Pisau Bermata Dua

 
0
43
Majalah Berita Indonesia Edisi 12
Majalah Berita Indonesia Edisi 12

VISI BERITA (Buruh dan Penganggur, 4 Mei 2006) – Suram, lesu, dan hampir frustrasi. Barangkali inilah gambaran wajah Indonesia setelah digencet krisis ekonomi selama hampir satu dekade (1997-2006). Dan bertambah suram setelah pemerintah menaikkan harga BBM setinggi langit pada tanggal 1 Oktober tahun lalu.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 12 | Basic HTML

Kenaikan harga BBM otomatis mendongkrak komponen biaya (cost) pada hampir semua sektor. Kenaikan yang sangat tinggi dan terjadi dua kali dalam setahun, atau rata-rata 158% sepanjang tahun 2005, tentu berdampak pada lonjakan biaya.

Pemerintah, tergencet kesulitan ekonomi yang berlapis-lapis, berniat merangsang investasi di sektor industri dengan merevisi UU Ketenagakerjaan (No.13/2003) yang sedang berlaku efektif. Tetapi niat itu tak mudah menjadi kenyataan karena terkait banyak faktor.

Peraturan perburuhan memang faktor penentu untuk menciptakan ketenangan dan keamanan berusaha yang bisa memikat calon investor. Namun, masih banyak faktor lain yang harus diperhatikan pemerintah; seperti sektor perbankan, moneter, insentif pajak (tax holiday), perizinan, biaya-biaya siluman, dan kepastian hukum. Faktor-faktor ini harus diluncurkan dalam satu paket sehingga para calon investor bisa dirangsang dari berbagai segi.

Jauh sebelum krisis moneter tahun 1997, sektor industri memberi sumbangan sangat besar bagi bergeraknya roda ekonomi negara sehingga tumbuh sampai 7% setahun. Bilamana sektor ini menggeliat kembali—sudah banyak yang gulung tikar dan lari ke negara-negara lain—pemerintah berharap mampu mendorong ekspor dan membuka lapangan kerja.

Maksud pemerintah memikat investor, apa daya menuai perlawanan keras dari kaum buruh. Usulan revisi tersebut: (1) apabila pekerja memutuskan kontrak sebelum waktunya, wajib mengganti rugi sebesar sisa kontrak; (2) semua jenis dan sifat pekerjaan bisa dikontrakkan ke pihak ketiga (outsourcing); (3) pekerja yang menentukan kerja lembur, tidak berhak mendapatkan upah lembur; (4) cuti sebulan bagi pekerja yang sudah bekerja enam tahun, dihapus; (5) PHK tanpa syarat; (6) uang pesangon maksimal 9 bulan upah, dikurangi jadi 7 bulan upah; (7) pekerja yang upahnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, tidak berhak mendapat pesangon. Inilah poin-poin yang dianggap merugikan pekerja, dan menguntungkan pengusaha. Bagi pekerja, revisi sepihak tersebut seakan-akan mengembalikan perlakuan tidak adil yang mereka alami di masa lalu.

Siapa pun di negeri ini sangat menginginkan kehadiran investor untuk membuka lebar lapangan kerja. Dewasa ini ada 25,5 juta buruh yang bekerja di sektor industri, dan 40 juta lebih penganggur. Di antara mereka terdapat penganggur terbuka (10,8 juta) dan penganggur terselubung (29,6 juta).

Sedangkan pemerintah sangat berkepentingan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk menyerap ledakan tenaga kerja dan pengangguran. Selain itu, tentu menambah pendapatan devisa negara dari ekspor.

Memang yang dikeluhkan para investor; kondisi perburuhan—seringnya terjadi pergolakan dan pemogokan buruh—membuat mereka merasa tidak nyaman lagi berusaha di Indonesia. Mereka pindah ke negara-negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Pakistan, bahkan China.

Advertisement

Namun, tidak realistis bagi para investor bermimpi, kembalinya surga investasi di Indonesia karena pengebirian habis-habisan hak-hak buruh: diatur oleh undang-undang yang menetapkan upah yang sangat rendah, dan melarang demo serta pemogokan buruh. Sebaliknya, juga tidak realistis apabila upah ditetapkan terlalu tinggi, dan buruh diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk melancarkan demo dan pemogokan. Mesti ada langkah-langkah kompromi untuk mempertemukan dua kepentingan yang berlawanan tersebut.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada dalam posisi yang sangat dilematis; memenuhi tuntutan pekerja namun kehilangan momentum untuk merangsang pertumbuhan ekonomi sehingga bisa membuka lapangan kerja. Memang harus diambil jalan tengah, undang-undang tenaga kerja yang tidak merugikan para pekerja, tetapi juga tidak memberatkan para pengusaha.

Di sisi lain, pemerintah menghadapi ancaman ledakan bom waktu pengangguran yang sudah menyentuh angka 40 juta lebih. Sementara itu, tak kurang dari 2,5 juta pencari kerja memasuki pasar kerja setiap tahun. Namun, secara kualitas mereka tidak bisa diserap secara memuaskan oleh pasar kerja dalam negeri. Penyebab utamanya, rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) yang masuk ke pasar kerja. Mereka hanya bisa diserap oleh sektor formal yang membutuhkan tenaga kerja kasar (kurang terdidik). Sekitar 11% pencari kerja atau 275.000 orang, kalah bersaing di pasar kerja. Sedangkan buruh yang kena PHK selama tahun 2005, tak kurang dari 109.000 orang.

Fenomena kebekuan sektor riil selama hampir sepuluh tahun terakhir, mempersuram iklim perburuhan, tidak banyak memberi harapan bagi para penganggur dan pencari kerja. Paling tidak, ada tiga jalan keluar: menekan pertumbuhan angkatan kerja, mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dan mempercepat transformasi sektor informal ke sektor formal. Namun mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 12

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Profil

Berita Wawancara

Berita Ekonomi

Berita Opini

Berita Newsmaker

Berita Hukum

Berita Nasional

Berita Daerah

Berita Politik

Berita Olahraga

Berita Hankam

Lentera

Berita Tokoh

Berita Perempuan

Berita IPTEK

Berita Mancanegara

Berita Media

Berita Feature

Berita Humaniora

Berita Kesehatan

Berita Lingkungan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini