Birokrasi Hambat Investasi

 
0
25
Majalah Berita Indonesia Edisi 29
Majalah Berita Indonesia Edisi 29 - Birokrasi Hambat Investasi

VISI BERITA (Menunggu PMA, 18 Januari 2007) – Menunggu arus balik investasi asing, ibarat pameo petani yang mengharapkan jatuhnya hujan di musim panas. Pemerintah telah menempuh berbagai upaya, namun mereka tak kunjung datang. Yang banyak terjadi bukan inflow, tetapi outflow modal asing. Banyak PMA malah lari ke negara-negara lain yang lebih merangsang.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 29 | Basic HTML

Salah satu sebab yang membuat mereka enggan berusaha di Indonesia, mungkin benar apa yang dikatakan pakar bisnis internasional, Michael Porter, karena Indonesia relatif tertutup dibandingkan dengan China dan India. Dua dekade yang lalu, China dan India masih relatif tertutup terhadap modal asing, sedangkan Indonesia begitu terbuka (UU-PMA/1967) terhadap modal asing. Porter melihat Undang-Undang Perburuhan (tahun 2001) sebagai ganjalan utama, melindungi buruh secara berlebihan. Begitu ekstremnya undang-undang tersebut melindungi buruh, sehingga Porter menyebutnya, “senjata makan tuan.”

Pemerintah memang telah berupaya untuk merevisi undang-undang tersebut agar lebih merangsang PMA. Tetapi revisi yang sedang dibicarakan di DPR dilawan habis-habisan oleh para pekerja dan serikat pekerja. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perintah untuk mengendapkan revisi UU tersebut atas tekanan para serikat pekerja. Bagi para investor, sikap ini dinilai sebagai kelemahan pemerintah yang justru mereka cemaskan.

Semestinya, pemerintah dan DPR membuka pintu pembicaraan dengan para wakil buruh, sehingga di dalam undang-undang baru bisa difasilitasi kepentingan majikan dan buruh secara proporsional. UU Perburuhan di era Orde Baru dianggap melecehkan dan mengeksploitasi hak-hak fundamental kaum buruh. UU tersebut kemudian diamandemen pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid “yang sangat melindungi buruh.” Porter pun menyindir, para buruh lebih senang kehilangan pekerjaan ketimbang menghentikan protes dan ancaman mogok.

Para investor acapkali berkeluh kesah bahwa mereka merasa tidak aman dan tidak nyaman menjalani bisnis di Indonesia, karena terlalu sering menghadapi demonstrasi menuntut kenaikan upah dan ancaman mogok. Mereka pun memindahkan modalnya ke negara-negara lain, seperti China, India, Vietnam, dan Kamboja. Informasi ini tentu akan sampai ke para calon investor. Inilah yang membuat posisi tawar Indonesia bagi PMA melemah di tengah geliat ekonomi global. Negara-negara Asia lainnya bergerak maju, tetapi Indonesia berjalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran. Indonesia yang pernah dijuluki “macan baru” Asia tertinggal jauh dari China dan India, bahkan dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Mungkin secara sederhana, perekonomian membaik bilamana rakyat kecil (wong cilik) merasa tidak lagi dililit oleh kesulitan hidup, karena penghasilan mereka membaik, harga barang-barang kebutuhan pokok terjangkau. Selain itu, mereka pun bisa menutup biaya pendidikan dan kesehatan keluarga mereka. Jika penghasilan lebih longgar lagi, tentu mereka berpikir untuk bisa membeli rumah cicilan, membeli pakaian, dan sedikit rekreasi.

Itu mimpi rakyat kecil. Tetapi mimpi itu tidak juga menjelma jadi kenyataan, karena penghasilan mereka hanya cukup untuk membeli beras. Atau menurut asumsi PBB, yang dikategorikan miskin, mereka yang berpenghasilan dua dolar sehari, atau hanya cukup untuk membeli dua liter beras (Rp 5.000 per liter). Maka orang miskin Indonesia, menurut asumsi PBB, telah mencapai 110 juta orang. Sejumlah itulah orang Indonesia yang sedang dililit kesulitan hidup. Atau 15 juta sampai 16 juta Kepala Keluarga Miskin (KKM), jika ukurannya mereka yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah.

Ironisnya, kendati kemiskinan melebar dan mendalam, orang-orang kaya Indonesia semakin banyak yang belanja ke luar negeri, membeli rumah dan mobil baru. Bisa jadi makro ekonomi yang membaik tidak menetes ke bawah, atau tidak memberi dampak pada mikro ekonomi.

Laporan optimis yang selalu disampaikan pemerintah; laju inflasi yang bisa ditekan hanya 3,6% (Agustus), atau hingga akhir tahun 2006 sekitar 4,5 sampai 5%. Padahal laju inflasi tahun 2005 akibat dua kali kenaikan harga BBM meroket sampai hampir menembus angka 18%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 mencapai 5,8%, ditargetkan menjadi 6,6% tahun 2007. Nilai tukar rupiah stabil pada angka 9.200-9.300 per satu dolar AS. Surplus neraca berjalan lebih dari 4 miliar dolar AS. Sedangkan cadangan devisa melewati angka 43 miliar dolar AS. Makro ekonomi stabil dan ekspor meningkat. Jadi apa yang salah dengan ekonomi kita?

Advertisement

Kesalahan satu; sebagian besar uang negara digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang dalam dan luar negeri yang diperkirakan mencapai Rp 1.600 triliun. Utang dalam negeri, lewat penjualan Surat Utang Negara (SUN) diperkirakan Rp 800 triliun, sudah sebanding dengan jumlah utang luar negeri. Sehingga angka cicilan utang mencekik leher, 60% dari PDB. Akibatnya, pemerintah hanya bisa membangun dengan membuat utang baru.

Kesalahan dua; hampir pada semua lini ekonomi terjadi tindak korupsi dan permainan uang siluman. Jadi uang negara lebih banyak masuk ke kantong koruptor daripada membiayai program-program untuk menyejahterakan rakyat. Sekadar catatan, Indonesia menempati peringkat ketujuh negara terkorup di seluruh dunia. Sekarang, partai politik, DPR, polisi, dan lembaga peradilan pun sudah masuk kategori lembaga yang paling tinggi korup.

Kesalahan tiga; para pengelola negara tidak banyak berpikir dan berbuat untuk rakyat yang miskin tadi, tetapi lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan mereka.

Sementara ini pemerintah memang berusaha keras untuk menebus kesalahan-kesalahannya dengan merangsang masuknya PMA. Karena merekalah yang mampu menggerakkan sektor riil (industri), membuka lapangan usaha dan lapangan kerja serta mendongkrak angka ekspor secara riil. Di sisi lain, para investor portofolio (bursa saham) menikmati keuntungan yang menggiurkan. Tetapi investasi model ini tidak bisa dinikmati oleh rakyat kecil, malah bisa membahayakan ekonomi negara jika mereka tiba-tiba hengkang dari sini.

Sekarang, kita menunggu datangnya sang dewa penolong (PMA) itu. Tetapi kenapa mereka tak kunjung tiba? Mungkin daya tarik kita kurang menggiurkan, seperti di sektor pajak, birokrasi perizinan, uang siluman, dan pasar yang loyo, karena daya beli mayoritas penduduk Indonesia sedang terpuruk. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 29

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Khas

Berita Politik

Berita Nasional

Berita Media

Berita Newsmaker

Lintas Tajuk

Lintas Media

Lentera

Berita Olahraga

Berita Daerah

Berita Feature

Berita Iptek

Berita Wawancara

Berita Hankam

Berita Tokoh

Berita Ekonomi

Berita Hukum

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini