Perang Suci Atas Nama Tuhan: Serigala di antara Anak Domba
Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (4)

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (4)
Secara khusus mengenai sikap meremehkan, dan menista adat dan kepercayaan leluhur Batak, yang adalah (dipandang) misi suci bagi beberapa misionaris, yang ditempuh dengan dua cara: Pertama, Kristenisasi melalui Perang Suci dan cara apapun mengatasnamakan Tuhan; Kedua, Evangelisasi berjalan seiring atau menyusul kemudian. Dalam pandangan mereka itulah jalan terbaik kemenangan Injil di Tanah Batak Merdeka, yang tampaknya sangat disemangati De Heilige Oorlog Made in Germany, sebagaimana dipaparkan Dr. C.Snouck Hurgronje.
Bagi sebagian orang Batak, apalagi mereka yang telah mapan memakai ‘tali kolor dan celana Eropa’[1] hal ini (tindakan misi para misionaris itu) adalah hal yang sangat baik, terpuji dan pantas disanjung dan disyukuri serta diidolakan, dikultuskan, bahkan nyaris ‘dituhankan’; khususnya Ompu Nommensen, sebagai misionaris dimitoskan legendaris yang penuh penderitaan, reherehe (penistaan) dan pengorbanan[2] (narasi disinformasi). Namun, jika disimak lebih dalam dengan memikirkan dan merenungkannya dalam hati (kontemplasi), ada sesuatu yang secara fundamental sangat salah atau tidak tepat dari narasi itu sesuai dengan Perintah Agung Yesus Kristus: “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Luk.10.3). Pemberitaan Injil tanpa kekerasan dan kekuasaan, tetapi dengan cerdik dan hati tulus, bijaksana; Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat.10:16). Anak domba yang cerdik dan tulus di tengah-tengah serigala, bukan malah menjadi serigala di antara domba.
Seorang Misionaris Guru Gereja Mennonite Brethren di India, Peter M. Hamm, dalam tulisannya A Reappraisal of Christianity’s Confrontation with Other Religions (Penilaian Ulang Konfrontasi Kekristenan dengan Agama-Agama Lain) dalam buku The Church in Mission (1967) menguraikan kesalahan-kesalahan fundamental yang dilakukan para misionaris Eropa di berbagai belahan dunia; Begitu pula Gert von Paczensky (1991-2000) dalam Verbrechen im Namen Christi Mission und Kolonialismus (Kejahatan Atas Nama Misi Kristus dan Kolonialisme), cukup mencerahkan menguraikan kolaborasi misi dengan kekuatan kolonial dengan kejadian-kejadian nyata di banyak negeri. Misi melayani kebijakan kolonial di banyak negara. Orang-orang yang ditaklukkan menerima dan mengalami misionaris sebagai bagian dari kekuatan kolonial yang bertindak sebagai penindas; Bahkan banyak misionaris dan jemaatnya yang baru dibabtis direkrut menjadi tentara kolonial.[3] Ini juga benar-benar terjadi di Tanah Batak
Misionaris Guru Peter M. Hamm, menyebut kekristenan adalah agama misi. Karena itu, telah berulang kali berkonfrontasi dengan agama-agama dunia. Di zaman Perjanjian Lama, Yudaisme mendahului Kekristenan dalam konfrontasi ini dengan menantang penyembahan Baal dari para tetangga Kanaan. Susunan Kristen purba ditandai oleh perselisihannya dengan agama negara Roma karena persyaratan pemujaan kaisar, meskipun sebaliknya Roma mempromosikan pertukaran agama-agama misteri dengan toleransinya. Dalam perjalanannya ke seluruh Eropa, agama Kristen menghadapi paganisme bangsa Teuton. Segera setelah itu memasuki kontes yang tangguh dengan Islam di Timur Dekat. Kemudian, Barat menjelajah Afrika, agama Kristen melakukan kontak lebih lanjut dengan kepercayaan animisme yang sangat maju. Melanjutkan penyebarannya ke seluruh dunia dengan ekspansi Eropa ke Timur (Asia) pada hari-hari pasca Reformasi, agama Kristen menghadapi Hinduisme baru, Budha dan Konfusianisme. Pada paruh kedua era misionaris modern, barisan para saksi Kristen (misi) terlibat dalam konfrontasi dengan agama-agama (kepercayaan) dunia.[4]
Dalam ulasannya tentang penilaian kembali terhadap pendekatan yang digunakan Misi pada masa lalu, Peter M. Hamm mengatakan, iman setiap orang adalah masalah yang paling pribadi. “Oleh karena itu, untuk menantang keyakinan orang lain dapat menjadi usaha yang sangat lancang. Akan tetapi, orang Kristen evangelis percaya bahwa Injil membutuhkan pertemuan. Dengan demikian, kehati-hatian harus dilakukan dalam pendekatan yang digunakan. Jika, di satu sisi, ada konfrontasi radikal tanpa persiapan yang diperlukan dan tindak lanjut selanjutnya, sebuah pertemuan mungkin gagal. Di lain pihak, jika suatu pertemuan hanya menghasilkan pembuahan silang gagasan-gagasan keagamaan, Kekristenan telah gagal membuat transformasi yang dituntut oleh keyakinannya.”[5]
Peter M. Hamm memaparkan bahwa Perang Suci atau Perang Salib adalah eksklusivisme radikal Kristen dalam kontes terbukanya dengan Islam. Dalam eksklusivisme radikal, gereja terlibat dalam perilaku irasional dan tragis yang tidak membantu kesaksiannya terhadap agama Kristen (Injil).”[6]
Lebih lanjut, Peter M. Hamm mengatakan bahwa misionaris Protestan awal, seperti yang diduga fundamentalis, mengambil pendekatan yang disebut sebagai “perpindahan radikal” atau “konflik.” Menganggap agama-agama non-Kristen sebagai musuh Injil, penganut pendekatan ini menemukan sedikit atau tidak ada yang dipuji dalam agama lain dan secara militan berusaha untuk menghancurkannya dan menggantikannya dengan agama Kristen. Meskipun disebut sikap permusuhan dan “imperialisme agama,” ini biasanya (kiranya) tidak disertai dengan kebencian di pihak misionaris. Namun, kekejaman (kepelikan, severity) dan kekerasan yang menyertai pendekatan ini sering mengusir penyembah berhala dari Injil.[7] Kisah ini jualah yang terjadi di Tanah Batak.
Bersamsung || Sebelumnya
Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11. Hlm. 1940-1942.
Footnotes:
[1] Trouw, A. Ds, 1933: bl.38.
[2] Seperti juga ada syair kidung Batak kontemporer yang sarat disinformasi itu.
[3] Paczensky, Gert von, 1991 (2000), s.222.
[4] Abram J. Klassen, ed., 1967: The Church in Mission, California: Board of Christian Literature, Mennonite Brethren Church, p.221-222.
[5] Abram J. Klassen, ed., 1967, p.230-231.
[6] Abram J. Klassen, ed., 1967, p.231.
[7] Abram J. Klassen, ed., 1967, p.232.