Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (1)

Hari Pahlawan Nasional Si Singamangaraja XII Ke-118

0
19
Misionaris mendesak kolonialis Belanda untuk segera memerangi dan menguasai Tanah Batak Merdeka (De Onafhankelijke Bataklanden)
Lama Membaca: 7 menit

Doktrin Perang yang Adil: Injil Terdistorsi      

Sangat ironis! Bagaimana sikap IL. Nommensen dan para misionaris lainnya ‘menolak’ Si Singamangaraja XI dan XII untuk menerima Injil, setidak-tidaknya menjauhkan Si Singamangaraja dari Injil, dan bahkan diwarnai penistaan dan pembunuhan karakter Batak oleh pengaruh kepentingan imperialis dan kolonialis (dunia kegelapan). Inilah salah satu misteri kristenisasi berkekuatan nabi (berkekuatan Taurat, Injil terdistorsi) di Tanah Batak!

Pilihan strategis Misionaris IL. Nommensen dan beberapa orang misionaris lainnya untuk mempercepat misi kristenisasi orang Batak adalah Heilige Oorlog (Heilige Krieg); dengan mengajak, mendesak dan mendampingi kolonialis Belanda untuk segera memerangi dan menguasai Tanah Batak Merdeka (De Onafhankelijke Bataklanden). Kata Nommensen dalam Majalah Berichte der RMG 1878 (12): “Kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya”.[1] Padahal sebelumnya (1857-1877) sudah lebih duaribuan orang Batak dibabtis dan ribuan lagi sedang mengikuti penginjilan untuk dibabtis, dengan Evangelisasi bukan Kristenisasi, antara lain, sebagaimana tercermin dari pemaparan guru besar misi Dr. Gustav Rudolf Warneck (1873) dalam Nacht en morgen op Sumatra: Schetsen en Verhalen uit de Vestiging van Gods Koninkrijk Onder de Batta’s (Malam dan Pagi di Sumatera: Sketsa dan Kisah Berdirinya Kerajaan Tuhan di Kalangan Batak).

Tetapi kemudian terjadilah penyimpangan pekabaran Injil berkekuatan nabi atau berparadigma Taurat (pendistorsian Injil) di Tanah Batak yang justru sangat bertentangan dengan ajaran Kristus. Leo (Lyof) N. Tolstoi, seorang novelis cendekia dan filsuf Rusia yang pada tahun 1883 menulis buku What I Believe untuk menegaskan imannya, lalu tahun 1893 menulis Kingdom of God is Within You, Christianity not as a mystic religion but as a new theory of life (Kerajaan Allah Ada di dalam Dirimu, Kekristenan bukan sebagai agama mistik tetapi sebagai teori kehidupan yang baru); Menunjukkan banyak doktrin Gereja yang gagal dari ajaran Kristus, terutama tidak adanya perintah untuk melawan kejahatan dengan kekerasan.[2]

Tolstoi menegaskan dalam serangkaian argumen dan teks yang menunjukkan bahwa perang — yaitu, melukai dan membunuh manusia — tidak sejalan dengan agama yang didirikan atas dasar perdamaian dan niat baik terhadap manusia. “Ajaran Kristus, yang diketahui oleh manusia, bukan melalui kekerasan dan pedang, tetapi melalui non-perlawanan terhadap kejahat­an; kelemahlembutan dan kedamaian, hanya dapat disebarkan ke seluruh dunia dengan teladan perdamaian, harmoni, dan cinta di antara para pengikutnya,“ Tolstoi mengutip para Quaker Amerika yang mengiriminya surat dan buku-buku,  sebagai respon atas bukunya What I Believe, yang dari mana dia mengaku belajar bagaimana mereka, bertahun-tahun lalu, menetapkan tanpa keraguan kewajiban bagi seorang Kristen untuk memenuhi perintah non-perlawanan terhadap kejahatan dengan kekerasan, dan telah mengungkap kesalahan ajaran Gereja dalam mengizinkan perang dan hukuman mati.[3]

Pernyataan Tolstoi tersebut ditimpali oleh Mahatma Gandhi yang ‘bersahabat’ dan beberapa kali menerima surat dari Tolstoi;[4] Gandhi dalam “Hind Swaraj” menyebut beberapa dokumen yang tidak dapat diganggu-gugat menunjukkan bahwa Eropa sendiri telah menelusuri darah kehidupan ras-ras yang tertindas dan dirusak atas nama prinsip-prinsip kebohongan dan, di atas segalanya, dalam penyingkapan yang kurang ajar tentang kebohongan, keserakahan, dan keganasan Eropa seperti yang terungkap selama perang terakhir, yang disebut “Perang untuk Peradaban”. Perang terakhir telah menunjukkan bahwa tidak ada yang lain yang memiliki sifat setan dari peradaban yang mendominasi Eropa saat ini (1914-1920). Setiap norma moralitas publik telah dilanggar oleh para pemenang atas nama kebajikan. Tidak ada kebohongan yang dianggap terlalu busuk untuk diucapkan. Motif di balik setiap kejahatan bukanlah aga­ma atau spiritual tetapi sangat material … Eropa saat ini hanya secara nominal Kristen. Pada kenyataannya, ia menyembah Mammon.“[5]

Pada saat Leo Tolstoi dan Mahatma Gandhi menulis hal itu, para misionaris Jerman tengah sibuk melakukan kristenisasi di Tanah Batak berkolaborasi dengan kolonialis Belanda; Sebagaimana disebut Dr. Solf dalam Reichstag: “Kolonisieren ist Missionieren” umkehren in “Missionieren ist Kolonisieren” (Kolonisasi adalah Misionisasi” sebaliknya “Misionisasi adalah Kolonisasi”.[6] Juga, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab Delapan: khususnya Perang Batak II bahwa sikap Nommensen dan beberapa misionaris Jerman lainnya, sangat terpengaruh dari kondisi di negerinya (Jerman) sebagaimana digambarkan oleh Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1915) “De Heilige Oorlog Made in Germany” , tentang kebijakan perang suci Kristen Jerman menghadapi perang suci Islam Turki.[7]

Bahkan jauh sebelum itu, sebagaimana dipaparkan Charles Kimball (2008) dalam When Religion Becomes Evil (Ketika Agama Menjadi Jahat) bagian Declaring Holy War (Deklarasi Perang Suci) bahwa sudah sejak Konstantinus pada awal abad keempat terjadi penyimpangan Kristen dari amanat Kristus. Charles Kimball menyebut survei tentang sejarah Kristen meng­ungkapkan tiga sikap dan pendekatan yang berbeda terhadap perang dan perdamaian (Kristen) yaitu: (1) pasifisme, disimpangkan dengan (2) doktrin perang yang adil (perang suci), dan (3) Perang Salib.[8]

Charles Kimball menegaskan sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengikut Yesus adalah pasifis selama tiga abad pertama. Banyak pemimpin dan dokumen gereja mula-mula menggarisbawahi komitmen teguh terhadap non-kekerasan. Agama Kristen dan perang tidak sejalan. Ketika itu umat Kristen justru dituduh merusak Kekaisaran Romawi karena menolak dinas militer dan jabatan publik: mereka menjawab bahwa kehidupan manusia itu suci, bahwa mereka suci dan diabdikan kepada perdamaian, bahwa Tuhan melarang pembunuhan bahkan dengan alasan yang adil, tanpa kecuali, bahwa senjata orang Kristen adalah doa, keadilan dan penderitaan.[9]

Kemudian, titik balik utama dalam sejarah gereja datang de­ngan kebangkitan Konstantinus pada awal abad keempat dalam kepemimpinan di Kekaisaran Romawi; Konstantin memenangkan pertempuran yang menentukan sehari setelah dilaporkan memiliki visi salib putih dengan tulisan Yunani “Dalam tanda ini (Salib) Anda akan menaklukkan”. Di bawah bayang-bayang dua gelombang terburuk dari penganiayaan pemerintah Romawi, agama Kristen tiba-tiba menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Perubahan dramatis terjadi selama dua dekade selama Konstantinus mampu mengonsolidasikan pemerintahannya.

Ketika agama dikaitkan dengan kekuasaan negara, keadaan terbalik. Ancaman terhadap negara menjadi ancaman bagi gereja. Tradisi pasifis tidak hilang, tetapi sebagian besar ditekan karena sebagian besar pemimpin gereja berusaha mendefinisikan kembali peran dan tanggung jawab orang Kristen di dalam negara. Kemudian di abad keempat, Ambrosius melengkapi dan mengembangkannya menjadi doktrin Kristen tentang perang yang adil: pelaksanaan perang harus adil. Charles Kimball  mengutip sejarawan Roland Bainton yang meringkas pandangan Agustinus tentang perang yang adil sebagai berikut:

Advertisement

“Tujuan perang harus adil – yaitu memulihkan perdamaian. . . . Perang-perang tersebut dapat diartikan sebagai luka balas dendam. . . . Perang harus tepat dalam wataknya, yaitu kasih Kristen. . . . Cinta tidak menghalangi keparahan kebajikan, atau koreksi yang didiktekan oleh belas kasih itu sendiri. . . . Perang harus dilancarkan hanya di bawah otoritas penguasa. . . . Pelaksanaan perang harus adil. . . . Iman harus dipegang dengan musuh. Seharusnya tidak ada kekerasan yang sembrono, penodaan kuil, penjarahan, pembantaian, atau pembakaran. Pembalasan, kekejaman, dan pembalasan dikecu­alikan, meskipun penyergapan diizinkan”.[10]

Saat itu, agama Kristen mulai memasuki abad kegelapan. Charles Kimball memaparkan: “Selama berabad-abad, Eropa dilanda perang besar dan konflik lokal. Kadang-kadang orang benar-benar membalikkan pemahaman dan praktik gereja mula-mula, seperti yang dilakukan Clovis, pahlawan militer kaum Frank, yang berkata tentang penyaliban Yesus, “Jika saya dan kaum Frank saya ada di sana, itu tidak akan pernah terjadi!” Clovis dan kaum Frank melanjutkan aktivitas kejam mereka setelah pertobatan mereka menjadi Kristen. Banyak contoh dari Kekristenan militan sejak saat itu: Salah satu puisi Jerman tertua yang diketahui sebenarnya memuji Petrus karena menghunus pedang untuk membela Yesus di Getsemani. … Banyak pendeta terlibat dalam pertempuran.”[11]

Kemudian, berlanjut Perang Salib selama berabad-abad ketika perilaku banyak orang Kristen semakin jauh disingkirkan dari ajaran dan teladan Yesus. Pada Maret 1095, Paus Urbanus II menerima permohonan dari Alexius untuk meminta bantuan menghadapi (reaksi) orang-orang Turki, yang berada dalam jarak yang sangat dekat dari ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Seruan ini memicu serangkaian peristiwa yang mengarah ke Perang Salib pertama. Pada akhir November tahun itu, pada sebuah pertemuan di Clermont, Prancis, paus menyampaikan khotbah yang berapi-api di mana ia meminta kaum Frank untuk berbaris ke Timur untuk dua tujuan membantu Bizantium mengusir Turki dan membebaskan Yerusalem dari Muslim.

“Dengan sedikit persiapan atau perbekalan yang memadai, banyak orang mulai berbaris menuju Yerusalem di bawah panji salib. Sejak awal perang salib ini, semangat  benar-benar memicu perilaku yang mengerikan. Sebelum meninggalkan Jerman, beberapa tentara salib membantai sejumlah besar orang Yahudi, yang mereka anggap juga musuh Kristus. Tentara Salib sering kembali ke kamp dengan membawa kepala Muslim dengan tombak atau memaksa tahanan untuk membawa kepala rekan mereka dengan tombak. Kebiadaban berlangsung lebih jauh, menjadi kanibalisme, saat tentara salib mendekati Antiokhia. Saksi mata termasuk Fletcher dari Chartres, yang “menutup diri” saat dia melaporkan tentang tentara salib yang mengonsumsi Saracen, dan Radulf dari Caen, yang menggambarkan bagaimana “pasukan kami merebus orang dewasa pagan dalam panci masak. Mereka menusuk anak-anak dan melahapnya dengan panggang. “ Di sepanjang rute menuju Yerusalem, tentara salib meneror dan membantai orang Yahudi dan banyak orang Kristen Ortodoks juga.”[12]

Charles Kimball menarasikan: “Hampir sebelas ratus tahun setelah Yesus secara eksplisit menolak penggunaan pedang dalam pembelaannya sendiri dan memperingatkan “semua yang mengambil pedang akan binasa oleh pedang,” pejuang suci fanatik mengarungi jalan-jalan yang berlumuran darah, melangkahi bagian tubuh yang terpotong-potong, dan berjalan melewati sisa-sisa Sinagoga Agung yang hangus untuk bersukacita dan bernyanyi di situs tradisional pemakaman Yesus. Mereka yang menggunakan kekerasan ekstrem untuk memajukan kerajaan Kristus memahami tindakan mereka dalam istilah “perang suci”. Konsekuensi mengerikan dihasilkan dari konvergensi kepemimpinan otoritatif dan karismatik; klaim kebenaran mutlak; dan tujuan yang menghalalkan segala cara.”[13]

