Kriminalisasi Vs Politisasi KPK-Polri

 
0
41
Majalah Berita Indonesia Edisi 72
Majalah Berita Indonesia Edisi 72 - Kriminalisasi Vs Politisasi KPK-Polri

VISI BERITA (Berbenah, Walau Terasa Pahit, November 2009) – Kekisruhan penegakan hukum telah menimbulkan kegalauan, hingga mencapai ubun-ubun, dalam satu bulan terakhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap telah dikriminalisasi dengan dijadikannya oknum pimpinan KPK sebagai tersangka pembunuhan, pemerasan, dan penyalahgunaan wewenang oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Publik membela dan mengagungkan KPK sebagai pahlawan pemberantasan korupsi. Tetapi, di pihak lain secara bersamaan, justru terasa adanya politisasi penegakan hukum.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 72 | Basic HTML

Keberpihakan suara publik yang cenderung membela KPK tentulah lahir dari perbandingan rasional atas kenyataan prestasi KPK dalam memberantas korupsi yang dinilai sangat berhasil dibandingkan dengan prestasi polisi dan kejaksaan yang dinilai kurang berhasil.

Semua rakyat Indonesia pastilah ingin menjadikan Indonesia bebas dari korupsi. Maka kehadiran KPK, sebagai badan ad-hoc untuk menerobos kebuntuan pemberantasan korupsi, sangat didukung seluruh elemen rakyat. Maka siapapun pasti tidak ingin terjadi kriminalisasi atau rekayasa pelemahan atas KPK.

Demokrasi yang sudah terbangun dalam sepuluh tahun terakhir telah membuka hak dasar bersuara bagi rakyat. Suatu kemajuan yang patut terus digalang dan disyukuri. Namun demokrasi haruslah diletakkan di atas landasan hukum, sebagai suatu sistem aturan main. Dalam demokrasi, hukumlah yang jadi panglima. Jangan malah sebaliknya, politik jadi panglima.

Dalam kaitan ini, kita ingin kekisruhan penegakan hukum ini segera dapat diakhiri. Sebab kontroversi penegakan hukum (pemberantasan korupsi) ini telah menyita banyak energi bangsa ini. Bahkan hiruk-pikuk kasus ini telah menenggelamkan informasi Rembuk Nasional yang digelar pemerintah membahas agenda pembangunan bangsa. Program 100 hari pemerintah pun sudah tertelan lebih 30 hari sejak Presiden dilantik.

Masalah ini sangat mungkin dapat diatasi lebih cepat, jika Polri dan Kejaksaan dapat menyelesaikan tugasnya dengan lebih profesional dan mandiri dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, sekaligus mempertimbangkan moralitas dan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Presiden ketika menyampaikan pidato menyikapi kasus ini, Senin, 23/11/2009, agar Polri dan Kejaksaan tidak membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan.

Jika memang Polri dan Kejaksaan tidak menemukan bukti yang kuat dan meyakinkan, demi kepastian hukum tidak perlu ragu untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra ini. Sebab, ada sebuah prinsip dalam penegakan hukum dan keadilan, bahwa lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah.

Walaupun memang sebaliknya, jika Polri dan Kejaksaan menemukan bukti yang kuat dan meyakinkan, demi kepastian hukum pula, tidak perlu ragu untuk melanjutkan kasus Bibit dan Chandra ini ke pengadilan. Sebab, dalam hal prinsip kepastian hukum, biarpun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. Prinsip ini menuntut keberanian tanpa pamrih, dan tidak takut kehilangan jabatan. Maka, dari sudut pandang ini, biarlah pengadilan yang memutuskan secara adil. Namun, sebagaimana dikemukakan Presiden, perlu adanya kearifan untuk tidak melanjutkan kasus ini ke pengadilan.

Sangat mungkin memang KPK benar. Tetapi, penyidik Polri juga belum tentu seratus persen salah. Namun kejadian ini mengisyaratkan, KPK juga harus berbenah diri. Baik dalam proses birokrasi penegakan hukum maupun dalam mencegah persekongkolan dengan Markus-Markus.

Advertisement

Sebab, tindak pidana pemerasan yang dilakukan oknum penyidik KPK, sudah pernah terjadi pada Maret 2006. Dua orang Markus yang menyaru sebagai penyidik KPK (gadungan) juga sudah pernah ditangkap (2 September 2007).

Rekaman sadapan pembicaraan telepon Anggodo yang membuat publik terkejut, sedih, marah, dan galau, selain mengindikasikan telah adanya skenario (rekayasa) pengkriminalisasian oknum pimpinan KPK, memberi petunjuk bahwa para Markus juga telah ikut berperan (memengaruhi) proses penegakan hukum di KPK.

Semua ini memperlihatkan, kiranya KPK harus lebih meningkatkan komitmen pada prinsip zero tolerance terhadap hal-hal yang terkait dengan tindak pidana korupsi, supaya diterapkan dengan tegas, termasuk kepada (di dalam) KPK sendiri.

Dengan demikian, dukungan publik yang demikian besar, yang disertai dengan akseptasi (harapan) yang juga demikian besar, tidak sampai kehilangan kepercayaan kepada KPK. Saat ini, KPK masih dipandang oleh publik sebagai lembaga hukum pemberantas korupsi yang patut dipercaya dan didukung sepenuhnya.

Sehingga, walau terasa pahit, apa yang dialami KPK dalam beberapa bulan terakhir ini, KPK (juga Polri dan Kejaksaan) sepatutnya menjadikan momentum ini untuk berbenah diri. Tidak cukup dengan melakukan reaksi bantah dan membantah seperti lazim dilakukan para pejabat pemerintah di negeri ini, tetapi sama sekali tidak berusaha membenahi birokrasi dan sistem penegakan hukum.

Komitmen reformasi peradilan sungguh tengah diuji. Kiranya kekisruhan ini justru dapat memberikan jawaban (momentum) atas apa yang terjadi dan menjadi solusi pembenahan birokrasi dan sistem penegakan hukum, sehingga dapat berguna mengakselerasi pencapaian tujuan menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa ini. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 72

Dari Redaksi

Visi Berita

Surat Pembaca

Berita Terdepan

Highlight/Karikatur Berita

Berita Utama

Lentera

Berita Wawancara

Berita Khas

Berita Politik

Berita Media

Berita Tokoh

Berita Ekonomi

Berita Humaniora

Berita Daerah

Berita Publik

Berita Advertorial

Berita Iptek

Berita Hiburan

Berita Lingkungan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini