DPR (Jangan) Mata Duitan

 
0
44
Majalah Berita Indonesia Edisi 20
Majalah Berita Indonesia Edisi 20

VISI BERITA (Stempel Karet, 7 September 2006) – Mestinya sikap kritis para anggota DPR tidak semata-mata dipersepsikan sebagai penempatan diri yang selalu berlawanan dengan pemerintah. Karena watak kekuasaan yang “cenderung korup” harus diawasi secara cermat dan kritis.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 20 | Basic HTML

Yang masih disesalkan sampai sekarang, kenapa semua anggota Dewan meloloskan begitu saja besaran kenaikan harga BBM yang kedua (Oktober 2005), sampai mencapai 120 persen? Padahal besaran kenaikan tersebut benar-benar menghimpit, tidak hanya ekonomi rakyat, tetapi juga ekonomi negara.

Kenapa para anggota DPR tidak secara kritis melihat bahwa akibat kenaikan tersebut memicu laju inflasi sampai 18 persen (sepanjang tahun 2005)? Padahal gelombang inflasi tidak mengenal batas, menyapu semua sektor kehidupan dan semua lapisan masyarakat. Jawabannya, sebagian besar kekuatan di DPR yang beranggotakan 550 legislator merapat pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya didukung penuh oleh partai kecil, Demokrat.

Sedangkan kekuatan mayoritas, Partai Golkar, sudah dipegang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Para wakil Golkar takut “dipelototi” Kalla yang bermitra dengan Susilo. Juga partai-partai utama lainnya; PKS, PPP, PAN dan PKB, menempatkan menteri-menteri mereka di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Karena itu jangan terlalu berharap munculnya koreksi dan pengawasan yang kritis datang dari fraksi-fraksi tersebut.

Lantas di mana PDI-P dan Partai Damai Sejahtera? Mereka seolah-olah lepas tangan, tidak mendukung tetapi juga tidak menolak kenaikan tersebut. Mereka menjadi partai oposisi yang “manis”, tidak ingin terlalu merepotkan pemerintahan Susilo.

Belakangan berlangsung simbiose mutualistis – perpaduan yang saling menguntungkan – antara Presiden dan partai-partai pendukung. Kiat Presiden yang mewakili partai kecil memang harus mencari dukungan partai-partai lain. Ini juga konsekuensi dari pemerintahan presidentil, atau boleh dibilang, semi-parlementer, yang menganut demokrasi multipartai.

Presiden, meskipun memperoleh legitimasi dan mandat langsung dari rakyat, masih harus “mencari” dukungan dari sebanyak mungkin kekuatan di DPR dengan imbalan kursi menteri agar mereka tidak menjadi penghadang. Atau lantaran kecemasan yang berlebihan, seolah-olah Presiden bisa dijatuhkan oleh DPR di tengah jalan. Padahal sepanjang Presiden tidak melakukan “tindak pidana”, tidak ada legitimasi dan wewenang DPR untuk menjatuhkan Presiden.

Ironisnya, pemerintah masih meragukan dukungan fraksi-fraksi, sehingga meninabobokkan para anggota Dewan dengan bermacam-macam fasilitas dan insentif, di luar gaji resmi mereka. Meskipun hal ini dipahami bisa merugikan rakyat dan bangsa dalam jangka panjang. Semestinya, para anggota DPR berpikir dan merenung lebih dalam bahwa imbalan yang mereka peroleh dari kedudukannya, diberikan oleh negara dari hasil keringat rakyat – bukan oleh pemerintah, apalagi Presiden – karenanya tidak harus mempengaruhi kadar kontrol mereka.

Mengamati perilaku sejumlah anggota DPR belakangan ini, seperti menuntut kenaikan gaji, tunjangan, bahkan menjadi calo proyek, mengentalkan kecurigaan publik bahwa mereka bukan semata-mata memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi sebesar-besarnya kepentingan pribadi dan partai.

Advertisement

Inilah yang membuat citra parlemen reformasi terpuruk seperti lembaga legislatif pada paruh kedua pemerintahan Orde Baru. Menjadi “stempel karet” pemerintah. Mereka serupa meskipun tidak sama. Lebih buruk lagi, para anggota parlemen demokratis menjadi tidak kritis lantaran kebanjiran fasilitas, bukan karena didikte atau dipaksa.

Tentu yang terabaikan nasib rakyat miskin. Para anggota Dewan seperti itu tidak lagi membanggakan capnya sebagai wakil rakyat. Mereka lebih mengedepankan cap wakil Fraksi dan Komisi, karena memiliki nilai tawar. Apalagi mereka yang mewakili Fraksi “besar” dan Komisi “basah”, nilai tawarnya pun semakin tinggi.

Mereka menjabarkan nasib rakyat miskin identik dengan kalkulasi dagang. Maka, keloplah pemahaman anggota Dewan dan para birokrat. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM mereka terima, asalkan rakyat miskin diberi ganti rugi berupa bantuan tunai langsung (BTL). Dihitung per kepala keluarga miskin (KKM), memang jumlahnya kecil, hanya Rp 100.000. Tetapi jumlah KKM yang didata oleh BPS mencapai 15 juta, atau meningkat menjadi 15,6 juta setelah harga BBM naik.

Karena itu, pemerintah harus menguras “dana surplus BBM” sebesar Rp 15-15,6 triliun sebulan, atau Rp 45-46,8 triliun dalam tiga bulan. Padahal bagi satu KKM uang tersebut habis untuk merasakan makan enak dalam sehari, atau untuk membayar utang di warung. Andaikan dana sejumlah itu digunakan untuk membiayai proyek-proyek padat karya, alangkah banyaknya orang miskin yang mendapatkan pekerjaan dan tambahan penghasilan.

Ke depan, tidak ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM, karena harga minyak mentah sekarang bergerak antara 75 sampai 78 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak mentah dalam APBN-Perubahan dan APBN tahun 2007, dipatok antara 50-65 dolar per barel. Untuk kemungkinan terburuk, defisit bisa mencapai 13 dolar per barel. Celakanya, pemerintah harus mengimpor minyak mentah sekitar 600.000 barel per hari.

Bilamana pemerintah kembali meminta persetujuan DPR untuk menaikkan harga BBM, kita hanya bisa berdoa, “mudah-mudahan mereka tidak terperosok ke lubang yang sama.” (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 20

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Nasional

Berita Khas

Berita Mancanegara

Lentera

Berita Perempuan

Berita Tokoh

Berita Ekonomi

Berita Hankam

Berita Daerah

Berita Politik

Berita Hukum

Berita Olahraga

Berita Kesehatan

Profil Media

Berita Feature

Berita Humaniora

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini