Politik Hati Nurani

Hakikat Politik Pancasila

0
15
Oesman Sapta Odang (OSO): Politik Hati Nurani adalah pengejawantahan Politik Pancasila. Ilustrasi TokohIndonesia.com - Meta AI
Lama Membaca: 4 menit

Oesman Sapta Odang (OSO) berprinsip hakikat Politik Pancasila adalah Politik Hati Nurani. Politik Hati Nurani adalah Politik Pancasila. Ketua Umum Partai Hati Nurani (Partai Hanura) itu sepaham dengan pandangan bahwa seorang politisi yang baik adalah orang yang berpolitik tidak hanya ‘dengan kemauan politik’ tetapi lebih lagi dengan hati nurani. Ketulusan hati nuraninya itulah yang akan menyingkapkan karakter dan kepribadiannya.

Video Politik Hati Nurani

George Leyburn Richardson (1915) dalam Conscience, Its Origin and Authority mengatakan, nurani dan naluri biasanya merupakan hal yang lebih dalam dan lebih abadi daripada akal budi; karena sementara akal budi bersifat (dan harus) individualistis, nurani dan naluri lebih bersifat sosial; dan kelompok tersebut memiliki kesadaran akan kekuatan-kekuatan yang terpecah-pecah yang terkadang kurang ada pada anggota-anggotanya yang paling cemerlang.[1]

Menurut OSO, politik hati nurani mengacu pada pendekatan politik yang mengutamakan moral, etika, dan kebenaran dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pemimpin harus dipandu oleh hati nurani, bukan oleh motif kekuasaan atau keuntungan pribadi.

Dia menyebut beberapa karakteristik utama politik hati nurani, antara lain: 1. Berpihak pada kebenaran: Para pelaku politik mengedepankan kebenaran dan keadilan, serta tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan; 2. Fokus pada kesejahteraan publik: Tujuan utamanya adalah mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan kepentingan pribadi atau kelompok; 3. Integritas dan moral: Mengandalkan integritas, rekam jejak, program, dan janji yang rasional sebagai dasar untuk dipilih oleh masyarakat; 4. Menghormati hak pilih: Menghargai suara rakyat sebagai cerminan aspirasi yang murni, bukan komoditas yang bisa dibeli.

Karakteristik utama politik hati nurani tersebut, menurut OSO, adalah pengejawantahan Politik Pancasila. OSO menjelaskan, bahwa konsep “Politik Pancasila adalah Politik Hati Nurani” berakar pada gagasan bahwa dalam sistem politik yang dijiwai Pancasila, setiap keputusan dan tindakan politik harus didasarkan pada pertimbangan moral, etika, dan kebenanan. Hati nurani menjadi pemandu utama dalam berpolitik, bukan semata-mata kekuasaan atau kepentingan pragmatis.

OSO menghgaris-bawahi bahwa Pancasila adalah sebagai sumber etika politik. Sebagai dasar negara dan pandangan hidup, Pancasila berfungsi sebagai sistem etika politik yang mendasari penilaian tentang mana yang baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kelima sila Pancasila menjadi acuan moral yang harus dipegang teguh oleh setiap individu dan pejabat publik.

OSO menegaskan, bahwa nilai-nilai Pancasila adalah sebagai panduan hati nurani. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa: Menekankan bahwa setiap tindakan politik harus selaras dengan nilai-nilai agama dan moralitas universal. Hukum nasional juga tidak boleh bertentangan dengan asas Ketuhanan. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Mengarahkan para politisi untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan, serta melindungi hak asasi manusia. Ini menuntut sikap jujur, peduli, dan menghargai sesama. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia: Mendorong setiap keputusan politik untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Politik Pancasila yang berhati nurani akan selalu mencari jalan untuk mempersatukan, bukan memecah-belah. Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Mengharuskan pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat, bukan dengan cara yang menghalalkan segala cara, serta tidak mengenal dikotomi mayoritas dan minoritas. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Menekankan bahwa kekuasaan politik harus digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, bukan segelintir kelompok.

Secara khusus OSO menyoroti masalah dikotomi mayoritas dan minoritas berupa pemisahan masyarakat berdasarkan jumlah yang besar (mayoritas) dan yang sedikit (minoritas). Pemisahan ini sering kali dipandang problematis karena dapat menciptakan ketidaksetaraan, kekerasan simbolik, dan potensi diskriminasi, terutama ketika identitas seperti agama, budaya, atau suku dijadikan dasar pembeda. OSO sepaham dengan banyak pandangan yang menyarankan agar dikotomi ini dihilangkan dan diganti dengan konsep yang lebih inklusif dan setara di mana semua warga negara memiliki kedudukan yang sama.

Masalah dari dikotomi mayoritas-minoritas berpotensi menimbulkan kekerasan simbolik. Hal itu bisa terjadi ketika kelompok mayoritas secara halus mengontrol dan menekan kelompok minoritas melalui kebiasaan dan norma yang dianggap wajar, namun merugikan kelompok lain tanpa disadari. Hal ini dapat memicu konflik sosial dan budaya, terutama ketika identitas menjadi dasar perdebatan dan penistaan terhadap kelompok lain.

Advertisement

OSO mengemukakan pandangan ideal, antara lain: 1) Menggalang Inklusivitas: Mengutamakan pandangan inklusif dan saling menghormati di antara kelompok yang beragam, seperti suku, agama, dan budaya. 2) Menggalang Kesetaraan: Menempatkan semua warga negara setara tanpa memandang status mayoritas atau minoritas, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila (Preambul UUD 1945)  sebagai konsep negara bangsa yang ideal. 3)  Menghilangkan istilah mayoritas-minoritas: Mengajak masyarakat untuk mulai meninggalkan istilah “mayoritas” dan “minoritas” dalam keseharian, serta tidak menggunakan perbedaan jumlah (suku, agama, status sosial) sebagai dasar pembeda dalam urusan negara dan masyarakat. 4) Kolaborasi Politik Hati Nurani: Mengajak semua pihak untuk berkolaborasi menggalang partisipasi aktif berpolitik sesuai suara moral hati nurani sebagai pengejawantahan Politik Pancasila.

Hal itu, menurut OSO, sangat urgen untuk mengatasi realitas politik pragmatis yang menyimpang dari Politik Pancasila dan/atau Politik Hati Nurani. Hal mana politik yang berbasis hati nurani sangat berlawanan dengan praktik politik yang seringkali terjadi, seperti: 1) Menghalalkan segala cara: Politik hati nurani menolak politik uang, intimidasi, dan kampanye hitam, yang justru merusak sendi-sendi demokrasi; 2) Kekuasaan absolut: Hati nurani akan memberontak saat terjadi ketidakadilan atau kebenaran diabaikan, sehingga politik tidak bisa hanya berdasar kekuasaan; 3) Manipulasi hukum: Politik hati nurani menolak manipulasi hukum demi kekuasaan, suatu praktik yang mengabaikan kebenaran hakiki.

Pada intinya, jelas OSO, pernyataan bahwa “Politik Pancasila adalah Politik Hati Nurani” merupakan sebuah idealisme. Ini adalah ajakan dan pengingat bahwa tujuan sejati dari politik adalah untuk mencapai kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dengan hati nurani sebagai kompas moralnya.

 

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Oesman Sapta Odang: Politik Hati Nurani Negarawan Pejuang Daerah (Segera Terbit)

 

Footnotes:

[1] Richardson, George Leyburn, 1915. Conscience, Its Origin and Authority. London: W. Gardner, Darton & co., Ltd., p. 4.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini