Batak dalam Proses Berpikir, Belajar dan Berkarsa Besar
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (11)

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (11)
Selain itu, strategi kebudayaan itu menuntut kebutuhan mendesak untuk berpikir besar dan di luar kotak serta belajar (kontemplasi) tentang kebenaran dan mencapainya dengan/dalam karsa buddhayah besar. Serta bagaimana strategi naratif dapat menjadi alat yang ampuh untuk menghadapi segala tantangan dengan menggunakan perubahan naratif untuk membentuk, tidak hanya bereaksi: transformatif dan futiristik.
Dalam konteks ini, frame dan narasi strategi kebudayaan Batak dalam buku ini, hanyalah sebuah pengantar, yang merangsang dan membutuhkan kolaborasi masif, bekerja bersama dalam perubahan narasi budaya, seni, komunikasi strategis, dan berbagai segi kehidupan lainnya, dari lebih banyak kolaborator, keterampilan, keahlian, seniman dan lembaga adat-agama-pendidikan, pemerintah, dls, untuk berinovasi dan belajar raksasa bersama satu sama lain.
Berpikir besar dan di luar kotak tentang kebenaran dan mencapai tujuannya, secara kolaboratif. Itu bermakna selain berada dalam suatu sistem kolaborasi, juga yang terutama berada dalam suatu sistem tata nilai dasar, tata nilai filosofis kebatakan dengan narasi futuristik: menginterpretasi masa lalu, memahami masa kini dan menjemput (visi) masa depan. Sistem tata nilai dasar itulah roh (tondi) yang menggerakkan Hita (kolaborasi intersubjektif darah Batak murni), baik secara pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok dan secara keseluruhan, baik dalam kegiatan formal maupun informal, dalam saluhut panggulmiton ni hangoluan (seluruh denyut kehidupan).
Emmanuel Mounier (1948) menyebut sistem adalah semacam faktor ketiga abstrak yang ditempatkan antara filsuf yang ada dan makhluk yang ada. Sistem bukanlah makhluk atau bahkan ucapan. “Filsafat tidak terdiri dari mempertahankan dalam pidato-pidato fantastis kepada makhluk-makhluk fantastis; tetapi kepada eksistensi Anda harus berbicara.” Dan itu harus selalu ada yang berbicara. Menurutnya, di sinilah letak kelalaian yang luar biasa, dosa asal, dari Rasionalisme. Ia telah melupakan bahwa pikiran sadar adalah pikiran yang ada, dan memang demikian, bukan karena beberapa logika yang melekat, tetapi karena tekad pribadi dan kreatif.[1]
Sistem tidak mencari kebenaran yang secara universal impersonal dan tidak mengesankan, tetapi, dalam terang universalitas nyata yang tidak diragukan lagi, dia mencari kebenarannya, kebenaran yang sesuai dengan aspirasinya, memahkotai usahanya dan meluruskan masalahnya. Menurut Emmanuel Mounier, sifat kebenaran yang saling melengkapi (tetapi tidak menyita) ini, yang sangat ditekankan oleh Jaspers, kita lihat terungkap dan ditegakkan dalam karya-karya Scheler dan Blondel dengan intensitas yang lebih tenang, intensitas pemahaman, dan, dengan apa yang disebut kebijaksanaan edukatif.[2]
Emmanuel Mounier menyebut eksistensialisme cenderung hampir sampai pada titik mempertahankan bahwa yang terpenting bukanlah kebenaran melainkan sikap terhadap kebenaran orang yang telah memperoleh pengetahuan. Mounier menyebut: “Tiga atau empat kali, Kierkegaard dan Jaspers menekankan metode menemukan jalan ini. Bagaimanapun, tanpa sikap batiniah, pengetahuan diperoleh dengan sia-sia; itu dimatikan melalui kesadaran itu sendiri.”[3]
Kebijakan edukatif, belajar raksasa, berpikir raksasa, berkarsa buddhayah raksasa, dan berdoa raksasa, untuk eksistensi Hita Batak; Bukan belajar aksesori, berpikir aksesori, berkarsa aksesori, dan berdoa aksesori. Walaupun mungkin aksesoris itu indah dan diinginkan, namun hal itu menandakan kita tengah tidak melakukan apa-apa dan terlena dalam ‘tali celana’ Si Bontar Mata yang telah diikatkan di kepala kita, berwajah modernisasi miskin nilai budaya dan spiritual. Seperti narasi seorang misionaris tentang kemajuan yang dialami orang Batak karena sudah memakai minyak rambut dan topi ala Barat, yang mendapat kritik pedas dari M. Joustra ‘arsiparus’ Het Bataksch Instituut, menyebutnya karikatur cerdas tapi dangkal yang mengundang ejekan.[4].
Emmanuel Mounier mengilustrasikan, orang Kristen yang membayangkan dia sedang berdoa kepada Tuhan, tetapi sebenarnya hanya memohon aksesori untuk hawa nafsu atau keinginan khusus sendiri sebenarnya tidak berdoa kepada Tuhan, tetapi kepada berhala, dan, lebih tepatnya, dia tidak berdoa sama sekali. Hal yang sama berlaku bagi siapa saja yang berpikir hanya melalui keinginannya atau melalui mesin ide-idenya. Socrates, di sisi lain, memutuskan tentang keabadian dengan reservasi, tetapi, dengan reservasi ini, dia menikmati hidupnya.[5]
Sebelumnya 10 || Bersambung 12
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Mounier, Emmanuel, 1948: p.9.
[2] Mounier, Emmanuel, 1948: p.9.
[3] Mounier, Emmanuel, 1948: p.12.
[4] Joustra, M., 1917: De toestanden in Tapanoeli en de Regeeringscommissie, Uitgaven van het Bataksch Instituut. No. 13, Amsterdam: M. Schooneveld & Zoon, b.10-11.
[5] Mounier, Emmanuel, 1948: p.12.