Seorang biarawan bernama Gratianus dikreditkan dengan memperkenalkan konsep perang yang adil ke dalam wacana hukum selama pertengahan abad kedua belas. Yang kemudian dikembangkan menjadi kriteria dan sifat perang serta status kombatan pada abad keenam belas. Ada empat kriteria dasar: (i) harus diumumkan oleh otoritas yang sah; (ii) penyebabnya harus adil; (iii) pihak yang berperang harus memiliki niat yang benar, untuk memajukan kebaikan atau menghindari kejahatan; (iv) perang harus dilakukan dengan cara yang tepat. Kriteria tambahan terkadang ditemukan: (v) tindakan harus melawan pihak yang bersalah; (vi) yang tidak bersalah seharusnya tidak menderita; (vii) perang harus dilakukan sebagai upaya terakhir; (viii) harus ada peluang sukses yang masuk akal.[14]

Sejarawan John Ferguson menunjukkan bahwa doktrin ini berfungsi untuk mendukung mereka yang berada dalam posisi kekuasaan duniawi dan gerejawi. Juga tidak ada cara efektif untuk menentukan apakah perang itu adil atau tidak; Doktrin tersebut juga tidak memiliki hubungan yang jelas dengan iman Kristen. Di samping itu, selama berabad-abad ada argumen bahwa penyembah berhala, bidah, dan kafir adalah orang-orang yang secara efektif menentang hukum Allah.[15] Mereka adalah orang-orang yang bersalah dan harus dihukum. Dalil yang mereka gunakan juga di Tanah Batak.

Perang Salib mewakili jenis respons ketiga terhadap perang dan perdamaian di antara orang-orang Kristen, bergabung dengan perang yang adil dan tradisi pasifis yang tetap berlangsung. Doktrin perang yang adil berkembang antara abad keempat dan ketujuh belas, dan terus memberikan dasar bagi tanggapan beberapa orang Kristen terhadap legitimasi perang.[16] Situasi di Eropa tentang semangat Perang Salib dan Jerman (De Heilige Oorlog Made in Germany) serta kriteria perang yang adil tersebut tampaknya menginspirasi Nommensen ketika memilih Perang Suci sebagai langkah terbaik Kristenisasi Tanah Batak. (Bersambung)

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy Jilid 3 Bab 11.3.1, Hlm. 1928-1933.

Footnotes:

[1] BRMG 1878 (12), p. 367.

[2] Tolstoi, Leo, N., 1894: Kingdom of God is Within You, Christianity not as a mystic religion but as a new theory of life; Translated From The Russian of Count Leo Tolstoi By Constance Garnett; New York: The Cassell Publishing Co., p.vii.

[3] Tolstoi, Leo, N., 1894, p.1-2.

[4] Sebagaimana disebut Romain Rolland (1924) dalam Mahatma Gandhi, the man who became one with the universal being (Mahatma Gandhi, pria yang menjadi satu dengan makhluk universal) bahwa detak jantung evangelis Gandhi yang hebat di bawah kredo Hindu-nya; Gandhi adalah seorang Tolstoi dalam hal yang lebih lembut, tenang, dan dalam pengertian yang lebih Kristen. Kemiripan antara kedua pria itu paling besar, atau mungkin pengaruh Tolstoi yang paling kuat, dalam kecaman mereka terhadap peradaban Eropa dan Barat. Rolland, Romain, 1924: Mahatma Gandhi, the man who became one with the universal being, Translated By Catherine D. Groth; New York & London: The Century Co, p.49-50.

[5]Rolland, Romain, 1924, p.50-51.

[6] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): Verbrechen im Namen Christi Mission und Kolonialismus, s.224.

[7] Hurgronje, C. Snouck, Dr., 1915.

[8] Kimball, Charles, 2008: When Religion Becomes Evil, Winston-Salem: HarperCollins e-books, p.169.

[9] Kimball, Charles, 2008, p.170.

[10] Kimball, Charles, 2008, p.171.

[11]  Kimball, Charles, 2008, p.171.

[12] Kimball, Charles, 2008, p.173-175.

[13] Kimball, Charles, 2008, p.173-176.

[14] Kimball, Charles, 2008, p.172.

[15] Kimball, Charles, 2008, p.173.

[16] Kimball, Charles, 2008, p.176.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments