang meninggal dalam kuasa Allah sebagaimana ditetapkan The United Methodist Church, sebagai induk seluruh gereja Methodist sedunia.

Para pendeta GMI Batak Toba, tidak merasa bersalah dan mampu memberi jawaban terhadap JGBT mengenai penyebutan nama orang yang meninggal (65,46% setuju dan 18,19% tidak seuju) dalam ibadah pengebumian, dalam ziarah, sebagaimana ditetapkan The United Methodist Church, sebagai induk seluruh gereja Methodist sedunia bahwa nama adalah nama sakamen dalam baptisan.

Dasar teologis demikian juga menjadi dasar pemahaman bagi para Pendeta GMI Batak Toba untuk memberi pendampingan pastoral bagi anggota jemaat Batak Toba sehingga tidak menyembah roh orang meninggal tetapi meyakini kuasa Allah yang menyatukan dalam persekutun orang kudus dan memberi keyakinan pengharapan kebangkitan melalui liturgi penggalian tulang belulang.

Pemahaman demikian dapat diterima dan sesuai hasil angket yang diberikan kepada para pendeta GMI etnik Batak Toba, terdapat 48,19% setuju mengenai praktek penggalian tulang belulang dan 42,72% tidak setuju. Ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk menerima praktek adat penggalian tulang belulang.

Demikian juga dengan hasil angket mengenai praktek berziarah terdapat 50,00% setuju mengenai praktek berziarah dan 40,74% tidak setuju mengenai praktek berziarah. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan menerima praktek berziarah.

KESIMPULAN

  • Berdasarkan hermenutik budaya, validasi teologis dengan dan sintesis Stephen Bevans, maka disertasi ini telah menjawab pertanyaan pokok disertasi ini:
  • Bagaimana Gereja Methodist Indonesia (GMI) dapat membangun teologi kontekstual dalam pemahaman hidup bersama roh orang meninggal dalam konteks budaya Batak Toba, tetapi tetap setia pada Injil sekaligus menghargai identitas kultural jemaatnya?
  • Disertasi ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar bagi GMI dalam merumuskan doktrin teologinya mengenai posisi GMI terhadap keyakinan Batak Toba.
  • Disertasi ini juga berkontribusi untuk memberi jawaban terhadap kegelisahan jemaat mengenai keyakinan mengenai berelasi dengan roh orang meninggal melalui ibadah Peringatan Orang Meninggal.
  • Disertasi ini juga telah berkontribusi bagi kajian teologi kontekstual dan telah menjawab dan memberi jalan keluar terhadap ketegangan teologi dan kultural bagi gereja yang selama ini berada dalam posisi dilematik dalam menghadapi keyakinan praktek berelasi dengan roh orang meninggal.

Terimakasih

 

Catatan Redaksi

Sidang Disertasi Hidup Bersama Roh Orang MeninggalĀ (Berteologi Kontekstual GMI Bagi Jemaat Batak Toba Berdasarkan Wesleyan Quadrilateral) oleh Pdt. Estomihi Hutagalung, MTh

Ketua Sidang: Pdt. Daniel K Listijabudi, PhD

Penguji 1/Pembimbing 1:Ā Pdt. Prof. Dr (hc) E Gerrit Singgih, PhD

Penguji 2/Pembimbing 2:Ā Pdt. Wahyu S Wibowo, MHum, Ph.D

Penguji Luar dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga:Ā Yizak YM Lattu, SSi.Theol, MA, Ph.D

Promovendus berhasil mempertahankan disertasinya dengan hasil sangat memuaskan. Sidang disertasi tersebut berlangsung Senin, 3 November 2025, mulai jam 12.30 sd 15.30 di Ruang Sidang, Lantai 4 Gedung Agape, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini