Benahi UKI Luar Dalam

Maruli Gultom
 
0
865
Maruli Gultom
Maruli Gultom | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Selama kurang lebih 40 tahun, Maruli Gultom malang melintang sebagai profesional di lingkungan perusahaan Astra Internasional dan menjadi komisaris di beberapa perusahaan swasta dan BUMN. Ia kemudian ‘dipaksa’ mengabdikan diri sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) periode 2008 – 2012. Di kampus swasta tertua di Indonesia itu, pria sederhana dan jujur ini membuat sejumlah terobosan. Membenahi kembali sistem manajemen, meningkatkan kesejahteraan karyawan dan mutu pendidikan serta memperbaiki citra UKI di mata publik.

Sejak berdiri, Universitas Kristen Indonesia telah memainkan peranannya dalam mencetak generasi penerus yang bisa berkarya di pentas nasional. Mulai dari Agung Laksono (Menko kesra), Subiakto Tjakrawerdaya (Menteri koperasi), Albert Hasibuan (tokoh hukum, anggota Dewan Pertimbangan Presiden / Wantimpres), Teras Narang (Gubernur Kalteng), Irman Gusman (Ketua DPD RI) hingga Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX – DPR RI).

Namun, semua prestasi itu tercemar oleh kerapnya peristiwa tawuran antar mahasiswa yang terjadi beberapa tahun silam, entah itu di kampus UKI Salemba maupun UKI Cawang. Ironisnya, meski sudah 3 tahun tidak pernah terjadi tawuran, citra sebagai kampus tawuran masih melekat di benak masyarakat. Kampus yang seharusnya melahirkan pejuang-pejuang kemajuan bangsa malah dipandang sebagai kampus sarang petarung jalanan. Akibatnya, banyak orang tua yang mengurungkan niatnya untuk memasukkan anaknya ke UKI.

Kenyataan inilah yang dihadapi oleh Maruli Gultom, seorang profesional yang terpilih menjadi Rektor UKI periode 2008-2012. Di penghujung masa jabatannya, Maruli merasa masih banyak hal yang harus dikerjakan demi kemajuan UKI. Padahal, selama empat tahun kepemimpinannya, ia sudah membuat terobosan-terobosan baru untuk membenahi UKI luar dalam, baik mengatasi masalah manajemen, kesejahteraan dosen dan karyawan termasuk mengubah citra UKI yang dicap sebagai kampus tawuran.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki citra UKI sekaligus menunjukkan keyakinan pada nilai kejujuran dan integritas, Maruli bersama seluruh civitas akademika UKI mulai dari pimpinan tertinggi, dosen, karyawan hingga mahasiswa, bersatu hati menolak korupsi. Lewat penandatanganan Ikrar Cawang yang dilakukan akhir Januari 2012, kampus UKI berketetapan menjadi kampus anti korupsi.

Untuk mengubah citra UKI yang terlanjur dicap sebagai kampus yang gemar tawuran dibandingkan mencetak prestasi, Maruli mencanangkan, setiap menjelang akhir tahun akademik diadakan raker untuk perencanaan tahun depan seperti target pencapaian mahasiswa baru sebesar 30%, apa saja yang harus dilakukan dan disediakan. Demi keberhasilan program tersebut, diadakan review/evalusi tiap bulannya. “Jadi image UKI sebagai kampus yang hobi tawuran mulai berubah. UKI juga membuka tempat selebar-lebarnya bagi lembaga Kristen dalam menfasilitasi berbagai kegiatan demi membuktikan bahwa UKI adalah kampus tempat mencetak generasi penerus yang tidak hanya pintar tetapi juga memiliki idealisme moral yang tinggi sebagai sikap hidup,” ucapnya optimis.

Berangkat dari pengalamannya sebagai seorang profesional, Maruli ingin mahasiswa UKI tampil sebagai pribadi-pribadi yang jujur, berintegritas dan siap memberikan yang terbaik untuk bangsa. Hampir dalam setiap kesempatan, Maruli mengingatkan mahasiswanya untuk hidup jujur dan menjauhi perilaku korupsi. Untuk memiliki generasi penerus yang dimaksudkan itu, mata kuliah agama Kristen adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa UKI.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki citra UKI sekaligus menunjukkan keyakinan pada nilai kejujuran dan integritas, Maruli bersama seluruh civitas akademika UKI mulai dari pimpinan tertinggi, dosen, karyawan hingga mahasiswa, bersatu hati menolak korupsi. Lewat penandatanganan Ikrar Cawang yang dilakukan akhir Januari 2012, kampus UKI berketetapan menjadi kampus anti korupsi. Ini bukan ajang untuk sok-sok’an, mau promosi agar kami diliput media melainkan kita mau mengajarkan bahwa kejujuran itu penting dan dijadikan perilaku sehari-hari,” tegas pria yang mengajar mata kuliah Capital Salecta ini.

Selain memperbaiki citra UKI di mata publik, Maruli juga membuat terobosan-terobosan untuk mengatasi masalah internal UKI. Misalnya kondisi memprihatinkan yang ada di Fakultas Ekonomi UKI yang termasuk tertua di Jakarta. Meski tertua, fakultas tersebut hanya mempunyai program strata satu (S-1) sedangkan untuk program S-2 dan S-3 sama sekali belum tersedia.

Mutu pendidikan dan pengajar juga ditingkatkan. Caranya, tidak ada lagi dosen yang mencari nafkah di luar kampus kecuali dosen tersebut telah memenuhi kewajiban mengajar sebanyak 12 SKS sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu, dosen dan mahasiswa yang terlibat transaksi jual beli nilai akan dipecat dan diberi sanksi.

Para pengajar minimal harus S-2 dan bagi mereka yang masih S-1 diberi peluang untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, mengikuti seminar-seminar atau training baik di dalam dan luar negeri. Kualitas kurikulum/silabus ditingkatkan sesuai dengan petunjuk DIKTI serta peningkatan kemampuan berbahasa Inggris para dosen dan mahasiswa.

Advertisement

Adanya krisis kepercayaan antara yayasan dengan para dosen dan karyawan diatasi dengan melebarkan jalur komunikasi, keterbukaan dan transparansi. Kesejahteraan karyawan termasuk pada dosen UKI ditingkatkan. Maruli juga mendorong adanya transparansi soal budjet dalam kegiatan belajar mengajar.

Sesuai motonya, “melayani, bukan dilayani”, peran UKI sebagai pelayan terus dipertahankan. Meski berstatus sebagai kampus swasta, UKI terus memberikan program pendidikan bebas biaya/gratis khusus bagi putra putri dari daerah tertinggal, seperti Nias yang mengirimkan para muda-mudinya untuk dididik sebagai sarjana. Selain dibebaskan biaya kuliah, mereka juga disediakan asrama dan makan minum gratis.

Diharapkan, setelah lulus, mereka mampu membangun daerahnya. Salah satunya lewat usaha peternakan babi dengan menggunakan teknologi tepat guna yang sampai sekarang masih tetap berjalan. Maruli berharap, di penghujung jabatannya yang akan habis di tahun 2012 ini, UKI tetap bisa memberikan yang terbaik, melahirkan generasi-generasi berintegritas yang menjadi garam dan terang bagi bangsa ini.

Bersinar di Lingkungan Astra

Pria kelahiran Sipirok, 23 April 1947 ini melewati masa kecilnya di kota Medan. Sama seperti anak-anak seusianya, Maruli Gultom senang bermain terutama berenang-renang di sungai. Memasuki bangku SMP, Maruli harus pindah ke Tanjung Pinang mengikuti ayahnya yang ditugaskan di kota itu sebagai seorang guru.

Tamat dari SMP Negeri 2 Tanjung Pinang, Maruli melanjutkan studinya ke dua sekolah yang berbeda yakni SMA Negeri 1 Tanjung Pinang dan SMA Kristen 1 Malang. Setelah lulus SMA di tahun 1965, Maruli hijrah ke Jakarta lalu mendaftar ke Universitas Indonesia (UI). Tapi sayang, ia gagal masuk UI. Maruli kemudian mendaftar ke Fakultas Teknik UKI (Universitas Kristen Indonesia). “Wah, dulu universitas lain tidak setenar UKI dan banyak mahasiswa bila tidak diterima di UI, pilihan keduanya pasti UKI. Mutunya diyakini tak beda jauh dengan UI, lantaran hampir 80 persen dosennya adalah dosen dari UI,” kata pria yang pernah bercita-cita menjadi pilot ini.

Tahun 1970, Maruli terpaksa berhenti kuliah sementara waktu (cuti) dan memilih untuk bekerja karena terbentur biaya. Kemahirannya dalam bidang mesin sekaligus jalinan persahabatannya dengan Edward Soeryadjaya, salah satu anak pemilik PT. Astra International, Tbk membuat Maruli diterima bekerja di perusahaan Astra. Saat pertama kali masuk Astra, Maruli menjadi montir (mekanik) yang bertugas merakit sepeda motor dengan cara manual istilahnya SKD (semi knock down). Maklum saja, saat itu Astra belum memiliki pabrik. “Jadi motor yang sudah jadi dari Jepang dibongkar kemudian dikemas dalam box agar muat dan tugas kita merakit kembali. Bisa dikatakan bahwa sepeda motor Honda Astra yang pertama, lahirnya dari tangan saya,” jelas Maruli saat diwawancarai TokohIndonesia.com di ruang kerjanya di Gedung Rektorat UKI, 6 Februari 2012.

Namun setelah pabrik berdiri, tim pimpinan Maruli menjadi tim bagian servis. Salah satu hasil karyanya adalah AHASS yakni bengkel resmi motor Honda. Sejumlah kendala sempat menghadang saat Maruli merintis bengkel tersebut. Mantan aktivis senat mahasiswa FT-UKI ini harus berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mencari bengkel-bengkel yang mau ditunjuk sebagai AHASS dan saat itu belum semua bengkel bersedia menjadi tempat servis perbaikan khusus motor Honda. Perjuangan Maruli akhirnya membuahkan hasil. Perlahan-lahan jumlah bengkel resmi AHASS terus bertambah dan saat ini sudah berjumlah ribuan.

Setapak demi setapak karir Maruli di Astra mulai meningkat. Setelah sukses di bagian servis, ia dipercaya menduduki posisi sales promotion lalu lanjut ke bagian inventory yaitu bagian yang menyediakan suku cadang di seluruh Indonesia. Diam-diam, Maruli menyadari bahwa ia tidak bisa hanya mengandalkan ijazah SMA semata padahal karirnya terus berkembang. “Ternyata di Indonesia, ijazah itu penting padahal pengetahuannya sama. Hanya selembar kertas dan tidak menambah apa-apa dalam hal pengetahuan,” katanya tertawa.

Maka mau tak mau, pria yang berprinsip bahwa hidup harus dijalani dengan kejujuran ini memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat terbengkalai. Dorongan yang kuat dari sahabatnya, Edward Soeryadjaya, jualah yang akhirnya membuat tekad Maruli untuk menyelesaikan studi semakin bulat. “Waktu dia panggil saya sebagai teman dan dia (Edward) sarankan agar saya sekolah lagi. Saat itu saya masih ngeyel karena masih terikat jam kerja. Terserah mau kuliah jam berapa yang penting pekerjaan beres. Tapi yang perlu dicatat, dia orang yang paling berjasa,” kenang Maruli.

Akhirnya, sembari bekerja, bapak empat anak ini meneruskan kuliahnya. Selama kuliah, Maruli dikenal sebagai aktivis kampus. Ia pernah dipercaya menjadi sekretaris I di Senat Mahasiswa FT -UKI, setelah itu menjadi Ketua Ikatan Mesin Jurusan, Ketua Radio Universitas Kristen Indonesia serta menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UKI. “Sudah kerja, kuliah, mau disuruh jadi ketua dewan lagi,” katanya tertawa. Keinginan teman-temannya untuk mencalonkan Maruli sebagai Ketua Dewan Mahasiswa tentu punya alasan kuat. “Ini gawat karena calon-calonnya itu parah-parah. Kalau sampai jatuh ke tangan mereka, bisa hancur,” kata Maruli menirukan ucapan teman-temannya.

Kesungguhan teman-teman kampus Maruli untuk mencalonkan dirinya menjadi Ketua Dewan Mahasiswa rupanya dibuktikan lewat kampanye dan penyebaran foto-foto Maruli di kampus UKI Cawang dan Salemba. Sementara pendukung calon lain yang menjadi saingan Maruli adalah Ruyandi Hutasoit dari Fakultas Kedokteran. Perdebatan sengit pun terjadi saat debat kandidat berlangsung. Ruyandi menganggap Maruli adalah utusan Astra. “Padahal teman-temanlah yang mendorong saya. Akhirnya saya jelaskan, kembali kuliah bukan diutus Astra,” kata Maruli.

Akhirnya lewat pemilihan secara langsung, Maruli berhasil terpilih. UKI pun menjadi kampus pertama yang menggelar pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa dengan cara dipilih langsung pada tahun 1975. Begitu dirinya terpilih, Ruyandi Hutasoit yang menjadi pendukung saingannya mengundang Maruli ke rumahnya untuk didoakan. “Meskipun tadinya gebrak-gebrak, setelah selesai tidak ada lagi yang namanya dendam, pokoknya jadi satu lagi dan tidak ada lagi competitor. Itulah demokrasi yang sebenarnya,” tegas Maruli. Yang membuatnya makin angkat topi dan tidak bisa melupakan kebaikan Ruyandi adalah saat saingannya tersebut bersedia mendoakannya. “Saya tidak akan bisa melupakan itu. Orang yang tidak suka sama saya ternyata mendoakan saya, itulah hebatnya,” kata Maruli mengenang.

Saat Maruli menjadi Sekjen MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa) UKI tahun 1977/1978, aksi demonstrasi mahasiswa sedang memanas. UKI, yang pada gerakan mahasiswa 1966 dijadikan markas KAMI Jaya (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan Yon A Yani, memutuskan untuk mengadakan demo besar-besaran. Mereka menolak keras pengangkatan kembali Soeharto menjadi Presiden RI. Sebelumnya, pada tahun 1971, mahasiswa UKI mengecam merajalelanya tindak korupsi. “Ketika itu kita (mahasiswa) membentuk KAK (Komite Anti Korupsi) termasuk membongkar kasus Pertamina yang waktu itu di bawah kepemimpinan Ibnu Soetowo,” ujarnya.

Kian hari gerakan mahasiswa semakin dahsyat. Sehari sebelum diadakan apel siaga mahasiswa se-Jakarta di kampus UKI – Cawang, para mahasiswa itu tak terkecuali Maruli diciduk oleh aparat dan dibawa ke Bekasi, Jawa Barat. Alasannya, pidato Maruli saat pelantikan Dewan Mahasiswa dianggap memprovokasi mahasiswa dan menghina kepala negara. “UKI waktu itu tak ingin hanya jadi penonton melainkan berdiri di garis depan,” tukasnya. Beruntung, tak sampai 3 bulan, Maruli dibebaskan oleh aparat. Menurutnya, tidak ada alasan untuk ditangkap sebab memang tidak melakukan pelanggaran hukum dan tindak kriminal.

Di sisi lain, karena kesibukannya sebagai aktivis, skripsinya pun sempat tertunda beberapa kali. Mulai dari skripsinya yang hilang sampai karena penahanannya oleh aparat. Pasca kejadian tersebut, mantan Lasykar Ampera Arief Rahman Hakim ini fokus menyelesaikan studinya. Maruli terbilang orang yang beruntung karena ia tidak drop out (DO) meski 16 tahun bercokol di UKI. “Jaman dulu tidak ada drop out,” ungkapnya.
Akhirnya setelah sekian belas tahun, Maruli berhak menggondol gelar insinyur. Karirnya pun makin terbuka lebar. Maruli langsung menduduki jabatan penting sebagai kepala pabrik. Lima tahun kemudian, ia diangkat menjadi direktur sekaligus di beberapa anak perusahaan milik Astra Group. Karirnya menanjak lagi dengan menjadi Presiden Direktur PT. Astra Agro Lestari, Tbk, 2000 – 2007. Maruli pensiun pada tahun 2008 dengan jabatan terakhir sebagai Direktur PT Astra International, Tbk., induk perusahaan grup Astra. Saat ini, selain sebagai Rektor UKI, Maruli juga menempati posisi komisaris di beberapa perusahaan swasta dan BUMN.

Karir Maruli yang terus menanjak tidak lepas dari gaya hidup jujur yang dijalankannya setiap hari. Teladan ayahnya yang pernah bekerja di kantor kas negara menjadi inspirasi dalam hidupnya. Meski sang ayah bekerja di kantor yang sarat penyelewengan, Maruli melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya menolak keras semua pemberian amplop.

Sebagai anak, Maruli pun mengikuti jejak ayahnya. Di Astra, ia bersikap jujur dan tidak ada kompromi. Misalkan saat ia disodorkan amplop dari supplier, Maruli menjawab, “Saya sudah digaji Pak”. Sang supplier balas menjawab, “Semua orang dapat Pak.” Dengan berat hati, Maruli menerimanya lalu melaporkannya ke general manager (GM). Sang GM kemudian memanggil supplier tersebut sambil marah-marah karena merusak moral karyawan.

Saat menjadi kepala pabrik, penerima Roll of Honor dari CNBC Asia Pasific ini juga menunjukkan integritasnya. Suatu kali sebuah kontraktor mengirim televisi ke rumahnya. Maruli kemudian membawa televisi itu ke perusahaan lalu dipajang di sebuah ruangan agar semua orang bisa melihatnya. Maruli kemudian menegur kontraktor itu dengan berkata, “Kalau uangmu banyak, turunkan hargamu jadi makin bersaing dengan yang lain. Kalau uang atau untungmu banyak, beri karyawanmu bonus dan naik gaji. Ngapain kasih-kasih ke saya. Saya nggak kurang duit karena gaji saya di Astra sudah besar.”

Kejujurannya sebagai profesional membuat Maruli dihormati oleh teman-teman sesama alumni. Itulah sebabnya, saat UKI menggelar acara Dies Natalis yang ke-50, Rektor UKI memintanya membuat sebuah acara untuk menghidupkan kembali ikatan alumni UKI. Maruli yang ketika itu tengah menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Mesin menyanggupi untuk duduk sebagai Ketua Ikatan Alumni UKI.

Pada tahun 2008, Maruli pensiun dari PT. Astra Internatonal, Tbk., namun langsung dilamar oleh Menteri Negara BUMN sebagai Komisaris Utama di PTPN V. Di saat yang bersamaan, UKI tengah diguncang stigma negatif yang menyebutkan para mahasiswa UKI lebih gemar tawuran ketimbang mencetak prestasi. Gara-gara itu pula, di tahun ajaran baru, UKI yang pernah kebanjiran pendaftar hingga jumlah mahasiswanya mencapai sekitar 15 ribu orang langsung merosot tajam hanya sekitar 4.500 orang.

Di tengah kondisi UKI itu, Maruli didaulat oleh teman-teman alumni agar bersedia menjadi Rektor UKI. Permintaan tersebut sempat ditolaknya mentah-mentah. Namun, setelah salah satu alumni sekaligus seniornya di UKI, Anton Reinhart ikut meminta Maruli agar bersedia menjadi rektor, Maruli berubah pikiran. “Tradisi di UKI sangat menghormati senior. Saya nggak bisa bilang apa-apa, terpaksa harus bilang, siap !” kenangnya tertawa.

Meskipun Maruli menyanggupi untuk ikut dalam bursa pencalonan rektor, Maruli tidak memberikan berkas lamaran kepada yayasan sampai batas akhir waktu pendaftaran. Maruli menceritakan, ada kisah yang menarik di situ. Ketika Maruli akhirnya menyerahkan berkas lamarannya kepada yayasan, para pengurus mengatakan bahwa berkas lamarannya telah diterima beberapa waktu lalu. Padahal Maruli sama sekali belum pernah menyerahkan lamaran dan berkas persyaratan yang diminta panitia. “Mendengar itu, saya hanya bisa bengong dan saya pikir ini pasti kerjaannya teman-teman,” ujar Maruli sambil tertawa.

Dalam proses uji kelayakan (proper test), laki-laki yang menjabat sebagai dewan ahli di Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) ini berharap tidak lolos dalam proses seleksi tersebut. Tapi, mau tidak mau, Maruli justru berhasil menyingkirkan kandidat lain dan terpilih sebagai Rektor UKI periode 2008-2012. Secara otomatis pula, ia menanggalkan jabatannya sebagai Ketua Ikatan Alumni UKI yang telah dipegangnya selama 6 tahun. atur, bety, san

Data Singkat
Maruli Gultom, Rektor UKI (2008 – 2012) / Benahi UKI Luar Dalam | Direktori | CEO, Rektor, UKI, direktur, teknik, komisaris, mesin, Astra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini