Kedalaman Religiusitas Hita Batak Lebih dari Orang Barat
Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (9)

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (9)
Secara umum, sesungguhnya, kedalaman religius-spiritual (religiusitas) orang Batak, tidak lebih rendah dari orang Barat (Jerman-Belanda), bahkan dapat diyakini bahwa kedalaman religiusitas orang Batak, seperti orang Timur lainnya, jauh di atas umumnya orang Barat. Dalam konteks ini, kedalaman religiusitas Si Singamangaraja, sebagai Raja Imam Batak, tidak mustahil jauh lebih dalam dari para misionaris. Terlepas secara teologis, siapa Debata yang disembahnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Leo N. Tolstoi (1902) dalam What is Religion?: “Bangsa-bangsa Kristen telah menaklukkan dan menundukkan Indian Amerika, Hindu, Afrika, sekarang menaklukkan dan menundukkan Cina (pen, dan Batak), dan mereka bangga akan hal ini. Tetapi penaklukan dan penundukkan ini terjadi bukan karena negara-negara Kristen Barat lebih unggul secara spiritual (rohani) daripada yang ditaklukkan, tetapi sebaliknya karena secara spiritual mereka jauh lebih rendah.[1]
Tolstoi menegaskan: “Sekarang terjadi di negara-negara Kristen. Mereka semua bersatu sebagai satu kelompok perampok federasi di mana pencurian, penjarahan, kebobrokan, pembunuhan individu dan massa dilakukan tidak hanya tanpa hati nurani yang paling tidak bergetar tetapi dengan kepuasan diri yang paling besar, seperti yang terjadi di China tempo hari. Beberapa tidak percaya (agama) apa pun, dan bangga karenanya; yang lain mensimulasikan keyakinan (agama) untuk keuntungan mereka sendiri, mereka tanamkan kepada orang-orang dengan dalih iman; yang lain lagi – mayoritas besar, seluruh rakyat – menerima sugesti hipnotis yang menjadi sasaran mereka sebagai keyakinan (agama), dan dengan patuh tunduk pada semua yang diminta dari mereka oleh para pemberi saran yang berkuasa, yang mereka sendiri tidak percaya pada apa pun”.[2]
Tetapi justru orang-orang Si Bontar Mata itu merasa lebih superior dalam segala hal, termasuk dalam kedalaman spiritual. Menurut Gert von Paczensky, sejak awal, para misionaris, baik pria maupun wanita, memiliki perasaan superioritas yang sama ketika mereka melihat “orang yang dianggap kafir”. Dia tidak peduli betapa sulitnya pesannya untuk dipahami, sehingga dia hampir tidak mengerti. Itu hanya bisa karena yang lain dianggap sangat bodoh. Gert von Paczensky menyebut:
“Orang-orang Kristen terlibat dalam kolonialisme, bahkan dalam manifestasi terburuknya; mereka disebut misionaris. Mereka, yang pergi keluar untuk menyelamatkan orang dari kesulitan spiritual, moral dan penindasan melalui konversi ke agama Kristen, telah memainkan peran penting dalam penindasan dan pemiskinan negara-negara dan benua-benua yang telah diambil oleh Eropa dan Amerika Utara; negara-negara ini dan orang-orangnya membentuk Dunia Ketiga dan Keempat hari ini, tidak lain adalah peningkatan kemalangan. Mungkin itulah alasan mengapa tidak ada “sejarah misi Kristen yang jujur dan tidak dipernis”. Siapa pun yang menulisnya harus menulis sejarah kolonialisme, meskipun terbatas pada hal-hal mendasar; itu juga cukup menyedihkan”.[3]
Selanjutnya Paczensky menyebut:
“Mereka memang memiliki keyakinan, adat istiadat, dan tradisi mereka sendiri, dan hari ini para psikolog akan memberi tahu kita seberapa hati-hati kita untuk membicarakannya. Pada waktu itu, para misionaris, terlepas dari asal-usul kebangsaan mereka dan latar belakang pendidikan mereka (sebagian besar moderat), tidak menemukan apa pun yang telah dipelajari dan dianggap oleh para penyembah berhala itu benar. Ide-ide mereka harus dihancurkan secepat mungkin dengan tunggul dan tiang, hanya dengan begitu mereka memiliki kesempatan untuk diselamatkan. Diselamatkan untuk Kekristenan. Sebagai hasil dari proses brutal – dan ini adalah satu-satunya aspek positif – penyebaran agama Kristen, setidaknya karakter Eropa-nya, tanpa sengaja dibatasi oleh para misionaris itu sendiri. Lagi pula, kerusakan pada masyarakat tempat para misionaris bekerja hanya dibatasi oleh kegagalan untuk mencapai kesuksesan besar yang diinginkan. Sampai pada akhirnya mereka tidak dapat melihat bahwa pesan yang mereka khotbahkan terlalu aneh bagi para pendengar dari budaya yang sama sekali berbeda untuk dapat dipercaya segera”. [4]
Ya, itu adalah pandangan Gert Franz-Joseph von Paczensky, seorang jurnalis, penulis dan kritikus gastronomi Jerman; Yang sudah barang tentu tidak mutlak kebenarannya, tapi paling tidak memperkaya wawasan untuk lebih mendalami kebenaran Injil dalam hati (berpusat dalam hati) yang mengajarkan kasih dan tidak menolerir kekerasan, perang yang adil (perang suci), apapun alasannya, apalagi mengatasnamakan Tuhan, atau misi agung Kristus; serta mengultuskan seseorang pula.
Profesor Hukum Internasional Philip Marshall Brown (1923) dalam International Society: Its Nature and Interests menegaskan, “Tidak diragukan lagi, gerakan misionaris kadang-kadang disertai dengan metode yang disesalkan dan tercela. Hasilnya sering tampak menyedihkan, atau bahkan tragis, dalam kasus ras yang sangat rendah, di mana misionaris dalam keluguannya telah membantu membuka bangsa-bangsa terhadap keburukan dan kejahatan “Peradaban Kristen” tanpa mampu melindungi tanggung jawab rohaninya. Dengan semangat palsu dia kadang-kadang menghancurkan hal-hal “Pagan” yang indah, adat istiadat, dan tata krama tanpa seni dari kesederhanaan Arcadian.”[5]
Sikap superioritas dan menista suku bangsa tertentu tidak hanya terjadi di Tanah Batak dan Afrika, juga di India. Marcus Braybrooke (1973) dalam The undiscovered Christ: a review of recent developments in the Christian approach to the Hindu (Kristus yang belum ditemukan: tinjauan perkembangan terkini dalam pendekatan Kristen terhadap Hindu) mengungkapkan dengan beberapa pengecualian, sikap dominan misionaris abad kesembilan belas adalah salah satu kebencian yang mencolok dari Hinduisme.[6]
Marcus Braybrooke mengungkap pernyataan seorang penulis tanpa nama di Biblical Repository pada tahun 1860 yang mengutuk kepercayaan Hindu: ‘Kafir berada di bawah kutukan, dan bagi mereka orang yang gelap dan putus asa; mereka tahu tidak ada jalan keluar. . . murka Tuhan tinggal pada mereka”. Kemudian, pada akhir abad ini, sikap berubah. Para mualaf Kristen seperti Goreh dan Upadhyaya menulis dengan pengetahuan yang nyata tentang keyakinan lama mereka; Timbul sikap simpatik terhadap agama paling kuno di India. Beberapa misionaris, seperti Slater dan Farquhar, yang dipengaruhi oleh teori evolusi, melihat dalam agama Hindu sebagai suatu tahap dalam perkembangan agama manusia.[7] Perlakuan misionaris yang juga dihadapi orang Batak.
Bersambung || Sebelumnya
Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1, Hlm. 1950-1952.
Footnotes:
[1] Tolstoi, Leo N., 1902: What is Religion? And Other New Articles and Letters; Translated by V. Tchertkoff and A. C. Fifield; New York: Thomas Y. Crowell & Company, p.22
[2] Tolstoi, Leo N., 1902: p.22-23
[3] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): s.12.
[4] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): s.16.
[5] Brown, Philip Marshall, 1923. International Society: Its Nature and Interests. New York: MacMillan, p. 54.
[6] Braybrooke, Marcus, 1973: The undiscovered Christ: a review of recent developments in the Christian approach to the Hindu; Madras: The Christian Literature Society, p.1.
[7] Braybrooke, Marcus, 1973: p.1.