Gubernur di Balik Pertempuran Surabaya

RM Suryo
 
0
6062
RM Suryo
RM Suryo | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Selaku Gubernur Jawa Timur pada tahun 1945, ia menjadi tokoh penting di balik terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang sangat heroik.

Di awal kemerdekaan, ada dua golongan yang menentukan perjuangan dan kelangsungan Republik Indonesia. Golongan pertama disebut sebagai golongan administrator, mereka biasanya memperoleh pendidikan Belanda dan memiliki pengalaman sebagai birokrat dalam pemerintah kolonial. Sedangkan golongan yang kedua disebut golongan “penggalang persatuan” (solidarity maker), mereka yang termasuk dalam golongan ini biasanya para politisi yang tidak memiliki pengalaman sebagai birokrat tetapi berpengalaman dalam menggerakkan massa.

Salah satu tokoh yang termasuk dalam golongan administrator yakni Raden Mas Suryo. Pria Jawa yang lahir pada 9 Juli 1898 di Magetan, Jawa Timur ini adalah putra dari Raden Mas Wiryosumarto seorang Ajun Jaksa di Magetan. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS ia kemudian melanjutkan sekolah ke OSVIA (Sekolah Pamongpraja) di Magelang. Pada tahun 1918, ia merampungkan pendidikannya di OSVIA kemudian bekerja sebagai pamong praja di Ngawi. Dua tahun kemudian ia dipindahkan ke Madiun sebagai Mantri Veldpolitie. Pada tahun 1922, ia masuk pendidikan polisi di Sukabumi, Jawa Barat.

Usai menyelesaikan pendidikannya, ia bertugas sebagai asisten wedana di sejumlah tempat. Berkat prestasinya yang gemilang ia mendapat tugas belajar di Bestuur School (Sekolah Calon Bupati) di Jakarta. Setelah tamat dari sekolah itu ia menjalankan tugasnya sebagai wedana di sejumlah tempat sampai ia terpilih untuk memimpin Kabupaten Magetan pada tahun 1938. Jabatan sebagai Bupati Magetan disandangnya hingga kedatangan bala tentara Jepang. Para mantan pejabat Hindia Belanda banyak yang disingkirkan Jepang, namun RM Suryo justru dipilih untuk memangku jabatan Syuchokan (Residen) di Bojonegoro. Pada zaman penjajahan Jepang, jarang sekali orang Indonesia yang dipercaya untuk mengisi jabatan tersebut.

Ibarat bayi yang baru lahir, Republik Indonesia yang baru saja memperoleh kemerdekaannya saat itu sangat membutuhkan tenaga birokrat untuk menjalankan roda pemerintahan. Untuk membantu tugas pemerintah pusat menjalankan fungsi pemerintahan di daerah, dipilihlah beberapa orang untuk memimpin suatu provinsi (Gubernur). Salah satunya RM Suryo, ia diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya.

Beberapa saat kemudian, kedatangan tentara Inggris pada 23 Oktober 1945 di Pelabuhan Tanjung Perak menimbulkan bentrokan dengan para laskar rakyat Surabaya. Pasalnya kedatangan tentara Inggris yang pada awalnya bertugas untuk melucuti persenjataan tentara Jepang yang mengalami kekalahan dan memulangkan mereka ke negeri asalnya malah dibonceng pasukan NICA (Nederlandsch Indies Civiel Administration). Ternyata Inggris melindungi kepentingan Belanda yang bermaksud menjajah Indonesia kembali.

Bentrokan yang terjadi pada tanggal 28-30 Oktober 1945 itu pun memakan korban. Terbunuhnya komandan Inggris Jenderal Mallaby menimbulkan amarah pasukan Inggris. Pasca terbunuhnya jenderal berbintang satu itu, pada 9 November 1945 Inggris mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan kepada semua orang Indonesia yang bersenjata untuk menyerah selambat-lambatnya tanggal 9 November 1945 pukul 18.00. Bila tidak maka Surabaya akan digempur habis-habisan dari segala penjuru, baik darat, laut, maupun udara.

Pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada pemerintah daerah Jawa Timur. RM Suryo selaku Gubernur menghadapi keadaaan kritis itu dengan kepala dingin, ia kemudian mengadakan perundingan dengan Tenaga Keamanan Rakyat (TKR) serta tokoh masyarakat lain. Perundingan tersebut membuahkan hasil berupa penolakan terhadap ultimatum Inggris. Penolakan tersebut langsung disampaikannya dalam pidato di depan corong radio pada tanggal 9 November 1945 pukul 23.00.

Keesokan harinya, pertempuran sengit pada tanggal 10 November 1945 pun tak dapat dihindari. Para pemuda yang hanya berbekal persenjataan sederhana dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap gempuran tentara Inggris. Bala tentara Inggris pun membalas serbuan tersebut dengan senjata otomatis baik itu bren atau sten seperti yang mereka lakukan saat melawan serbuan tentara Jepang di Burma. Tentu saja dengan peralatan yang tak seimbang itu menimbulkan jatuhnya korban jiwa paling banyak dari para pejuang Indonesia. Namun hal itu tak menyurutkan semangat juang barisan pemburu yang masih tersisa.

Jalan Tanjung Perak menjadi saksi bisu pertempuran yang menewaskan ribuan pejuang tanah air. Jalan tersebut merupakan tempat pertama yang dilalui serdadu Inggris ketika membuka serangan umumnya. Untuk menduduki kantor Gubernur, pasukan Inggris berusaha mencapai Jalan Gresik, Jalan Willemsplein menuju gedung HVA (Handalsvereeniging Amsterdam, sekarang kantor PT Perkebunan XI, Jalan Sikatan). Nyatanya, mereka malah tertahan di Jalan Tanjung Perak tempat terjadinya pertempuran.

Advertisement

Atas peristiwa heroik tersebut, Letnan Kolonel A.J.F Doulton yang turun dalam Divisi V India menulis: “Ayam jantan berkelahi. Orang-orang Indonesia tidak memperdulikan yang mati. Kalau seorang mati, yang lain maju ke depan dan senjata mereka terus berbicara. Orang-orang mati bertumpuk-tumpuk di barikade-barikade dan semakin meningkat, tetapi orang-orang Indonesia terus maju, melewati mereka yang telah mati.”

Perlawanan sengit bukan hanya dilancarkan rakyat Surabaya di sepanjang Jalan Tanjung Perak tapi juga di Jalan Bubutan karena tindakan tentara Inggris yang ingin menguasai kota Surabaya. Akan tetapi, meskipun berbekal persenjataan canggih hal itu tak dapat terlaksana. Karena semangat para pemuda Surabaya yang terus berkobar dan tak kenal kata menyerah dalam mempertahankan daerahnya.

Peristiwa yang di kemudian hari dikenal sebagai Pertempuran Surabaya itu hanya berlangsung selama tiga minggu. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah Indonesia telah bersiap-siap menyelamatkan sarana penting, misalnya pemancar radio RRI, bahkan sudah mencari lokasi di luar kota. Sementara itu, para pejabat yang memegang peranan penting dalam pemerintahan daerah Jawa Timur seperti Gubernur RM Suryo, Residen Sudirman, Ketua KNI Doel Arnowo telah menyediakan kantor gubernur di luar kota, yakni Mojokerto kemudian Malang.

Setelah diadakan perundingan antara pemerintah pusat Jakarta dengan pemerintah Inggris, pertempuran tersebut akhirnya berhasil dihentikan pada akhir November 1945.

Usai menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur, RM Suryo diangkat menjadi Wakil Ketua DPA yang berkedudukan di Yogyakarta. Penduduk Sumatera Barat menaruh simpati kepada RM Suryo dan berharap ia berkenan untuk menjadi gubernur di daerah mereka, hal itu terjadi pada saat Suryo menyertai perjalanan dinas Wakil Presiden.

Pada tanggal 10 November 1948 ia bermaksud untuk menghadiri peringatan 40 hari wafatnya sang adik yang dibunuh PKI. Dari Yogyakarta kemudian ia bertolak ke Madiun. Namun di tengah jalan tepatnya di desa Bogo, Ngawi, mobil yang ditumpanginya berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI pimpinan Maladi Jusuf. Sementara dari arah yang berlawanan datang mobil yang dikendarai oleh Komisaris Besar Polisi M. Duryat dan Komisaris Polisi Suroko. Mereka dibawa ke hutan Sonde dan dibunuh. Empat hari berselang, baru jenazahnya ditemukan oleh penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngadu Ngawi. Ia kemudian dikebumikan di Magetan, tempat pertama ia menjalankan tugas sebagai bupati, sekaligus merupakan kota kelahirannya. Untuk mengenang sosoknya, di tempat ia terbunuh dibangun sebuah monumen peringatan.

Atas jasa-jasanya kepada negara, RM Suryo diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964. e-ti

Data Singkat
RM Suryo, Gubernur Jawa Timur / Gubernur di Balik Pertempuran Surabaya | Pahlawan | Pahlawan, Gubernur, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, DPA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini