Golkar Menggebrak

 
0
22
Majalah Berita Indonesia Edisi 21
Majalah Berita Indonesia Edisi 21

VISI BERITA (Visi Negara, 21 September 2006) – Saatnya bangsa ini berhenti berpolemik tentang “negara ini mau dibawa ke mana?” Sebenarnya, pertanyaan ini tidak akan menjadi “lingkaran setan,” dan segera terjawab bilamana para tokoh bangsa—pengelola negara, pemimpin partai politik, dan para pakar independen—duduk satu meja membahas dan merumuskan visi serta misi negara berjangka panjang 15 sampai 20 tahun ke depan.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 21 | Basic HTML

Atau memfungsikan kembali MPR untuk merumuskan visi dan misi negara, seperti ketika menyusun dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sidang umum lima tahunan. Tetapi UUD 1945 yang diamandemen telah banyak melucuti fungsi MPR yang pernah menempati posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Barangkali yang paling penting, perumusan visi dan misi negara tersebut berjalan dalam suatu proses yang objektif, jujur, dan demokratis. Jauh dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan-kepentingan tertentu.

Untuk mencegah munculnya polemik baru, para penyusunnya mesti sepakat pada pijakan dasar, yaitu ideologi dan dasar negara Pancasila. Mereka perlu menjabarkan secara aktual setiap sila—Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—berdasarkan hasil analisa dan asumsi yang berjangka panjang. Sedangkan UUD 1945 menjadi pagar pembatas agar pembahasan dan perumusan tidak lari ke mana-mana.

Mungkin yang paling krusial, penjabaran sila kedua, karena demokrasi yang sudah ditetapkan dan dilaksanakan menganut asas pemilihan presiden langsung. Sedangkan tadinya, sila tersebut diterjemahkan sebagai demokrasi lewat sistem perwakilan di DPR dan MPR. Namun persoalannya, tinggal bagaimana memadukan sila tersebut dengan sistem demokrasi yang sudah berjalan dengan baik.

Semua pihak yang terlibat di dalam perumusannya tidak lagi mempersoalkan jati diri bangsa; Pancasila, NKRI, Merah Putih, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Jati diri ini bukan hanya slogan dan retorika di dalam setiap pidato, tetapi harus mampu memberi roh dan jiwa bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang tertib hukum dan damai.

Dengan demikian, tumbuh harapan baru bagi kehidupan bersama di dalam satu negara yang tidak lagi diwarnai oleh konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan yang tidak berkesudahan. Kita mengaku hidup di dalam NKRI, tetapi masih terus berkelahi, masih mempersoalkan putra daerah dan non-putra daerah. Semestinya dalam usianya yang sudah senja (61 tahun), bangsa ini menjadi bangsa yang dewasa, cerdas, dan bermartabat, hidup dalam ketertiban, kedamaian, toleransi, dan kesejahteraan.

Di tengah kegamangan tersebut, muncul gagasan SOKSI yang cukup menarik untuk dicermati dan dikaji, yaitu “Reformasi Jilid Dua” dan “Amandemen UUD 1945 Kelima.” Sudah bisa diduga, karena digagas oleh SOKSI yang berafiliasi ke Partai Golkar, akan muncul reaksi keras dari kelompok pendukung “Reformasi Jilid Pertama” dan mereka yang apriori, bahwa gagasan tersebut bisa diplesetkan menjadi Orde Baru Jilid II. Soalnya, kita belum bisa menerima setiap gagasan dengan positive thinking, masih meresponnya dengan prasangka-prasangka.

Alasan SOKSI meluncurkan gagasan tersebut, karena dengan reformasi yang tidak terencana yang telah mengamanatkan amandemen UUD 1945, membuat sistem ketatanegaraan menjadi amburadul. Sekarang ada MPR, DPD, DPR, MA, MK, KY, dan KPK. Dan yang akan lahir nanti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Lembaga Penasihat Presiden (LPR). Begitu banyak lembaga, tetapi semua anggota lembaga tersebut, kecuali MPR, harus diseleksi oleh DPR lewat fit and proper test atau uji kemampuan dan kelayakan.

Namun kedua gagasan SOKSI tersebut, agar tidak layu sebelum berkembang, kalau sepakat, merupakan kelanjutan dari “Reformasi Jilid Satu” dan “Amandemen UUD 1945 Keempat.”

Advertisement

Sekadar catatan “Reformasi Jilid Satu,” kalau boleh disebut begitu, hanya mengantar bangsa ini kepada suatu kebebasan berdemokrasi yang acapkali lari dari koridor hukum. Kebebasan yang kita miliki—kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat di depan umum, dan kebebasan pers—mencatat kemajuan yang terkadang mencemaskan kita sendiri. Masih seperti kuda liar yang baru dilepas dari kandang, meskipun kebebasan tersebut sudah berjalan lebih kurang delapan tahun.

Dan gonjang-ganjing belakangan ini tentang kinerja pemerintah merupakan akibat tidak adanya barometer yang disepakati bersama untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan pemerintah. Karena setiap orang, setiap partai, berangkat dari titik pandang yang berbeda-beda, bahkan berlawanan. Maka visi dan misi negara sebagai tolok ukur penilaian, menjadi sangat relevan untuk dipikirkan. Contohnya, Malaysia sudah meletakkan visi dan misi negara sampai tahun 2020.

Visi dan misi negara tersebut mengikat siapa pun dan partai mana pun yang memegang kendali pemerintahan. Jadi presiden dan partai yang berkuasa tidak menentukan visi dan misinya sendiri. Karena kekuasaan tak mungkin lepas dari vested interest. Presiden dan pemerintah boleh berganti, tetapi negara diharapkan eksis dari generasi ke generasi.

Memang ini sebuah utopia. Tetapi tepat apa yang pernah dikatakan oleh Syakh Dr. AS Panji Gumilang bahwa ideologi hanya menarik bangsa ke belakang, utopia membimbing bangsa bergerak ke depan agar bisa mencapai cita-citanya. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 21

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight / Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Nasional

Berita Khas

Berita Newsmaker

Lentera

Berita Mancanegara

Berita Khusus

Berita Politik

Berita Ekonomi

Berita IPTEK

Berita Daerah

Berita Hankam

Lintas Media

Profil Media

Berita Humaniora

Berita Hukum

Berita Olahraga

Berita Kesehatan

Berita Budaya

Berita Perempuan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini