Pilar Utama Mega Center

 
0
169
Pilar Utama Mega Center
e-ti | tokohindonesia.com-ht

[WAWANCARA] – Ketika reformasi bergulir tertiup kencang isu loss generation atau pemotongan satu generasi kepemimpinan nasional. Sumbernya, siapa lagi kalau bukan kalangan muda mahasiswa yang menganggap semua elit politik yang ada sudah terkontaminasi sistem dan bangunan politik Orde Baru. Kontaminasi semua elit termasuk yang mengusung isu reformasi tanpa terkecuali tak bisa lagi dimurnikan, kecuali menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi baru usia dibawah 40 tahun. Sayang isu ini tak bisa ditangkap para mantan pemimpin mahasiswa yang reformasi sedang berusia sekitar 40 tahun, terutama Kristiya Kartika dan kawan-kawan dahulu.

Pimpinan nasional kembali jatuh ke tangan elit berusia sekitar 60 tahun atau masih satu generasi di atas Kristiya. Ketidakmampuan menangkap isu loss generation, salah satu sebabnya menurut Kristiya adalah masa 32 tahun Orde Baru adalah masa-masa yang abnormal dalam hal pengkaderan politik. Dia, bersama kawan-kawan merasakan sudah kehabisan energi bergerilnya di bawah tanah menyiasati pengekangan rejim politik yang otoritarian sehingga pas di ujung perjuangan berhembus angin segar reformasi mereka sudah kehabisan nafas dan praktis tersengal-sengal.

Terbukti, beberapa kawannya yang dahulu terhimpun dalam konfederasi organisasi pemuda KNPI, misalnya angkatan kepemimpinan Tjahjo Kumolo di KNPI periode 1990-1993, hingga sekarang masih berada di lapisan yang kesekian elit politik nasional tanpa seorangpun yang mampu menunjukkan keberhasilan sebagai pemimpin. Sebab selama 32 tahun Orde Baru pemuda dan mahasiswa tidak pernah diberi peluang mengembangkan prakarsa dan kreativitas di bidang politik sebagai anak bangsa kecuali selalu dimobilisasi untuk kepentingan penguasa. Berikut petikan wawancara TokohIndonesiaDotCom dengan Kristiya Kartika, M.Si, berlangsung di Kantor Pusat DPN Inkindo, Jalan Bendungan Hilir Raya No. 29, Jakarta.

Beberapa tahun lalu, bahkan hingga sekarang masih mengemuka ide loss generation atau pemotongan satu generasi kepemimpinan nasional. Setelah era Orde Baru tumbang, kenapa generasi muda seangkatan Anda tidak segera muncul ke permukaan menggantikan pimpinan nasional

Proses perpolitikan di Indonesia tidak normal. Masa 32 tahun Orde Baru itu tidak normal dan sangat… sehingga tidak bisa. Setiap orang sesungguhnya pasti berpretensi melahirkan sejarah, membuat sejarah, tapi sekuen waktunya tidak baik

Anda sekarang masuk sebagai seorang anggota Mega Center, sebuah lembaga pemikir atau think tank yang memberikan masukan-masukan kepada Presiden Megawati dalam merumuskan kebijakan publik untuk memenangkan perebutan kursi kepresidenan 2004. Bagaimana prosesnya Anda menjadi seorang nasionalis?

Saya dilahirkan di Probolinggo, Jawa Timur, pada 5 November 1956. Bapak saya seorang birokrat tapi juga politisi. Dia tokoh PSI, Partai Sosialis Indonesia, pimpinan Syahrir. Bapak saya sosok orang Jawa yang tekun ke gereja, bapak saya Protestan, berasal dari Yogya. Terus, ibu saya dari Nganjuk, Jawa Timur sebelah barat. Dia muslim tapi budaya Jawanya lebih dominan. Ya, biasalah, kalau orang bilang Islam Abangan.

Saya bersaudara lima orang. Yang paling tua laki-laki dan yang paling kecil juga laki-laki, yaitu saya. Yang lainnya perempuan semua. Karena bapak saya seorang politisi, sebagai anggota DPRD, saya disuruh membaca tulisan-tulisan yang, tulisan-tulisan itu kebanyakan memojokkan Sukarno. Dari masa kecil itu justru pada diri saya sudah muncul rasa simpati dan empati terhadap Sukarno, mulai tahun 1960-an. Dan, saya tahu pada waktu itu dan terutama setelah tahun 1965 kondisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan seluruh keluarga besar front marhaenisme dihabiskan. Saya justru bersikap, saya harus ikut PNI. Pada saat semua orang menghabiskan PKI dan men-generalisir bahwa PNI itu sama dengan PKI, saya malah justru berpikir saya harus masuk PNI.

Lalu, apa yang segera Anda lakukan untuk menyemai bibit-bibit sebagai seorang nasionalis yang militan?

Mulai kelas tiga SMP saya sudah masuk GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), sampai akhirnya menjadi seorang aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Itu sejarah poilitik saya. Sebenarnya, dalam pemikiran politik saya muncul antitesa dari buku-buku yang memojokkan Bung Karno. Buku itu macam-macam. Jadi, dari kecil saya sudah dibiasakan membaca tulisan Trotsky, Marx, Syahrir, Tan Malaka, dan sebagainya sampai buku tentang sejarah Fidel Castro. Jadi, saya menyimpulkan Soekarno ideal menyatukan keanekaragaman Indonesia.

Anda menjadi lebih dikenal sebagai sosok mantan Ketua Presidium GMNI karena pernah menjabat selama dua periode dan belasan tahun sebagai anggota presidium pusat. Apa yang Anda lakukan selama menjabat?

Saya mengalami sesuatu yang tidak seindah yang saya bayangkan dalam dunia politik. Ketika beranjak dewasa dan berada di GMNI, saya, ternyata, mungkin termasuk tipologi orang yang tidak suka tenang. Ada saja gejolak. Saya, kalau sebagai anggota GMNI cuma begini saja apa artinya. Saya, di komunitas apapun, kalau tidak berperan aktif ngapain. Dari situ muncul pikiran-pikiran saya. Sebenarnya, pada saat semangat saya tinggi di organisasi dan politik situasi tidak mendukung dimana rezim Suharto sangat menindas. Menindas, termasuk yang saya tahu, menindas anak-anak muda yang kritis. Jadi, antara yang saya rindukan, saya idolakan suasananya, dengan realitas sosial, nggak cocok. Nah, konflik terus-menerus.

Jadi, saya pikir, selama saya di GMNI situasinya berat sekali. Sangat berat sekali, tidak kondusif. Makanya, kalau saya flash back ke belakang, sebenarnya, saat itu adalah masa yang paling cukup berat. Anggapan saya dan teman-teman seangkatan, pada waktu itu, sedikit banyak sudah harus berinteraksi dengan kondisi politik praktis yang ada. Maka, saya dan teman-teman berada dalam posisi yang sulit ketika reformasi akan berlangsung. Karena kita semua sudah menghimpun diri dengan, mau nggak mau, karena kita tidak hidup di alam yang hampa. Jadi, kita menghimpun kekuatan, menghimpun teman-teman, menghimpun gerombolan-gerombolan aktivis, ini sudah dalam kelompok masing-masing. Walaupun sebenarnya, jujur saja, pada waktu itu kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Ada yang masih saya pegang sampai sekarang. Pada waktu itu saya cuma punya prinsip, sebuah pertanyaan yang selalu muncul, saya benar nggak menjalankan GMNI. Karena kita tidak hidup dalam alam yang hampa. Saya berinteraksi, mau tidak mau, dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain pada waktu itu yang suka tidak suka sudah terkontaminasi oleh situasi waktu itu. Bagaimana tidak, GMNI mau melakukan kegiatan saja harus minta ijin, belum bicara duitnya bagaimana. Jadi, tidak bisa mengurung diri sementara tekanan terhadap GMNI bertubi-tubi serta dicurigai macam-macam.

Advertisement

Nah, karena itu saya berpikir ini salah nggak. Lalu saya ingat pikiran Bung Karno. Pada jaman Jepang rakyat Indonesia tidak bisa pakai baju, pakai karung yang dijahit, terus rakyat merasakan kulit rusak macam-macam. Waktu itu Bung Karno menulis di salah satu tulisannya, yang mengatakan, silakan pakai. Pakai saja itu, tapi itu dalam konteks, strategi, atau taktik yang dia sebut unfarding revolusioner, penerimaan secara terpaksa.

Jadi kita menerima keadaan itu, kita memanfaatkan keadaan itu, tetapi tetap dalam hati kecil mengatakan saya nggak suka sebenarnya. Tapi suatu saat saya akan tinggalkan. Dengan pikiran-pikiran semacam itu saya terus jalan. Dan bukan pekerjaan yang mudah membawakan organisasi. Jangankan membawa organisasi, membawakan diri saja, seperti situasi ketemu orang yang menghujat Sukarno, menghujat nasionalisme, itu kan makan hati sendiri. Jangankan mengurus organisasi, meletakkan diri sendiri saja sangat keras.

Nah, karena itu, pada saat-saat terakhir, saat menjelang reformasi, lima tahun menjelang reformasi, saat saya sudah tidak lagi di GMNI, saya diajak oleh beberapa senior saya, Anda harus realistik, Anda harus masuk satu dari sekian organisasi yang saat ini diakui Orde Baru. Wah… apa, Orde Baru? GMNI juga Orde Baru secara formal tapi secara politis tidak diakui. Nah, terus dorong mendorong, tarik menarik, akhirnya sampailah saya ke MKGR. Karena apa, di MKGR itu pertama saya lihat asasnya, dasarnya, walaupun akhirnya saya tahu itu pun polesan saja.

Tapi saya sadar inilah dia unfarding revolusioner itu. Saya lihat anggaran dasarnya persis mirip dengan anggaran dasar PNI sebelum dibubarkan. Karena ternyata yang membuat itu adalah mantan-mantan nasionalis PNI yang kemudian masuk ke MKGR. Sudah, saya berinteraksi di sana. Kemudian saya mendorong, waktu ramai-ramai bikin partai, saya mendorong dengan segala cara saya dari dalam, agar ormas MKGR ini menjadi partai. Nah, berhasillah jadi Partai MKGR.

Target saya pada waktu itu, tapi ini tidak saya sampaikan kepada tokoh-tokohnya melainkan hanya pada hati kecil dan sekelompok kecil teman-teman GMNI yang akhirnya ikut ke sana. Dalam partai ini target kita satu saja, bagaimana kekuasaan partai yang berkuasa di jaman Orde Baru tidak lagi berkuasa. Itu, sebelum pemilihan umum berlangsung. Kita jangan bermimpi. Cukup bagaimana partai penguasa pada jaman itu tidak lagi berkuasa. Itu komitmen, katakanlah pada diri saya sendiri.

Saya lalu berkomunikasi dengan teman-teman lain. Sementara, teman-teman lain yang dari GMNI, karena situasi sedemikian rupa mereka tidak bisa masuk ke PDI-P karena sudah terlanjur masuk ke PDI-nya Suryadi. Jadi, yang masuk ketika itu ke MKGR kebanyakan ya mohon maaflah, kualitasnya seperti itu. Saya sendiri tidak ke PDI Suryadi, tidak ke Golkar, tapi saya milih ke Ormas sebab waktu itu saya sangat ragu-ragu. Dalam bahasa saya, tiarap saja berpolitik. Dalam perjalanan berikutnya saya menjadi pengamat yang baik, mencoba berinteraksi dengan kawan-kawan. Setelah itu berakhir banyak teman mendesak, nggak bisa kamu begitu, wah kamu cari duit saja, kenapa kamu nggak gabung kaum nasionalis, macam-macamlah.

Akhirnya saya berpikir, berpikir, memang habitat awal saya di situ. Akhirnya, saya berpendapat bahwa saya akan dukung Mbak Mega. Lalu, pengertiannya saya, apakah dukung Mbak Mega itu saya harus PDI-P apa nggak, kan tidak harus. Jadi, saya dukung Mbak Mega dan saya ngomong sama teman-teman saya akan dukung Mbak Mega sebagai presiden. Pencalonan Mbak Mega sebagai presiden saya akan ikut dukung. Pada saat sekarang, saya harus konsekuen, maka saya masuk di Tim Mega Center.

Pikiran saya begini. Indonesia selama 32 tahun anggap saja peristiwa yang sangat merisaukan dan membuat kita tidak punya nyali. Pahit sekali 32 tahun kita dibuat seolah-olah tidak bisa berbuat dan tidak bisa apa-apa kalau tidak terkait dengan “mereka”. Dan, itu saya bukan hanya ngomong. Saya sendiri hampir sering seolah-olah terpeleset, ‘ah, tidak bisa tanpa mereka’. Tapi, begitu saya yakin lagi baca-baca buku Sukarno, ‘ah, kita harus berdiri sendiri.’ Tapi tekanan dari aspek politik, sosial, ekonomi, habis memang, efektif, gaya politik orde baru.

Makanya, pada waktu itu banyak anak-anak muda yang sebenarnya berbakat yang bisa dikategorikan dan malah menjadi tokoh, tapi akhirnya tidak muncul. Karena, menurut yang saya alami, kawan-kawan saya sudah kehabisan energi ketika harus bersiasat atau apalah pada saat itu. Banyak sekali mereka. Saya pernah dicalonkan oleh teman-teman menjadi Ketua Umum KNPI tahun 1990. Ini exercise, saya sadar ini exercise. Semua dukung saya. Dalam hati kecil saya saya bilang, ini tergantung dari tentara. Dan benar, apa yang terjadi, saya ditekan. Saya terus maju sampai akhirnya saya bermanuver. Ketika masuk tiga besar saya mengundurkan diri, suara saya berikan kepada nomor dua yang tidak direstui oleh tentara haha… Saya bermanuver seperti itu dan saya tinggalkan itu KNPI.

Jadi, paling tidak, paling tidak, yang saya lakukan, saya tetap lakukan upaya-upaya yang seperti itu. Berat sekali. Bayangin saja, waktu itu anak-anak muda aktivis gerakan mahasiswa dimasukin kamar ditekan oleh Komandan Korem, oleh Kasdam, oleh Pangdam masing-masing. Itu, wah, kalau mengenang waktu itu gila-gilaan. Dan saya pikir, kok ya kuat ya, waktu itu, kenapa saya masih terus di situ, kenapa saya tidak escape, tidak meninggalkan dunia kampus, cari duit atau sekolah, gitu.

Harusnya, harusnya sekarang adek-adek saya itu berpeluang lebih besar untuk merealisir Indonesia yang dicita-citakan. Kalau dulu nggak ada yang dicita-citakan. Bercita-cita saja nggak boleh, kok, ibaratnya begitu. Kita, diskusi saja diawasi oleh aparat. Kita kehabisan energi untuk mensiasati keadaan pada waktu itu. Jadi, kawan-kawan sudah terengah-engah begitu sampai reformasi, ngah-ngah, momentnya sudah hilang. Tapi, saya tidak berpikir apa-apa. Ya, biarlah, kalau soal politik kapan pun bisa menjadi bagian. Tapi, menurut saya, negara ini tidak bisa dipegang oleh kekuasaan seperti kemarin ketika di jaman Orde Baru itu.

Begitu efektifkah pemasungan dan penghancuran proses kaderisasi politik di rezim Orde Baru, sehingga teman-teman seangkatan Anda belum berkesempatan tampil memimpin?

Bukan cuma itu. Sebenarnya, rusaknya ekonomi kita juga karena kita mempersilakan masuk kekuatan kapitalisme internasional tanpa filter apa-apa. Kita tidak membayangkan dunia yang seperti sekarang. Kita tidak bisa menutup diri total dari dunia global, tapi harus ada filter. Dan filter itu adalah ideologi, keyakinan kita. Jadi, di bidang ekonomi apa sih sebenarnya konsep kita. Ada tiga sokoguru ekonomi, koperasi, swasta, sama BUMN. Apa saja itu, kan perlu di-breakdown.

Lalu yang kedua, saya berpendapat selama masa 32 tahun itu adalah proses pengerusakan bangsa. Sekarang, saya tidak pro Mbak Mega, tidak pro Gus Dur, atau siapapun. Tapi, siapapun nanti yang akan menjadi presiden jangan dituntut untuk… Pemimpin-pemimpin sekarang ini ikut cuci piringnya saja tapi pestanya dia tidak ikut. Saya, sampai sempat bergurau sama teman-teman, kalau ada mobil, lebih cepat mana merusak atau memperbaiki mobil. Kan, pasti lebih lama memperbaiki. Rusaknya bangsa ini 32 tahun memperbaiki dikasih waktu lima tahun nggak bisa. Ini bukan sekedar excuse tapi memang nggak bisa, ada proses. Merusak itu lebih cepat dari ngedandanin.

Jadi, saya pikirkan, memang, hanya konsep-konsep nasionalismelah yang bisa merekatkan semua komunitas nasional atau sub komunitas nasional. Baik berdasarkan suku bangsa, agama. Karena itu, yang lebih berpeluang tampil menjadi konsep perbaikan bangsa ke depan adalah konsep nasionalisme. Dan, nasionalis di sini saya tidak setuju jika tanpa makna kerakyatan. Sekarang nasionalis mudah diplesetkan. Tentara yang koruptor nasionalis. Saya, terus terang tidak merasa paling eksklusif merasa nasionalis, tidak.

Tapi, nasionalis jangan asal orang yang cinta bangsa dan negara. Tidak sekedar itu. Nasionalis adalah orang yang menginginkan utuhnya bangsa tapi juga pro rakyat dan nasibnya. Kan, itu persoalannya. Lalu, orang yang korupsi apa itu pro rakyat, ya jelas nggak dong. Sekarang ini gawat. Gus Dur bilang, itu ada orang jenderal yang kemarin mukulin mahasiswa dicap nasionalis. Hebat juga Gus Dur membuat kamus baru. Saya pikir agak tidak bisa menerima. Nasionalis itu lain. Tidak sekedar bukan dari partai agama, bukan sekedar pemeluk atau pelaku agama yang baik, bukan itu. Jadi, nasionalisme sebenarnya ideologi dan kesadaran politik.

Nah, saya pikir Mbak Mega masih punya peluang untuk itu. Masih punya peluang. Setelah saya diskusi dengan beberapa pihak, dan saya dengar sendiri, Mbak Mega itu tidak ambisi. Dia pernah katakan pada saya, dan teman-teman, kalau saya jadi presiden udah biarlah saya presiden karena memang kehendak Tuhan, karena kehendak rakyat, karena keadaan. Jangan saya jadi presiden tapi lawan-lawan atau kompetitor saya kita tembak dengan black campaign. Jangan tembak dengan kampanye hitam. Jangan jelek-jelekkan. Nggak usah, itu tidak akan jadi, percuma. Dia bilang begitu. Dan, jangan sampai Tim Mega memojokkan apalagi yang terkait dengan masalah agama, dengan komunitas suku-suku bangsa.

Dari situ, saya melihat sebenarnya bak Mega ini yah… orang baiklah. Bahwasanya di sana sini ada kekurangan, okelah, itu manusiawi. Dan satu lagi, bagi saya, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk tidak sekedar mempelajari ajaran Bung Karno seperti dulu-dulu. Tapi, dalam batas-batas tertentu sepanjang kondisi memungkinkan, saya ingin meng-applied apa yang diajarkan oleh pikiran-pikiran Sukarno dalam konteks keindonesiaan.

Selain telah terjadi distorsi makna nasionalisme, kabarnya pada Pemilu 2004 ini ada sebuah grand design untuk menghabisi kaum nasionalis, benarkah?

Ya. Jadi begini. Sebenarnya kita ini tidak hidup sendiri. Tekanan bisa bersifat atau datang dari internal atau dan juga dari dunia eksternal. Nah, kita tahulah, nasionalisme untuk diterapkan pada saat globalisasi sedemikian rupa menggejala, itu menjadi sesuatu yang harus dianggap tidak populer oleh sang programmer globalisasi. Sebab kalau nasionalisme kuat berarti globalisasi tidak akan terjadi.

Jadi jelas, nasionalisme berhadapan dengan globalisasi, itu pasti. Dan itu menggunakan tools, menggunakan alat-alat yang efektif sehingga membentuk suatu sub kultur baru ‘saya adalah masyarakat global, saya produk dunia global’, dan sebagainya.

Tapi sebenarnya itu adalah lanjutan dari perang dua ideologi besar sosialisme dan kapitalisme. Yang kapitalisme tak bisa hidup sendiri tanpa mengadopsi sosialisme. Sosialisme juga merasa tidak bisa melaksanakan ajarannya kalau hanya terpaku pada ajaran Marxisme atau Leninisme. Nah, yang ingin saya sampaikan, pintu nasionalisme kalau tidak kita kreasi sedemikian rupa pasti akan jebol. Tidak bisa, ‘oh… saya akan tutup’, tidak bisa, sebab pasti jebol. Tapi, bagaimana meng-create pintu, keadaan, sehingga kultur yang ada bisa menjadi bagian dari grand design perjuangan nasional bangsa ini.

Misalnya satu contoh. Saya terjebak dalam satu tim WTO untuk konstruksi. Dalam setahun bisa ada 10 putaran pertemuan di berbagai negara. Misalnya pintu masuk di masing-masing negara kita asumsikan 100 cm. Yang namanya Malaysia membukanya pelan-pelan sekali, itupun baru kemarin, mungkin hanya 10 cm dari 100 cm yang ada. Cina yang lebih besar juga baru membuka tahun 2001 kemarin 15 cm. Indonesia sudah terbuka semenjak tahun 1994 dan sudah langsung 90 cm. Kesepakatan-kesepakatan dan deregulasi yang dibuat pemerintah di tahun 1994 sudah 90 cm dibuka padahal dunia usaha tidak siap. Saya, bicara ini di konteks dunia konstruksi dimana saya menekuni.

Nah, akhirnya apa, setiap kali pertemuan sepanjang tahun setiap negara dituntut untuk membuka diri semakin lebar. Indonesia tidak mau lagi membuka sebab baru sadar sekarang, pintu yang dibuka pemerintah tahun 1994 membuat kita habis. Karena itu lalu diusahakan, untuk dikurangi nggak bisa sebab harus disetujui oleh semua 110 negara anggota, yang memungkinkan adalah kita tetap atau stand still. Dari tahun ke tahun kita tidak buka tapi juga tidak tutup. Mengapa dan apa yang terjadi di tahun 1994, ini yang big question mark untuk saya.

Kejadian tahun 1994 dengan peristiwa tahun 1998 semua terkait. Jadi, apakah itu artinya nasionalisme sudah tidak relevan, ini kan pertanyaan besar. Membuka pintu 90 cm waktu itu kita tidak ada yang tahu. Dan pejabat eselon sekarang yang waktu itu pangkatnya belum tinggi, juga nggak ada yang tahu. Prosesnya sangat elitis. Jadi, peristiwa tahun 1994 dengan 1998 terkait semua.

Karena itu saya lalu berpikir, menghancurkan paham nasionalisme akan sangat relevan bagi orang yang berupaya mencari pembenaran atas dibukanya pasar mulai tahun 1994. Ini yang harus dijelaskan pada masyarakat. Karena masyarakat tidak tahu sampai sekarang. Artinya, kalau sejak jaman Gus Dur hingga Megawati ekonomi belum pulih, ini sudah dibobol sejak tahun 1994. Jadi, bagaimana bisa cepat memperbaiki keadaan? Dan sekarang, menang lagi kan, Golkar?

Saya, terus terang saja, begitu melihat kondisi sebelum Pemilu 5 April, begitu saya lihat keadaan, melihat pers bagaimana, saya kepada teman-teman yang kebetulan sudah senior di medianya, saya sms-in, ‘Kalau Golkar sampai menang pers bertanggungjawab!’, saya kasih tanda seru. Karena pers juga mendukung. Artinya, memfasilitasi berita-berita mengenai enakan jaman dulu, walaupun itu merujuk kepada omongan orang. Ya, pers memfasilitasi. Saya pikir wah, di sini teman-teman ngumpul kalau sudah sore hari, saya bicara, teman-teman yang beda partai nggak soallah kita boleh dimana-mana, tetapi kalau bisa, pada saat pemilihan presiden nanti, ayo deh kita bantu Mbak Mega. Dan memang, saya PDI-P bukan, caleg juga nggak, nggak ada. Cuma, agak teriris perasaan saya, waduh… kok anak Sukarno mau dijadikan seperti Sukarno lagi, proses menjatuhkan, ini sudah sejak tahun 1994.

Nasionalisme itu supaya lebih populis dan modernis harus dikreasi ulang. Bagaimana kreasinya?

Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan. Dan kita bisa bercermin pada negara tetangga untuk perbandingan. Satu contoh, misalnya, yang paling mudah yang saya geluti. Malaysia mengeluarkan apa yang disebut dengan Engineer-X. Artinya, investor yang mau masuk ke Malaysia silakan tapi harus menggunakan engineer, insinyur Malaysia lebih dari 50 persen.

Terus yang kedua, saya tidak tahu apakah ini proses pembusukan atau apa. Tapi, ketika saya tanyakan pada Mbak Mega dia sampai terbengong-bengong, kaget. Lima hari sebelum Pemilihan Umum 5 April 2004 tarif telepon naik. Yang ingin saya katakan, bahwa basic need, kebutuhan dasar rakyat, itu apa. Jadi, jangan kita ini, termasuk tokoh-tokoh PDI-P yang sekarang menjadi menteri atau pemikir yang katanya nasionalis, jangan tertarik dan terbawa oleh arus Orde Baru yang mengutamakan elit ekonomi. Jadi, prosesnya proses elitis begitu.

Padahal kita sebenarnya bukan begitu. Kalimatnya adalah untuk dan bersama-sama rakyat. Jadi untuk rakyat dan bersama-sama dengan rakyat. Artinya apa, setiap proses pengambilan keputusan harus mengutamakan kepentingan rakyat. Dan kalau bisa, prosesnya memang benar-benar menanyakan kepada rakyat, ya lewat DPR. Nah, sekarang kan nggak begitu. Jadi, konteks nasionalisme itu tidak harus dengan kekerasan tidak harus dengan kemuraman. Konsep nasionalisme tidak sekedar dimulai dari apa yang terjadi dahulu tapi harus dikreasi. Nasionalisme tidak harus compang camping tidak harus belet.

Untuk memperbaiki bangsa yang telah mengalami proses pembusukan selama 32 tahun, menurut Anda bagaimana?

Yang kemarin ini masih pembusukan, lo. Karena, kekuatan-kekuatan sisa-sisa Orde Baru masih menguasai birokrasi sampai ke bawah-bawah. Ini sebenarnya masih pembusukan. Jadi, 32+5 total 37 tahun pembusukan. Terlalu lama, jadi sistematis.

Kalau mau memperbaiki keadaan, pertama harus dilakukan strategi ekonomi secara komprehensif yang mengarah pada upaya-upaya melakukan pembangunan yang berdasar pada sumberdaya alam setempat. Jadi, resources base development, pembangunan berdasarkan pada sumberdaya yang ada. Baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam.

Kalau kita mengutamakan industri pesawat terbang yang tidak resources base development tidak akan memberikan added value yang jelas. Jadi, mari kita membangun industri yang resources-nya ada di Indonesia. Tidak gampang tapi mari coba kita lakukan. Singkat kata resource base development atau resource base economy. Negara lain seperti India pada mulanya seperti itu. Malaysia saja bisa. Malaysia itu protektif tapi ada hasilnya. Yang namanya Mahathir, orang bilang apapun atau otoriter, tapi rakyat ekonominya bagus.

Kalau perbaikan secara politis, bentuknya bagaimana?

Oh, itu pasti. Untuk bisa melaksanakan itu perbaikan secara politis harusnya. Tidak bisa militer. Tapi, mereka letakkan pada proporsi yang benar kembali back to barck atau apa, itu silakan. Tapi, memang, untuk bisa melaksanakan resources base economy atau resource base development butuh kepemimpinan sipil yang kuat. Yang punya kesadaran itu nggak banyak. Tentara? Ya, tentara itu pertama komando, kedua tentara kalau ditanya ada dua instruksi yang satu instruksi keluhan rakyat satu lagi instruksi atasan. Tentara pilih instruksi atasan, nggak bisa tidak. Kalau sipil paling nggak masih mikir rakyat gimana.

Belakangan ini mulai muncul negative campaign, atau black propaganda diantara sesama kandidat presiden. Dan tentara sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti itu. Misalnya, kekuatan sipil dianggap tidak mampu atau dikondisikan untuk tidak mampu. Komentar Anda?

Itu memang salah satu tools mereka. Tapi, bahasanya, apakah itu black propaganda atau black campaign, rakyat itu harus diberitahu apa adanya. Informasi kepada rakyat harus terbuka, open. Siswono adalah ini, Megawati kelebihan dan kekurangannya ini. Juga tentang peristiwa 27 Juli 1996 SBY dimana, pada peristiwa Trisakti dan Semanggi dimana Wiranto dan SBY apa, itu harus dibuka semua. Banyak masalah yang harus dibuka.

Jadi, kalau dulu di tahun 1999/2000 orang pernah bermimpi potong generasi, itu saya setuju. Semua orang yang terlibat pada waktu itu, tidak bisa, semua ikut, kok, semua dapat, kok, tapi semua didukung oleh rakyat. Makanya, saya pikir, bagus juga kita hidup ini. Apalagi sekarang, ya mohon maaf ini, ada data diantara calon-calon presiden itu ada yang didukung oleh konglomerat hitam, penjudi-penjudi besar, mereka mencari berbagai cara supaya eksis. Berat kondisi kita. Ini sangat kejadian, sampai kejadian militer yang jadi lagi, waduh, saya sudah bayangkan, yang terjadi tigapuluh tahunan yang lalu akan terjadi lagi. Loss generation, menurut saya, terpenggalnya satu sekuen sejarah perpolitikan. Katakanlah yang terjadi ibaratnya generasi yang di sini diambil lalu terjadi discontinuity. Nah, maka itu yang sebenarnya disebutkan loss generation dalam pengertian pengalaman saya.

Dalam konteks pasca kejatuhan Pak Harto tidak terjadi loss generation itu. Pemimpin politik lama keluar tidak digantikan generasi baru dari kalangan aktivis mahasiswa dan pemuda, seangkatan Anda?

Ada beberapa hal yang memang harus dipikirkan sebagai faktor, dan tidak sederhana. Bayangkan saja, pada waktu itu saya menganggap, ini contoh-contoh sesama kader GMNI, saya menganggap kawan-kawan saya yang masuk partai bukan hanya partai Golkar termasuk partai PDI-nya Suryadi, itu saya anggap sebagai Orde Baru. Kan, begitu, pandangannya pada waktu itu. Nah, ketika terjadi pergeseran kemudian muncul partai-partai banyak. Sebenarnya kita, pada waktu itu sudah terjadi ketegangan-ketegangan politik.

Yang kita pikirkan adalah bagaimana menghancurkan infrastruktur politik yang ada sejak jaman Orde Baru dengan membangun infrastruktur yang baru. Tetapi kita sadar, bahwa infrastruktur politik Orde Baru itu pasti tidak bisa sama sekali baru, sama sekali berbeda, tidak bisa. Coba sekarang, yang muncul dari Pemilu 1999 kan politisi-politisi lama walaupun pakai baju baru PDI-P. Seperti Jacob Tobing, Tjahjo Kumolo, Golkar kan dulunya? Kalau kita tanya sekarang, Amien Rais itu siapa dulu, jaman Orde Baru kan Ketua Muhammadiyah? Muhammadiyah itu dukung Golkar pada waktu itu. Dia sekarang masuk dalam PAN. Jadi, itu-itu juga.

Nah, kita yang ingin menghancurkan itu terus terang saja ada ketegangan politik pada waktu itu. Itu fakta, lo. Jadi nggak bisa. Itu, yang menurut saya kemudian memang masih perlu proses transisi lagi.

Makanya pandai-pandainya Sarwono merubah diri tetap eksis, terus Hayono Isman, Edi Sudrajat, persilatan politik yang sebenarnya ganti baju. Sekarang ini bicara politik praktis senjatanya kan nggak macam-macam. Saya berani bertaruh politik praktis itu akhirnya duit, amunisinya duit. Pada saat jatuhnya Orde Baru ada tiga komunitas besar yang memegang kekuasaan duit terbesar. Pertama adalah Soeharto and his family, yang kedua adalah kroni Soeharto yaitu pengusaha-pengusaha yang diuntungkan oleh Soeharto, dan yang ketiga adalah jenderal-jenderal. Tiga ini yang pegang duit kas.

Selepas dari GMNI kiprah politik apa yang Anda jalani? Dan, sudah menjadi apa Anda sekarang?

Saya bukan siapa-siapa. Saya adalah diri saya yang berperan sebagai individu. Saya mencoba atau sudah melaksanakan, meng-aplied apa yang pernah menjadi keyakinan saya dalam sisi-sisi dimana sekarang saya bisa lakukan. Jadi, misalnya, bagaimana konsep-konsep katakanlah WTO yang membuka pasar global, itu akan saya tembak terus, akan saya persalahkan terus. Karena itulah yang menjadi penyebab utama dari rusaknya ekonomi kita.

Saya ingin mengatakan bahwa kedaulatan ekonomi kita harus kembali dulu. Kedaulatan ekonomi kita itu mulai dibuka sejak tahun 1994. Saya bukan sekedar mencari salah, tetapi mencari substansi persoalannya apa. Kalau nggak ketemu, ibarat dokter tidak menemukan suatu diagnosa yang tuntas penyakitnya apa, kan nggak bisa mengobati. Menurut saya, itulah salah satu yang paling fundamental yang membuat kita terperosok.

Tentu, sebagai bagian dari masyarakat dan orang yang berada di pinggiran, kan saya tidak dalam kekuasaan, ada perasaan-perasaan ingin membangun masyarakat negara dan bangsa ini sesuai dengan yang saya yakini dan sampai saat ini masih saya yakini. Oleh karena itu, saya membentuk komunitas, atau terlibat dalam komunitas-komunitas yang lain, yang tidak harus politis, tidak harus merupakan gerakan politik. Apakah di asosiasi atau yang lain, itulah menurut pemahaman saya.

Kalau ada yang menanyakan, Anda kelihatannya anti tentara tapi Anda dulu bersahabat dengan tentara. Sampai sekarang saya juga bersahabat dengan tentara tapi secara pribadi. Tetapi militerisme itu tidak bisa diterima. Di negara manapun nggak bisa, di negara yang pandangannya apapun. Dan itu terbukti gagal. Karena itu, kalau saya melihat, sebagai manusia saya melihat sebagai sesuatu relasi dalam hubungan yang dialektis saja. Jadi, relasi yang dialektis itu membuat saya harus bergaul dengan siapapun juga. Tetapi, saya juga harus melakukan pikiran-pikiran yang kritis terhadap siapapun juga. Saya tidak mau menjadi bagian dari pikiran siapapun yang itu salah, atau paling nggak itu tidak saya yakini. Bisa yang tidak saya yakini benar, tetapi paling tidak yang tidak saya yakinilah.

Dan dalam pengalaman saya setelah agak lepas dari GMNI, ternyata kemerdekaan berpikir itu nikmat luar biasa. Dulu, saya merasa di GMNI bagian dari birokrasi. Karena apa, membawa gerbong GMNI kalau gerakannya terlalu frontal GMNInya dihabisin, kita dianggap under… oleh senior nginjak-nginjak kita. Terlalu baik dengan kekuasaan wuah…jual GMNI, kan begitu. Begitu keluar dari GMNI saya merasa keluar dari birokrasi. Kemerdekaan berpikir itu luar biasa nikmat. Bukan berarti saya tanpa koridor, saya tahulah. Dan sebenarnya, anak-anak Indonesia, orang-orang Indonesia, harus berpikir agar kemerdekaan berpikir itu ditumbuhkan dalam sistem pendidikan kita sekarang ini.

Pasca GMNI? Saya termasuk orang yang suka bergaul dengan banyak orang yang berbeda-beda, yang bervariasi dengan spektrum yang luas, tapi dalam konteks pengorganisasian yang benar. Dan saya ingin, dan ini mungkin ciri saya yang kurang baik, kalau bisa saya ingin tidak hidup dari politik. Artinya, kalau saya terjun di politik sedapat-dapatnya saya malah membawa sesuatu untuk politik. Tapi katanya itu jadi politisi amatir, saya nggak tahu.

Jadi, posisi politis Anda sekarang ini berjuang sebagai seorang teknokrat pemikir, atau praktisi politik, dimana kecenderungan anda?

Saya tidak ingin memisahkan. Tapi masyarakat atau paling tidak Andalah yang menilai. Bagi saya, sebenarnya saya mengidolakan pemimpin kalau di Indonesia itu kaya Bung Karno, kalau di dunia kaya Fidel Castro. Jadi, orang yang punya sikap, tapi dia benar-benar bukanlah menara gading, tidak steril. Dengan kekuasaannya yang tidak steril akan menyebabkan pemimpinnya juga tidak steril. Tapi kalau kekuasaan dibentuk berdasarkan sterilisasi masyarakat, pemimpinnya juga akan steril.

Dimana-mana, di negara manapun, sebenarnya tools yang digunakan untuk membangun memperbaiki keadaan bangsa dari segala sisi adalah partai. Di sistem komunis atau kapitalis semua partai. Nah, partai yang mesti dibenahi. Partai yang benar-benar menjadi alat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Tapi, kalau partainya sudah terkooptasi dengan kekuasaan, partainya menjadi alat dari sebuah rezim, itu juga nggak benar.

Karena itu saya sangat kagum dengan pikiran-pikiran atau perilaku beberapa orang di tempo dulu. PNI di jaman itu ada ketentuan, bahwa ketua umum partai, waktu itu, dan pengurus pimpinan pusat partai, tidak boleh masuk DPR. DPR nggak boleh karena partai ngontrol. Itu salah satu. Paling nggak, substansi yang saya katakan bahwa partai itu harus menjadi alat kontrol yang kuat. Terserah caranya bagaimana. Jadi yang mesti dibenahin itu partai, diperkuat, dan diletakkan pada porsi yang benar.

Tetapi kenyataan, realitas politik di Indonesia belum bisa seperti itu, lebih dominan tarik-menarik kepentingan?

Saya, sekarang ini berfikir, kalau memungkinkan saya akan masuk dan memperbaiki partai. Soal partainya, nggak tahu saya partai apa. Karena itu saya dulu memaksakan diri, ketika Orde Baru tumbang, walaupun tugasnya bukanlah untuk memenangkan. Target kita adalah untuk membuat partai pemenang tidak menang lagi.

Sejak menjadi Ketua Presidium GMNI Anda sudah dikenal sangat dekat dengan Jenderal (Purn) Rudini, mantan KSAD, Menteri Dalam Negeri, dan terakhir Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rudini sepertinya bisa menerima pikiran-pikiran nasionalis disamping dia cukup memberikan pencerahan kepada bangsa. Sebegitu dekatkah Anda dengan dia?

Betul. Ketika saya mendirikan Partai MKGR Pak Rudini saya tarik menjadi dewan pertimbangan. Terus, ketika pembentukan KPU kita berjuang agar Rudini bisa menjadi ketua. Jadi Rudini waktu itu mewakili MKGR.

Bukankah MKGR itu sendiri bagian dari Golkar?

Tadinya, iya. Kita kan ingin meretakkan. Ketika saya masuk MKGR, MKGR ini sudah mulai nggak cocok dengan Golkar. Itu benar-benar terjadi. Karena itu saya langsung diangkat jadi Sekjen. Rudini kita bawa dan dia komit sebagai lambang perlawanan Orde Baru.

Anda kelihatannya berpolitik namun tidak punya ambisi. Padahal sebagai politisi harusnya Anda berambisi walau tidak baik ambisius?

Saya ambisi ada. Dalam pengertian ketua umum sebuah partai, ada. Tapi sudah trauma betapa keadaan seperti ini. Jadi, saya itu merasa agak rendah kalau mengharapkan hidup dari politik. Karena pasti korup, dalam sistem yang seperti ini. Kalau nanti sistemnya diperbaiki, mungkin nggak. Saya bergaul dengan penguasa-penguasa berpuluh-puluh tahun, walau kita merasa tertindas, semua korup. Jadi trauma saya. Terus terang saya trauma hidup dengan hidup dari politik.

Itu mungkin penyebab anda berpolitik selalu tidak tuntas?

Mungkin juga. Tapi saya punya prinsip tidak akan pernah berhenti di politik walaupun ada masa-masa up ada masa down, up and down. Jadi, sebetulnya saya juga nggak tahu itu kelemahan atau kelebihan. Kalau saya bisa meyakini diri saya bahwa sesuatu itu benar, sesuatu yang menurut saya wajar, saya akan kerjakan. Sebab di Tim Mega saya tidak pernah berpikir, habis ini saya akan menjadi anggota DPR, nggak.

Saya tidak munafik. Kalau saya, misalnya, ditugasi untuk apa yang tidak langsung berhubungan dengan politik, itu penugasan bagi saya. Bahkan cita-cita saya, saya kan sekarang sedang memproses S-3 bidang manajemen, S-2 kemarin saya ambil di UI juga bidang manajemen, sudah sejak 10 tahun yang lalu saya kepengen ngajar. Saya tidak muluk-muluk berprinsip jadi bapak guru bangsa. Independensi seorang dosen lebih bisa diwujudkan jika saya menjadi dosen, daripada menjadi yang lain.

Jadi, secara politis Anda sesungguhnya bukan ambivalen atau peragu seperti yang lain?

Mudah-mudahan nggak. Saya bukan peragu seperti orang yang Anda bilang. Saya punya keyakinan perbaikan bangsa lewat partai. Artinya partai dibetulin. Kalau partai dibuat betul, dibuat sehat, bangsa ini ada harapan. Tapi, kalau partainya sudah nggak betul nggak bisa. Satu-satunya tools yang paling demokratis atau dalam iklim yang demokratis, menggunakan tools partai itu yang paling benar. Jangan di luar partai sebab menjadi liar nanti, out of control. Saluran demokrasi itu partai yang paling berkuasa, bahkan melebihi kekuasaan pemerintah.

Sebagai bagian inti dari Mega Center, apa yang bisa Anda sumbangkan untuk menjagokan Mbak Mega?

Yang pertama, saya mendorong Mbak Mega untuk benar-benar, dan ini sudah terbukti berjalan, untuk benar-benar membela kepentingan rakyat bawah.

Ketika kemarin APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat), itu protes keras gulanya jatuh, saya bilang. mbok ya ngomong, ngadep ke Presiden apa yang diinginkan. APTR ini terdapat 30 juta orang anggota keluarganya, basisnya di Jawa Timur paling banyak, lalu Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Mereka sangat well organized, luar biasa. Duit mereka punya. Seorang teman kita, kader GMNI Brawijaya Malang, sekarang dia kepala dinas, itu benar-benar menutup gula impor masuk Jawa Timur. Gubernur ikut dia, setuju.

Ngadep presiden difasilitasi oleh teman-teman, nama ketuanya Arum Sabil. Terus ditanya oleh Mbak Mega, Pak Arum, kenapa sih sekarang kok gula petani itu jatuh, yah karena banyak gula selundupan, lo, kenapa gula selundupan tidak dibasmi. Ngomong petaninya, ibu jangan marah ya, boleh saya ngomong, jangan tersinggung, nggak, nggak, karena, katanya, isunya itu ada yang mem-backing, mem-back up. Siapa? Yang mem-back up itu namanya Peti Kemas, maksudnya Bapak Taufiq Kiemas. Yang benar? Iya, benar. Tidak benar, saya berani jamin tidak benar, itu hanya isu. Petaninya bilang, saya terimakasih kalau tidak benar, berarti tidak ada kepentingan kan, ya dimusnahkan saja gula-gula itu. Lebih dari 180 peti kemas gula impor itu di Tanjung Priok. Makanya ditenggelamin. Oke, akhirnya pemerintah yang menenggelamkannya.

Sekarang APTR itu Pro Mega. Sederhana, maunya petani, kok. Artinya, kalau memang pemerintah atau presidennya berpihak dia akan dukung, siapa saja. Sekarang kan Mega masih Presiden, punya wewenang untuk bakar gula impor ilegal. Coba kalau presidennya tidak ingin ditenggelamin, kan nggak bisa juga. Nah, sekarang APTR yang lakukan itu. Cari lagi, petani beras itu apa butuhnya, tapi riil. Sebagai presiden kan dia bisa bikin Keppres. Saya bilang, ibaratnya Mbak, menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan rakyat, ndak apa-apa, saya bilang gitu. Tapi, kalau bisa jangan menyalahgunakan, nanti urusan dengan DPR.

Jadi, saya mendekatkan saja, mengembalikan kepada substansi ajaran marhaenisme. Saya hanya kembalikan kepada basic idea dimana bapaknya, Bung Karno, juga mengajarkan seperti itu. Bela rakyatlah, bela wong cilik. Besok dengan petani garam, misalnya, besok bikin kebijakan apa, gitu aja terus, terus, kaum marhaenlah.

Tentang Tim Sukses Mega Center?

Yang saya tahu, saya ini dimasukkan di Tim Mega Center, think tank-nya lah. Kebanyakan pastinya orang-orang non partai, non PDI-P, orang-orang ilmuwan seperti Sri Adiningsih, Hermawan Sulistyo, Kusnanto Anggoro, Riswandha Imawan, Cornelis Lay, Sri Mulyani yang sekarang masih berkantor di Amerika sebagai Direktur Eksekutif IMF. Banyaklah.

Bagaimana cerita pemburuannya Anda bisa masuk dalam lingkaran dalam Mbak Mega?

Saya, dua tahun lalu, sehabis Musyawarah Nasional ada kebutuhan Asosiasi Inkindo harus menghadap Mbak Mega. Waduh, saya pikir, karuan jamannya Pak Harto, nggak kenal. Kalau sekarang mengajukan permohonan terus ditolak, kan malu, sebab orang-orang ngerti kalau saya GMNI. Saya bermanuver dulu supaya begitu mengajukan ada jaminan diterima.

Dia kan GMNI dulu, sudah lama saya nggak ketemu dia. Saya telepon ke Guruh, saya ceritain saya mau ketemu Mbak Mega. Oh iya, katanya, jadi kapan datang, sekarang, katanya. Saya lalu ke Bali, bersama istri saya ditemanin Laksamana Sukardi sebab waktu ada acara Bali Recovery pasca ledakan bom Bali Oktober 2002. Ya udah, saya ke sana, jadi panjang ngobrolnya, sampai lima jam.

Setelah itu, Guruh bilang, Mas Kris ngambek, sekarang, kata orang-orang cuma nyari duit saja. Padahal nggak juga, dia nggak tahu saja. Mbok ya Mbak Eganya dibantu, kata Guruh, di depan Laks itu, oh iya mas, cuma saya bantunya nggak bisa di partai Mas, ya sudahlah, bantu saja. Terus, nggak tahu setelah saya ngomong gitu, kapan mau menghadap Mbak Mega, ya kapan mas, iya kapan maunya, Mega bisa besok lusa. Saya lalu bikin surat, heran teman-teman di Inkindo bisa langsung diterima. Mereka nggak tahu jalur GMNI. Pas diterima Mbak Mega ketawa-ketawalah, saya dulu di GMNI begini…begini… cerita-ceritalah, menyenangkan sebab dia sebagai manusia juga.

Setelah itu saya diundangi terus. Terus teman-teman nanya, kapan mau bantu Mbak Ega. Ya, nantilah, tunggu Tim Kepresidenan. Saya bilang begitu bukan untuk bohong, sebenarnya, saya nggak mau ke timnya partai, kan nggak enak, saya tahu dirilah, saya nggak maulah. Saya bantu nanti Mbak Mega di kepresidenan sajalah di Tim Sukses. Dan begitu selesai Pemilu saya langsung dipanggil, diundang, ya udah, saya mau posnya di sana, di rumah dia di Teuku Umar.

Target Mega Center?

Kalau Mega Center memberikan masukan-masukan saja. Jadi ada tiga, sebenarnya. Tim Sukses Partai mempertahankan suara yang sudah dicapai partai kemarin dalam Pemilu 5 April. Mega Center itu think tank. Terus, ada Tim Sukses Kepresidenan untuk menjaring pemilih baru yang kemarin tidak memilih PDI-P. Nah, saya di Mega Center masuk, di Tim Sukses Kepresidenan masuk sebagai non partai non struktural.

Anda sejak tahun 2002 terpilih menjadi Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia atau Inkindo. Bisa dijelaskan tentang kiprah Inkindo?

Inkindo adalah asosiasi perusahaan konsultan. Jadi anggotanya bukan individu tapi perusahaan yang mayoritas bergerak di bidang jasa konstruksi. Tapi, ada juga yang non konstruksi, yaitu jasa keuangan dan sebagainya. Saat ini anggota kita 5.700 perusahaan di Indonesia. Dari segi organisasi rapi, sebelum saya ketua juga sudah rapi.

Saya sudah berada di Inkindo sejak tahun 1988. Jadi, ketika saya di GMNI pun saya sudah merangkap di sini sebagai wakil dari PT Hamas Aeba yang anggota Inkindo. Nah, saya di sini sejak 1988 mulai dari anggota biasa bersama Adi Sasono. Saya dan Adi anggota pengurus Tingkat DKI. Terus Munas masuk menjadi anggota dewan pengurus pusat. Saya Wakil Sekjen dua kali, terus Wakil Ketua Umum sekali, terus Sekjen sekali, sekarang baru Ketua Umum periode tahun 2002-2006. Saya mulai dari bawah.

Pasar yang dikuasai anggota Inkindo mayoritas jasa konsultan. Yang bisa mengeluarkan sertifikat jasa konsultan saat ini hanya Inkindo, menggantikan posisi peran pemerintah yang dulu.

Program kita ada empat besar. Pertama, penciptaan iklim kondusif bisnis konsultan. Yang kedua, peningkatan kualitas tenaga ahli dan perusahaan. Ketiga, penguatan institusi keorganisasian. Dan keempat, memperluas pasar jasa konsultan.

Kita sudah beberapa kali mengantisipasi globalisasi. Kita sudah mengadakan beberapa perjanjian dengan asosiasi negara lain. Kemarin, Oktober 2003 di Bali kita jadi tuan rumah TCDPAP, Technical Consultant to Development and Progress for the Asia and the Pasific, sebuah forum pertemuan tehnik tahunan asosiasi konsultan se Asia Pasifik. Sebelumnya berlangsung di Vietnam, waktu itu saya datang dan berusaha agar pertemuan selanjutnya bisa diadakan di Indonesia. Di Bali berlangsunglah perjanjian-perjanjian pengakuan. Jadi, kualitas tenaga ahli Indonesia diakui di sana, Vietnam, Malaysia. Target kita negara Asean dulu.

Terus, tentang kerjasama untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia kita kerjasama dengan beberapa lembaga dan perguruan tinggi. Di Indonesia sudah ada enam atau tujuh perguruan tinggi, dengan luarnegeri terdapat dua perguruan tinggi di Malaysia. Kita kembangkan program-program karena bisnis konsultan menjual knowledge, bukan menjual fisik bahan bangunan. Kalau studi ya studi, kalau gambar ya gambar, dan sebagainya.

Bisnis ini agak cocok dengan kita. Banyak teman-teman GMNI agak cocok dengan bisnis ini. Jadi, mereka bermimpi, dituangkan dalam bentuk studi. Kalau dulu studinya dibikin tapi nggak dibayar, sekarang bikin studi dibaca orang dan dibayar pula jadi enak. Itu, tadi saya bilang kelihatannya asyik juga berpikir bebas walau tetap ada koridor berpikir, bebas menuangkan gagasan, dibayar lagi. Senanglah. Kalau menurut saya agak cocok dengan kebiasaan dulu. Sampai sekarang, lumayan eksistensi Inkindo, lebih baik, program-program kita di tingkat internasional juga sudah lumayan mendapat respon yang baik.

Eksistensi Inkindo, kan, semakin diperkuat oleh pemerintah berdasarkan UU Jasa Konstruksi yang baru?

Ya. Jadi, menurut UU No. 18 tahun 1999 dan didukung PP No. 28, 29, 30 tahun 2000, Inkindo merupakan satu-satunya asosiasi yang bisa mengeluarkan sertifikat. Dulu pemerintah mengeluarjkan TDR (Tanda Daftar Rekanan), sekarang hanya oleh Inkindo namanya sertifikat DRM (Daftar Rekanan Mampu). Dulu administratif sifatnya sekarang melihat kompetensi. Ketika sertifikasi programnya kita buat, konsepnya kita buat, kita jual di Bali untuk dipakai se Asia Pasifik, mereka lalu minta ditranskrip ke dalam bahasa Inggris untuk distandarkan se Asia Pasifik. Ya, lumayanlah, kerjaan teman-teman semua ini.

Kalau kita lihat ekonomi Indonesia sempat terpuruk jauh, dan belakangan ini kelihatannya mulai naik lagi, sektor konstruksi pasti akan ikut melambung. Bagaimana Inkindo mengantisipasinya?

Kalau kita mau jujur, bukan karena saya bantu Mbak Mega, kalau mau jujur keadaan memang mendukung. Nilai tukar dolar normal, suku bunga perbankan sekarang terendah, sebelum krisis pun terendah yang sekarang ini, terus cadangan devisa tinggi sekali. Nggak tahu saya, tapi kebetulan saja waktu Mbak Mega pegang ekonomi kondusif sekarang.

Jadi, dengan kondisi kondusif semacam itu kita malah memprediksi pasar kita meningkat keras. Untuk tahun 2004 saja pasar untuk jasa konstruksi sekitar Rp 154 triliun. Pada konstruksi ada jasa kontraktor, konsultan, dan pemasok. Nah, pangsa konsultan biasanya mencapai 25 persen berarti hampir Rp 40 triliun. Jadi, terus naik setiap tahun. Itu dikerjakan oleh konsultan nasional anggota Inkindo.

Nah, itu tidak bisa jalan kalau kita, atau kami, tidak mempersiapkan peningkatan kualitas tenaga ahlinya. Kita akan terus lakukan upaya-upaya bekerjasama dengan lembaga-lembaga apapun baik dalam maupun luar negeri. Kelemahan kita selama ini kemampuan bahasa Inggris. Persoalan klasik itu. Kita akan memfasilitasi kerjasama antara perguruan tinggi swasta di Jakarta dengan perguruan tinggi negeri di Malaysia, membuka Program S-2 di Jakarta dengan twin degree. Jadi, gelar dobel dari sini dapat dari sana Universiti Teknologi Malaysia (UTM) juga dapat.

Persoalan terbesar yang kita hadapi memang bukan hanya pasar tapi yang juga penting adalah tumbuhnya iklim bisnis yang kondusif di jasa konsultan. Jadi sebanyak apapun, sehebat apapun proyek yang tersedia, kalau konsultan tidak siap bukan hanya siap dalam arti keahlian, permodalan, dilihat dari aspek profesi yang diantaranya adalah code of conduct, code of ethic, kode etiklah khususnya, maka profesi ini tidak akan melakukan praktek profesinya sesuai dengan kepentingan masyarakat. Malah, menjadi bagian dari kroni kekuasaan yang asosial. Itu yang terjadi.

Konsultan gawat sekarang ini. Yang namanya proyek-proyek dari luar negeri, terutama sejak tahun 1998 ketika krisis, tidak hanya bersifat fisik misalnya infrastruktur jalan atau jembatan. Di dalamnya ada yang disebut social empowerment, ada pemberdayaan masyarakatnya. Contohnya begini. Misalnya pemerintah punya program jaringan saluran air drainase, ada unsur pemberdayaan masyarakatnya. Kenapa, karena masyarakat internasional sadar sesadar-sadarnya bahwa pembangunan selama 32 tahun dilaksanakan oleh Soeharto dan Orde Baru itu salah. Artinya, berorientasi pada fisik semata tetapi manusianya tidak dibangun mental, attitude, dan sebagainya.

Sekarang sehebat apapun, sebanyak apapun duit kita, sekaya apapun, kalau attitude-nya tidak baik kan habis kita, tidak bisa mengelola pembangunan, tidak bisa continuity seperti negara-negara Eropa. Bagaimana negara Eropa yang bangunannya sudah 500 tahun masih aktual dan dipelihara. Indonesia, gedung-gedung kuno malah dihancurin dijual untuk kepentingan investor.

Mudah-mudahan tercipta proses iklim bisnis jasa konsultan yang kondusif. Sebab sebesar apapun kue yang tersedia kalau mental kita tidak bagus ya cepat dilibas. Seperti terjadi tahun 1998 dollar naik sampai Rp 15.000. Karena apa, basic ekonomi kita yang disebut dalam teori ekonomi neo klasik trickle down effect itu keropos makanya tidak pernah down. Sekarang model ekonomi yang trickle down effect harus diganti dengan ekonomi berdasarkan berbasis ke bawah, yang saya sebut resource base economy atau resource base development. Jadi, pembangunan yang berdasarkan pada sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Indonesia sendiri.

Konsultan, biasanya kan bisa dengan mudah diajak kongkalikong oleh pelaksana proyek di lapangan?

Benar itu. Karena itu pernah saya katakan, krisis 1998 yang banyak kredit macet konsultan harus ikut bertanggungjawab. Konsultan punya peluang membuat ekonomi kredit macet. Karena apa, feasibility study yang dibuat di-mark up sehingga ketika kebutuhan duit misalnya Rp 50 miliar, bank bisa mengeluarkan Rp 75 miliar atas rekomendasi konsultan. Jadi apapun yang terjadi, bertahun-tahun proyek itu tidak akan bisa mengembalikan pinjaman yang Rp 75 miliar karena memang ukurannya Rp 50 miliar, ibaratnya begitu.

Setelah kita selidiki ternyata tidak semua konsultan demikian. Yang begitu kebanyakan adalah perusahaan yang tergolong inhouse consultant. Jadi, contoh seorang konglomerat terkemuka. Dia punya perusahaan kontraktor, punya developer, juga punya perusahaan konsultan yang pemegang saham mayoritas adalah dia. Dia sudah pernah kita pertemukan dengan dewan kehormatan. Pada akhirnya, perusahaan dia itu sekarang sudah tidak lagi beroperasi karena mungkin takut ditindak.

Saya tidak ingin mengatakan memberi garam di laut. Tapi, kalau bisa dicek di lapangan, sebenarnya, dibandingkan dengan kualiti dalam penegakan code of ethic dan code of conduct dengan teman-teman dari kontraktor mereka lebih parah. Itulah sebabnya kita gelisah. Kalau begini terus, siapa yang disebut kelas menengah dalam lapisan Indonesia ini. Padahal negara maju dalam arti sebenarnya, ya kulturnya, politiknya, ekonominya, itu maju kalau lapisan menengahnya kuat.

Anda bisa bercerita sedikit tentang keluarga Anda?

Ya, istri saya satu dan anak ada dua orang. Anak saya yang besar baru lulus program D-3 dari UI. Sekarang dia mau melanjutkan lagi, namanya Devi Cristiany, perempuan. Yang kedua namanya Bima Iriandika, kelas dua SMA, lelaki. Mereka, di luar dugaan saya, agak sama kegemarannya dengan saya yakni membaca-baca buku politik. Malah, mereka kemarin menantang saya, kok nggak kampanye. Nggak tahu, mereka yah, buku-buku politik saya banyak sekali mereka baca. Ditambah teman-teman saya juga datang dari komunitas politik. Istri saya berasal dari Solo. Dulu dia bekerja, sekarang nggak lagi. Anak saya tidak masuk GMNI tapi ikut lembaga studinya GMNI.

Tentang bentuk pengasuhan orang tua ketika masa kecil dahulu?

Bapak saya beragama Kristen Protestan. Hidup saya di Jawa Timur yang mayoritas NU tapi pergaulan sejak dari kecil, TK, dan SD di sekolah Katolik. Padahal di belakang rumah saya pondok pesantren NU, di depan rumah saya mesjid Muhammadiyah. Jadi, sehari-hari kalau di sekolah ya bergaul dengan teman-teman yang kebanyakan Chinese Katolik. Terus kalau luar sekolah, saya kadang-kadang tidur siang di mesjid Muhammadiyah atau di pondok pesantren NU. Jadi plural sekali. Kakak ipar saya Katolik ada, Hindu juga ada. Kakak saya yang paling tua ikut ayah beragama Protestan. Jadi plural, memang, sebuah kehidupan yang plural. Saya terbiasa bergaul dengan siapa saja.

Dulu, konon kabarnya, karena di kampung saya itu markasnya NU, kakak saya yang perempuan kan Islam, itu kalau pergi ngaji yang ngantar itu bapak saya. Terus, agak malam kembali dijemput oleh bapak saya. Padahal, bapak saya ini kalau sembahyangan, kebaktian maksudnya, itu di rumah.

Bapak saya sudah meninggal. Nah, ketika bapak meninggal di tahun 1960-an oleh masyarakat tidak boleh dimakamkan di pemakaman Kristen. Diminta untuk dimakamkan di makam Islam. Jadi, sampai sekarang salib diatas kuburan ayah itu menjulang tinggi. Tempat saya itu basis NU, juga ada sebagian Maduranya. Jadi ekstrim-ekstrim, gitu. Tapi karena bapak saya tokoh masyarakat dan ketua partai PSI, bapa saya diminta agar tidak jauh-jauh tidak usah dimakamkan di pemakaman Kristen, di makam Islam saja. Tapi gimana, pasang salib, ndak apa-apa pasang saja salib, begitulah, plural sekali. Artinya apa, tahun 1960-an toleransi agama jauh lebih bagus dari jaman sekarang. ht

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Kristiya Kartika, | Kategori: Wawancara | Tags: Kepemimpinan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini