
Oleh Ch. Robin Simanullang ||
The Hilltop Theory (Teori Pusuk Buhit) mendialogkan Mitologi Batak (Si Raja Batak) dengan kajian sejarah leluhur Suku Bangsa Batak, membuka kemungkinan bahwa kisah Mitologi Batak tersebut berawal di Pusuk Buhit Mongolia, dan/atau Pusuk Buhit Formosa, Yunnan dan elaborasi kombinasi Pusuk Buhit Sion Tanah Kanan, lalu berlanjut direkonstruksi dan direvitalisasi di Pusuk Buhit Tanah Batak di Sianjur Mulamula, tepian Danau Toba; Selanjutnya diformulasi (variasi) di beberapa Pusuk Buhit lainnya di Tanah Angkola, Tanah Mandailing, Tanah Simalungun, Tanah Pakpak-Dairi dan Tanah Karo.
Dalam kajian sejarah The Hilltop Theory – THT (Teori Pusuk Buhit), migrasi estafet nomaden Suku Bangsa Batak bermula dari puncak bukit Mongolia (+4000 sM), ke Pusuk Buhit Formosa (3000-2200 sM), kemudian ke Pusuk Buhit Yunnan (2200-1500 sM); Di mana suku bangsa Batak yang merupakan persilangan (asimilasi keturunan Medan bin Abraham/Ketura (keturunan Sem bin Nuh) dengan Puteri Ras Mongoloid (keturunan Ham bin Nuh) bermigrasi estafet nomaden lagi hingga tiba di Pusuk Buhit Tanah Batak memakan waktu lebih kurang lebih 200-150 tahun (1350-1250 sM). Mereka menuju (mencari) Pusuk Buhit terbaik untuk tempat penyembahan terbaik kepada Debata Mulajadi Nabolon atau tempat suci di mana Naibata itu sering (senang) singgah di bumi (Banua Tonga). Sampai akhirnya mereka menemukannya dan menetap di kaki Pusuk Buhit Tanah Batak di bibir pantai Tapian na Uli Danau Toba sebelah Barat, dekat Pangururan (saat ini), Pulau Samosir.
Argumentasi (kajian) sejarah, Teori Puncak Bukit menyatakan bahwa leluhur Bangsa Batak adalah salah satu subsuku bangsa Proto Melayu ras Mongoloid (Malayan Mongoloid, keturunan Ham bin Nuh) penutur bahasa Austronesia, yang bermigrasi tahun +4000 sM dari MoĀngolia, ke Formosa lalu ke Yunnan; Di Formosa atau Yunnan, Si Medan putera Abraham (keturunan Sem bin Nuh) dari istri ketiganya Ketura, menikah dengan puteri Mongoloid (berasimilasi) sekitar tahun 1800-1700 sM, yang keturunannya menjadi suku Batak; Dan tahun +1500 sM, mereka meninggalkan Yunnan menuju (mencari) puncak bukit penyembahan terbaik melintasi (migrasi estafet nomaden, eksodus) perbatasan Burma-Laos-Thailand-Burma (Teluk Martaban), lalu menyeberangi samudra melintasi Kepulauan Andaman (Andaliman) dan Nikobar, sampai ke Tanah Batak (+ 1350-1250 sM); Dari ujung Sumatera, Pulau We, sebagian kecil (Raja Ujung) menyusuri pantai Timur hingga berlabuh di muara Sungai Tamiang; Sebagian besar (mainstream migrants, Si Raja Tantan Debata) menyusuri pantai Barat Sumatra bagian Utara hingga sampai di Labuan yang mereka namakan Lobu Tua (Barus); Dari Lobu Tua naik ke pebukitan hingga ke Pusuk Buhit; Sebagian kecilĀ dari Lobu Tua pergi Singkel, Alas, Gayo dan Tamiang bergabung dengan mereka yang melalui pantai Timur; Sebagian kecil lainnya (Raja Jau) menyeberang lebih jauh ke Pulau Nias dan Mentawai. SebeĀlumnya sudah ada suku bangsa Negrito ras Australomelanesoid di sekitar Humbang, sejak sekitar tahun 4500 sM, namun diperkirakan punah.
Migran utama (Tantan Debata) yang tiba di Pusuk Buhit dan membuka kampung Sianjur Mulamula, kemudian menyebar ke seluruh wilayah sekeliling Danau Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi dan Karo, hingga ke pesisir Timur Sumatera bagian Utara, dan ke pesisir Barat, Angkola dan Mandailing. Mereka yang datang belakangĀan[1] berasimilasi dengan suku bangsa Batak yang sudah memiliki sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu tahun 802 M. Itulah singkatnya, teori sejarah asal-usul suku Batak (Bab 3.3. The Hilltop Theory).
Dengan migrasi estafet nomaden selama 200-150 tahun (pada tahun 1400 sampai tahun 1250 sM) maka kemungkinan tidak ada di antara orang Batak yang berangkat dari Yunnan yang masih hidup sampai ke Pusuk Buhit Tanah Batak, melainkan para keturunannya yang sama sekali tidak mengetahui lagi situasi dan kondisi Pusuk Buhit Yunnan, apalagi Pusuk Buhit Formosa, Mongolia atau Pusuk Buhit Sion Tanah Kanaan; Walaupun mungkin mereka diwariskan kisah-kisah (turiturian) lisan.
Kemudian, dengan situasi dinamika dan tantangan hidup (antara lain, tingkat kematian bayi yang tinggi dan wabah penyakit) selama kurang lebih 2000 tahun (1250 sM – 800 M), di Pusuk Buhit Tanah Batak, sebagai ikon puncak bukit penyembahan terbaik dan di kaki puncak bukit itu (Sianjur Mulamula) sebagai tempat domisili meneĀtap splendid isolation, Tano Namartua, yang mereka yakini ditemukan sesuai petunjuk Debata Mulajadi melalui Parhalaan (astronomi Batak); Juga Lobu Tua (Huta pertama Batak dan kota tua Barus pertama) sebagai Labuan dan Lobuan, pelabuhan (labuan) tempat berlabuh dan pusat perdagangan, dan tempat (lobuan, huta) pertemuan dengan berbagai suku bangsa; Serta, keturunannya sudah menyebar sebagai penduduk menetap pertama hingga ke pantai Barat dan Timur yang kita sebut sebagai Tano Batak Rea (Tanah Batak Raya), mencakup wilayah Sumatera Utara dan Alas-Gayo-Tamiang (Aceh) saat ini;
Lalu generasi Si Raja Batak (eponim) bernama Si Raja Tantan Debata, bergelar Sori Mangaraja 84 (mitos), diperkirakan tahun 800-an, mendapat hikmat dan inspirasi (semacam wahyu) menuturkan (merekonstruksi dan merevitalisasi) Turiturian Mitologi Batak, sebagai Musa-nya orang Batak[2], untuk mengisahkan (mitos-wahyu) penciptaan manusia dan alam semesta oleh Debata Mulajadi Nabolon na so marmula so marujung (Allah Tinggi Sang Khalik Mahabesar yang tidak bermula tidak berujung); serta hubungan Debata dengan semua ciptaannya dalam harmonisasi makrokosmos-mikrokosmos, yang tertuang dalam dua Pustaha (Pustaka) yakni Pustaha Tumbaga Agong (Pustaka Tembaga Agung) berisi Sahala Hamalimon (Wibawa Kemaliman) dan Pustaha Tumbaga Holing (Pustaka Tembaga Berkilau) berisi Sahala Harajaon (Wibawa Kerajaan dan Kemasyarakatan) pemberian Debata (Illahi) dalam Aksara dan Bahasa Batak.
Dan mengamanatkan kepada putera tunggalnya, yang secara eksplisit diberi nama, Si Raja Batak (Eponim mitos, Sori Mangaraja 85) untuk mewariskan kedua Pustaha tersebut kepada kedua puteranya sekaligusĀ menciptakan dan memberlakukan sistem sosial kekerabatan (partuturan) Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga) serta uhum dohot adat (hukum dan adat)Ā yang berkepercayaan kepada Debata atau Ugari dan turunanĀnya, seperti halnya Kitab Musa dan/atau Taurat bagi Bani Israel.
Siapa Si Raja Tantan Debata? Dia adalah generasi kelima dalam Silsilah Mitologi Si Raja Batak. Si Raja Tantan Debata, secara etimologi berasal dari kata Tanta, Tantan dan Debata; Tanta, tuntun, menuntun anak kecil belajar jalan; Tantan artinya menurunkan sesuatu, bergantung kepada; manantan, menurunkan; manantan manuk, menurunkan atau mengeluarkan induk ayam bersama anak-anaknya dari sarangnya menetas; tali tantan, tali untuk menurunkan sesuatu; masitantanan, untuk menyatu dengan milik bersama.[3] Debata disebut, Allah Tinggi Batak (Disertasi Philip Tobing, 1956; dan Mgr. AB Sinaga, 1973).
Jadi Si Raja Tantan Debata berarti seseorang (berperangai raja) yang diturunkan dan bergantung serta dituntun oleh Allah (Debata) sebagai induk bagi anak-anak keturunannya untuk menyatu dalam suatu tatanan sosial dan kekerabatan bersama, sebagai milik bersama dalam filosofi eksistensi intersubjektif hita (kita): Hita Batak, Aku di dalam Engkau, Engkau di dalam Aku, Aku dan Engkau di dalam Kita, Kita di dalam Aku dan Engkau dalam sistem sosial Dalihan Na Tolu; Tahun 802 M.
Mitologi itu mengisahkan Manisia (Batak) adalah keturunanĀ (cicit) Debata Mulajadi Nabolon dari cucu kesayangannya Dewi Si Boru Deak Parujar dan Dewa Si Raja Odapodap (putri dan putra Debata Batara Guru); Yang lahir di Pusuk Buhit (Tanah Batak). Bukan lagi dikisahkan berawal dari Mongoloid, Formosa, Yunnan dan/atau Tanah Kanaan, dls, tetapi berawal di tempat mereka menetap di kawasan Blessed Land (Tano Namartua) di seputar Danau Toba kawasan Splendid Isolation (isolasi yang indah, hahomion na uli), di kaki Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, Tanah Batak.
Dalam ādialogā ini, dicermati adanya ābenang merahā mitologi asal-mula manusia Batak itu dengan beberapa teori sejarah asal-usul leluhur Batak, secara khusus Teori Pusuk Buhit. Dalam silsilah mitologi Si Raja Batak itu dikisahkan bahwa pasangan manusia pertama, Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Itam Manisia, yang lahir di Pusuk Buhit, mempunyai tiga putera, yakni 1) Si Raja Miokmiok/Si Boru Mansur Purnama, yang menjadi leluhur Batak; 2) Si Pantundal Nabegu, merantau ke Utara; 3) Si Aji Lampaslampas, merantau ke Timur. Mitos ini menganĀdung makna bahwa Batak (manusia) tidak hanya yang tinggal di Tanah Batak tetapi juga di berbagai penjuru, di antaranya, di Utara dan Timur. Selain itu, dalam dialog ini juga dapat dimaknai bahwa Si Raja Miokmiok (eponim Si Raja Batak) tersebut menikah dengan puteri Mansyuria ras Mongoloid yang cantik lembut laksana bulan purnama (Si Boru Mansur Purnama). Berpadanan dengan teori sejarah (The Hilltop Theory) bahwa Medan (Si Raja Medan) putera Abraham/Ketura yang disuruh Abraham pergi dari Tanah Kanaan ke Tanah Timur (Kej. 25:6), kemudian dengan menunggang kuda (mambatak hoda) sampai ke Yunnan atau Formosa dan menikah (asimilasi) dengan Puteri Mongoloid (Mansyuria Mongoloid) yang menjadi leluhur suku Bangsa Batak; Yang di dalam silsilah mitologi dinamai Si Raja Miokmiok (Medan) dan istrinya Si Boru Mansur Purnama (Mansuria ras Mongoloid atau Malayan Mongoloid).
Kemudian, silsilah mitologi Si Raja Batak mengisahkan bahwa Si Raja Miokmiok (Medan)/Si Boru Mansur Purnama tersebut, mempunyai seorang putera bernama Eng Banua. Eng Banua, yang berarti nama nenek moyang orang Batak pewaris negeri (benua), juga menikah dengan Si Boru Siunan dari negeri jauh (namun juga disebut putri dewa), juga kemungkinan (teori sejarah) dimaksudkan Putri Yunnan (Si Boru Siunan).
Silsilah mitologi tersebut tidak secara rinci menuturkan setiap generasi, tetapi tampaknya secara arif (supranatural, metafora) mencatat bagian-baian penting. Jadi ada lompatan-lompatan, di mana yang dikisahkan adalah generasi-generasi tertentu, yang mempunyai Epifani (titik kisar pencerahan) sejarahĀ tertentu. Seperti Eng Banua, kemungkinan berperan sebagai Si Raja Batak (Sori Mangaraja) yang memimpin keturunan Si Raja Miokmiok (Medan) yang kemudian menyebut diri sebagai suku bangsa Batak, eksodus (hijrah) dari Yunnan ke Pusuk Buhit penyembahan terbaik di suatu tempat yang bertuah (Tano Namartua).
Dalam mitos Dinasti Sori Mangaraja dikisahkan memimpin orang Batak sebagai Raja Malim (Raja Imam) selama 90 generasi. Jadi diperkirakan sejak Si Raja Ihat Manisia (manusia Batak pertama) sampai munculnya Dinasti Si Singamangaraja sekitar tahun 1300-an. Kisah ini mungkin dimulai dari Mongolia (tahun 4000 sM, keturunan Ham bin Nuh) dan/atau Tanah Kanaan (tahun 1800 sM, dan keturunan Medan bin Abraham); Teori Pusuk Buhit memperkirakan dimulai ketika Medan (putera Abraham)Ā menikah dengan Puteri Mongoloid (Malayan Mongoloid) di Yunnan (1700 sM), yang dalam mitologi Si Raja Batak dikisahkan bernama Si Raja Miokmiok dan istrinya Si Boru Mansur Purnama (Puteri Mansyuria Mongoloid yang lembut cantik laksana bulan purnama).
Kemudian (teori sejarah THT), sekitar 200-300 tahun berikutnya (1700-1400 sM), keturunannya (generasi 7-10), eksodus (migrasi estafet nomaden) dari Yunnan dipimpin Eng Banua, nama nenek moyang orang Batak penjelajah dan pewaris benua Tano Namartua (Blessed Land), sebagai Si Raja Batak bergelar Sori Mangaraja 10. Mereka hijrah, antara lain, dengan menunggang kuda, menyusuri puncak-puncak bukit (pusuk-pusuk buhit) di sepanjang Sungai Lancang-SuĀngai Mekong, memasuki pedalaman pegunungan perbatasan Burma-Laos, terus berpindah ke perbatasan Siam (Thailand), menyusuri puncak bukit (pusuk buhit) penyembahan terbaik di sepanjang Sungai Mekong ke Sungai Ruak, sampai ke Teluk Martaban (teluk Mottama saat ini), menyeberang ke kepulauan Andaman dan Nikobar, hingga akhirnya sampai di Lobu Tua (Barus) dan Pusuk Buhit, Danau Toba sekitar tahun 1250 sM).
Dalam silsilah mitologi Batak dikisahkan bahwa Eng Banua/Si Boru Siunan (Yunnan), mempunyai tiga putera, yakni: 1) Si Raja Ujung (Batak Gayo-Alas); 2) Eng Domia (Si Raja Bonangbonang, eksplisit Batak); dan 3) Si Raja Jau (Niha/Nias).
Sementara, dalam kajian sejarah The Hilltop Theory (Teori Pusuk Buhit) dikisahkan, setelah rombongan hijrah Batak tiba di ujung utara pulau Sumatera (Pulau We), sebagian kecil (Raja Ujung) menyusuri pantai Timur hingga ke muara sungai yang kemudian mereka sebut Tamiang (berarti doa dengan sesaji), terus ke Gayo. Sementara sebagian besar menyusuri pantai Barat, dan berlabuh di suatu tempat yang mereka sebut Lobu Tua, dan selanjutnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba; Sebagian kecil lainnya, dari Lobu Tua menyeberang lebih jauh ke Pulau Nias (Raja Jau).
Dalam mitologi, yang berpisah di ujung Sumatera, dinamai Si Raja Ujung, yakni orang Gayo-Alas-Tamiang, Aceh; Dan yang menyeberang menyusuri Samudera Hindia yang lebih jauh dari Lobu Tua (Barus) dinamai Si Raja Jau, yakni orang Nias-Mentawai. Sementara, Eng Domia (Si Raja Bonangbonang) dan istrinya Si Boru Lean Bala Bulan, sebagai nenek-moyang orang Batak yang tinggal Tanah Batak, dikisahkan memperanakkan Si Raja Tantan Debata, yang kemudian memperanakkan Si Raja Batak (eksplisit). Kemudian, Si Raja Batak mempunyai dua putera yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, keduaĀnya sebagai pewaris Pustaha Tumbaga Agong dan Pustaha Tumbaga Holing, dan menjadi awal diberlakukannya sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, di mana kelompok Guru Tatea Bulan sebagai Hulahula (Parboru) dan kelompok Raja Isumbaon sebagai Boru (Paranak) dan masing-masing kelompok sebagai Dongan Sabutuha (Kahanggi). Keturunan kelompok Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon tersebutlah menjadi induk marga-marga utama seluruh Batak.
Dalam mitologi selanjutnya dikisahkan, bahwa Raja Isumbaon/Si Boru Eng Nauli, mempunyai tiga putera yakni: 1) Sori Mangaraja (eksplisit mitos ke-87), tinggal sekitar Pusuk Buhit, kemudian menyebar di Toba, Simalungun, Angkola dan Mandailing; 2) Si Raja Asiasi, tinggal di Tanah Karo; 3) Songkar Somalindang, tinggal di Pakpak-Dairi.
Dalam kajian sejarah, disebut dari Sianjurmulamula, Pusuk Buhit orang Batak menyebar ke Simalungun, Angkola dan Manmdailing, serta Pakpak-Dairi dan Karo, lalu ke pesisir Timur, antara lain ditandai dengan berdirinya kerajaan Nakur, Aru dan Tamiang jauh sebelum kesultanan Deli dan Serdang berdiri.
Dalam teori dilogis ini, turiturian mitologi Si Raja Batak dipahami sebagai simbol manifestasi pemikiran puncak para primus inter pares Batak, di bawah pimpinan Sori Mangaraja (dinarasikan lebih sempurna oleh Tantan Debata), sejak dari Pusuk Buhit Formosa atau Yunnan, metafora yang melampaui batas terĀtinggi akal dan melahirkan kisah religius (kepercayaan) kepada causa prima Debata Mulajadi Nabolon. Hal mana Pusuk Buhit adalah sebagai simbol, landmark dan icon yang dipercaya sebagai puncak bukit penyembahan terbaik, khususnya Pusuk Buhit, sisa anak Gunung Toba Agung yang meletus dahsyat 74.000 tahun lalu, sebagai tempat penyembahan terbaik dan terindah kepada The High God (Debata).
Dalam Teori Puncak Bukit (The Hilltop Theory) dijelaskan bahwa migrasi suku bangsa Batak dari Mongolia ke Formosa ke Yunnan (di mana Medan berasimilasi, pernikahan matrilineal, sebagaimana mitologi silsilah Batak berawal matrilineal Si Boru Deak Parujar) dan dari Yunnan bermigrasi secara estafet nomaden selama kurang lebih 200-150 tahun ke Tanah Batak adalah dalam rangka menuju dan menemukan puncak bukit (pusuk buhit) sebagai tempat penyembahan terbaik kepada Illahi, Debata Mulajadi Nabolon, yang sudah mereka (Medan, putera Abraham) percayai sejak dari Pusuk Buhit Sion, dan Formosa/Yunnan.
Hal itu dikisahkan Si Raja Tantan Debata (Musa-nya Batak), sekitar tahun 802 M yang mendapat ilham dan mengelaborasi dengan kisah-kisah (turiturian) dari leluhurnya Medan (tahun 1700 sM) dan lainnya; Seperti halnya Musa mengisahkan kelima kitabnya, mulai dari Genesis (Kejadian) sekitar tahun 1500 sM, yang mendapat wahyu dan mengelaborasinya dengan kisah-kisah Adam, Nuh, dan lainnya setelah 10.000-7.000 tahun, dan kisah Abraham setelah sekitar 500 tahun dan kisah-kisah lainnya. Maka kita sebut, Tantan Debata adalah Musa-nya orang Batak, penulis atau yang menarasikan Ugari Batak (Taurat Batak) yang tertuang dalam Pustaha Tumbaga Agong dan Pustaha Tumbaga Holing. Sayang sekali, kedua pustaka ini tidak pernah ditemukan (manuskrip), namun diamanatkan sebagai Pustaha yang tidak akan hangus dilalap api dan tidak akan hapus atau hancur oleh air, karena ditulis dalam hati orang Batak. Dan, leluhur Batak memproteksinya sedemikian rupa.
Proteksi terhadap kepercayaan kepada Debata Mulajadi NaĀboĀlon dan nilai-nilai serta sistem sosial Dalihan Na Tolu (DNT-patrilineal) yang ditetapkan mereka anut adalah salah satu prinsip pokok alasan mereĀka bermigrasi hingga menemukan Pusuk Buhit di pegunungan Bukit Barisan pantai Tapian Na Uli (tepian nan indah) Danau Toba tersebut. Inilah Pusuk Buhit yang mereka yakini terbaik sebagai tempat penyembahan, bersemedi, kepada Debata Mulajadi dan tempat persinggahan Mulajadi yang paling indah dan suci di bumi.
Sebuah puncak bukit yang berlimpah air, indah, nyaman dan tersendiri (terisolasi); Secara etimologi, Tao Toba = Tapian na Uli). Relatif jauh dari pesisir pantai Timur dan pantai Barat Sumatra. Tempat di pusat Tanah Batak, yang didekripsikan oleh Junghunn sebagai Centrum der Battalander, sebagai domisili umat manusia tertua di Sumatera, sebagai pusat asal orang Batak, tempat di mana budaya dan peradaban orang Batak berkembang paling sempurna;[4] yang mereka bentengi dari delapan penjuru angin. Tempat yang selama 3000 tahun setelah mereka tempati tertutup bagi pihak luar. Tanah yang diproteksi dan tertutup bagi pihak asing, Hahomion na Uli (Splendid Isolation).
Mereka (Batak) penunggang kuda yang hebat, bisa berkelana berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan tahunan keluar dari Tanah Batak, ke kawasan Utara (Gayo-Alas) atau pesisir Barat dan Timur, hingga membuka pelabuhan perdagangan dunia dan kerajaan Batak selain di Barus sejak 1250 sM, juga membuka kerajaan Nagur (Simalungun) tahun 500-an(?), hingga ke pantai Timur (1200-1400an), kerajaan Aru (Haru, Daru)[5] tahun 1200-an, dan kerajaan Batak di Tamiang, Aceh[6] tahun 1500-an.
Namun orang lain (asing) tidak ada yang berani masuk ke Pusat Tanah Batak, apalagi ke Danau Toba dan Pusuk Buhit, hingga tahun 1853. Adalah Dr. HN. van der Tuuk, orang asing pertama yang sampai ke (melihat) Danau Toba ketika dijamu menemui Raja Sisingamangaraja XI di Bangkara pada Maret 1853.[7] SebeĀlumnya (1840), Junghunn yang ditugaskan kolonialis Belanda untuk memetakan Tanah Batak, lahan serta flora dan faunaĀ, serta adat-istiadatnya, hanya sampai di Dolok Saut, bahkan hanya sampai daerah Sipirok, lalu membuat kesimpulan dalam laporannya bahwa keberadaan Danau Toba itu hanyalah ilusi optik alias mitos atau dongeng belaka alias hoax.[8]
Sekitar tahun 802[9] seorang primus inter pares, raja diraja spritual, Si Raja Tantan Debata bergelar Sori Mangaraja (eponim), yang kemungkinan terinspirasi juga atas interaksinya dengan Gereja Nestorian Mesir (Gereja Bunda Maria Perawan Kudus) yang sudah berdiri di Barus pada abad 7 M,[10] lalu mendapat ilham meruĀmuskan dan merekonstruksi rangkaian mitologi itu dan mendeklarasikannya dalam suatu Horja Rea Bolon, Upacara Raya Besar (sebelum melembaganya kekerabatan antarbius Luat Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun,Ā Pakpak Dairi, Karo, Luat Gayo dan Alas); Sebuah Horja Rea Bolon ritual seluruh kelompok garis keturunan yang saling bertalian dan kelompok migran minoritas lainnya yang sepaham (berasimilasi) dengan nilai-nilai dan kepercayaan kepada Mulajadi Nabolon tersebut; Mereka berkumpul di Sianjur Mulamula, kaki bukit Pusuk Buhit, tempat yang dipercaya sebagai puncak penyembahan terbaik, sebuah puncak sisa anak Gunung Toba yang meletus dahsyat 74 ribu tahun lalu; Di tempat inilah mereĀka bersepakat āmengaminkanā mitologi Si Raja Batak itu sebagai sosok āindividu majemukā leluhur Bangso Batak,[11] dan bersepakat menganut nilai-nilai luhur mitologi tersebut yang termanifestasi dalam sistem dan struktur kekerabatan adat Dalihan Na Tolu (DNT) berbasis perkawinan dan silsilah (tarombo marga patrilineal) pada tahun 802 M. Untuk itu sebagai instrumen pokok disusunlah silsilah (tarombo) patrilineal Si Raja Batak. Sejak itulah suku Bangsa Batak memantapkan sistem sosial kekerabatan Dalihan Na Tolu secara ketat. Suatu Epifani sejarah Batak dan/atau Teofani kekerabatan DNT Batak.[12]
Mulai ada pengaturan kekerabatan perkawinan, sejak keturunan Si Raja Batak (Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon) tidak boleh lagi pernikahan sedarah (satu orangtua atau marga); setiap pelanggaran atas hal ini akan dihukum usir (Sekalian dibuat contoh sanksi atas pelanggaran larangan perkawinan inces tersebut). Mitologi itu juga mengisahkan bahwa Guru Tatea Bulan (dilambangkan Bulan) memiliki lima orang putri, tiga di antaranya menjadi istri dari Sori Mangaraja, putra dari Si Raja Isumbaon yang dilambangkan Matahari. Saat inilah sistem kekerabatan DNT tersebut dimulai: Kelompok Guru Tatea Bulan menjadi Hulahula (Parboru) dan kelompok Si Raja Isumbaon menjadi Boru (Paranak), serta sesama kelompok Guru Tatea Bulan dan sesama kelompok Si Raja Isumbaon menjadi Dongan Sabutuha.
Horja Rea Dalihan Na Tolu itu bertujuan mewariskan nilai-nilai kearifan sebagai masterplan dan strategi kehidupan Bangso Batak dalam segala aspek, guna menata dan menjamin keuĀtuhan, keteraturan dan kesinambungan sistem kekerabatan Batak (Dalihan Na Tolu) berbasis perkawinan dalam garis keturunan (genealogis) patrilineal dan kekerabatan teritorial semua puak Suku Bangso Batak dari satu generasi ke geneĀrasi berikutnya melintasi tantangan segala zaman, dahulu, kini dan masa depan. Mitologi itulah awal mula dan landasan terbentuknya komunitas suku bangsa Batak dengan filosofi dan nilai-nilai dasar (kepercayaan kepada Debata), Dalihan Na Tolu sebagaiĀ sistem dan struktur kekerabatan Bangso Batak. Sebutan BatakĀ yang berarti manusia tersebut pun dimeteraikan dari mitologi tersebut, yakni Turiturian Suci (Mitologi) Si Raja Batak yang memang sudah dituturkan secara estafet mulai dari Formosa dan Yunnan, Tiongkok Selatan, sampai di pusuk-pusuk Buhit di berbagai luat Tanah Batak dengan variasi dan dinamikanya sesuai kondisi setiap luat (wilayah)-nya.
Dalam ākebuntuanā dan ākegelapanā kajian dan penulisan sejarah meĀrekonstruksi asal-usul leluhur Suku Bangsa Batak secara relatif utuh, kita mengemukakan perenungan dialog berkearifan antara mitologi dengan berbagai kajian (teori) sejarah leluhur Suku Bangsa Batak, khususnya kajian sejarah The Hilltop Theory (THT) tersebut.
Di depan sudah dikemukakan apa yang mendasari proses pemikiran atau perenungan Dialog Mitologi dan TeoriĀ (Kajian) Sejarah ini, antara lain dalam kerangka berpikir āilmu sejarah mutakhirā (Taufik Abdullah, 1985), manakala kajian sejarah (bahan-bahan tertulis) sudah habis (tidak ada lagi, sudah buntu) sedangkan ālubang-lubangā informasi dalam usaha untuk mendapatkan rekonstruksi yang relatif utuh belum tercapai, maka sumber lisan dan mitologi dapat āmenyempurnakannyaā. Selain itu, teori ini juga diilhami proses perenungan filosofis (kefilsafatan, habisuhon) paling dasar tentang bagaimana manusia Batak mengenali dirinya sendiri.
Guna memperkaya perspektif, Raja Ihat Manisia dan istĀrinya Si Boru Itam Manisia (Batak pertama) itu dapat disanĀdingkan atau dikomparasi dengan Si Raja Adam dan Si Boru Hawa (Adam dan Hawa, Genesis). Pewahyuan Genesis ini dalam pandangĀan filsafat (logika, ilmiah) adalah mempunyai persamaan dengan Mitologi Batak; Juga Mitologi Sumeria dan Babilonia yang terkenal perihal penciptaan manusia dan alam semesta. Walaupun menurut orang-orang bijak (telog Kristen), bila dibanĀdingkan dengan cerita penciptaan dalam Alkitab (Genesis), ternyata Mitologi Sumeria dan Babilonia itu (pen: juga Mitologi Batak) adalah mentah dan bersifat politeistis.[13]
Guna memperkaya pemahaman, nama Adam dalam Kejadian itu digambarkan sebagai manusia majemuk. Nama Adam, disamping sebagai nama diri, juga mengandung arti manusia. Nama Adam itu berarti manusia (Kej 5:2). Demikian pula nama manusia pertama dalam Mitologi Batak dinamai Ihat Manisia (berarti Batak), selain sebagai nama diri juga mengandung arti manusia majemuk. Ihat Manisia (Ompu Jolma) itu berumur hampir seribu tahun[14], hampir sama dengan Manusia Adam berumur 930 tahun (Kej 5:5). Usia manusia dari Adam sampai Nuh (10 generasi) rata-rata 900 tahun. (Kej 5:1-32)
Mitologi Batak tidak menjelaskan secara rinci berapa usiaĀ manusia pertama Batak Ihat Manisia sampai Si Raja Batak. Turiturian Raja Juda Simanullang/Raja Kores Simanullang hanya menyebut hampir seribu tahun (Ihat Manisia) dan yang lainnya sampai Si Raja Batak, enam geneĀrasi, masing-masing ratusan tahun. Namun, esensinya adalah sama yakni bahwa leluhur manusia ciptaan Allah/Debata itu mempunyai usia yang panjang, ratusan sampai hampir seribu tahun.
Kenapa soal usia ini penting? Karena menginspirasi baĀnyak hal, termasuk perihal regenerasi dan populasi, serta kemungĀkinan adanya manusia lain (manusia raksasa, Kej 6:4) atau manusia jadijadian (homang, dalam bahasa Batak), selain manusia āanak-anak Allahā (manusia ciptaan yang setia menyembah Allah) atau manusia titisan Debata Mulajadi (manusia yang setia menyembah Debata Mulajadi). Juga tentang anak-anak Adam bukan hanya Kain, Habel dan Set, tapi juga ada beberapa anak lelaki dan perempuan lainnya: āUmur Adam setelah memperanakkan Set, delapan ratus tahun, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan.ā (Kej: 5:4)
Kemungkinan hal yang sama juga terjadi dalam pencatatan anak-anak dan keturunan mitologi Batak (Ihat Manisia), ada anak-anak lelaki dan perempuan lainnya, serta adanya manusia lain (homang) selain āanak-anak Dewaā (manusia titisan Illahi yang setia menyembah Debata Mulajadi Nabolon).
Uraian tentang Manusia Adam dan Ihat Manisia di atas kita sudahi, karena sudah cukup untuk memperkaya pemahaman dan menginspirasi dialog mitologi dan sejarah leluhur Batak dalam jawaban yang kita sebut bersifat kualitatif subyektif (motivasi dan kemanfaatan, logika dan filosofi empiris): Diolog Mitologi dengan Teori Sejarah.
Secara logika kreatif inspiratif dapat kita simpulkan atau padanĀkan yang dimaksud deĀngan Ihat Manisia (Batak) itu adalah identik Manusia Adam (Genesis); Walaupun ada yang menyebut bahwa proses penciptaan manusia dan alam semesta dalam Mitologi Batak lebih āmentahā dibanding Genesis (Kejadian). Walaupun kisah penciptaan Adam dari tanah itu, menurut Van der Tuuk, menjadi bahan tertawaan bagi orang Batak yang mempunyai kisah penciptaan Manisia sebagai Keturunan Cucu Debata, yang kemudian dipanggil: Ompung Debata. Lagi pula, Mitologi Batak percaya Sang Khalik Maha Besar itu adalah esa serta tidak bermula dan tidak berujung — berpadanan teologi Nestorian: God without beginning and without end (Aprem, Mar, Rev. Dr., 1980. Nestorian Theology. Trichur: Mar Narsai Press, p. 19) — atau dalam bahasa kristiani (alkitabiah) lainnya alfa dan omega (Awal dan Akhir). Maka teori yang dikembangkan dalam dialog mitologi dengan teori sejarah leluhur Batak (sebagai jawaban kualitatif subyektif) ini bahwa leluhur suku bangsa Batak adalah manusia keturunan Allah (Debata Mulajadi) yang tidak berawal dan tidak berujung – alfa omega, yakni Ihat Manisia (Adam-nya mitologi Batak) dan Itam Manisia (Hawa-nya mitologi Batak); Bukan manusia teori evolusi, homo sapiens yang moyangnya monyet (bodat).
Teori keturunan Ihat Manisia-Adam ini berkorelasi dengan beberapa argumentasi, antara lain, argumentasi yang meĀnyatakan kemungkinan Suku Bangso Batak adalah keturunan Abraham dari istri ketigaĀnya Ketura, bernama Medan; Serta argumentasi (teori) lain bahwa Bangso Batak adalah keturunan salah satu dari 10 suku Israel yang hilang (keturunan Abraham dari anaknya Ishak), dengan berbagai alasan penguatnya, antara lain kemiripan budaya, walaupun kedua argumentasi ini masih perlu diuji kebenarannya.[15]
Penggambaran Manusia Adam (Ihat Manisia, Batak) sebagai leluhur pertama suku Bangso Batak, adalah jawaban kualitatif subjektif. Medan bin Abraham adalah keturunan Adam. Maka berkolerasi (titik temu) teori ini bisa ditautkan dengan penelitian ilmiah Haplogroup DNA yang diawali Adam Kromosom-Y, Y-Chromosome Adam; Y-MRCA (most recent common ancestor, leluhur bersama terbaru) dalam genetika manusia adalah suatu nama hipotesis yang diberiĀkan kepada āleluhur bersama paling baruā (MRCA) dari mana semua orang yang hidup sekarang diturunkan secara patrilineal. Ditelusuri dari garis bapak, karena kromosom-Y hanya ada pada pria. Dinamai Adam kromosom-Y menurut manusia pertama dalam Alkitab.[16] Usia Y-MRCA diperkirakan berbeda-beda, mulai 142.000 tahun[17] sampai 338.000 tahun[18].
Tarombo DNA Batak ditarik dari Adam Kromosom-Y, menunjukkan umumnya Batak (khususnya Toba) memiliki DNA Haplogroup O, meruĀpakan campuran ras Mongoloid (Proto Melayu) dengan ras Australomelanesoid. Masuk DNA Haplogroup O karena lebih dominan, yakni berasal dari Proto Melayu, kelompok suku bangsa Malayan Mongoloid dari Formosa Taiwan dan atau Manchuria yang sama-sama merupakan ras Mongoloid sebesar 80% (Austronesia 55% + Austroasiatik 25%) yang merupakan DNA Haplogroup O, bercampur orang Negrito, ras Australomelanesoid sebesar 20% (DNA Haplogroup M) yang sudah lebih dulu berdiam di Humbang.[19]
Bagaimana keturunan Abraham (dari anaknya Medan) itu bermigrasi ke Tanah Batak? Dimulai dari ketika Abraham menyuruh anak-anaknya dari istrinya Ketura, di antaranya Medan, pergi dari Kanaan ke sebelah timur, ke Tanah Timur (Kej 25:6, sekitar tahun 1900-an sM). Tentulah Medan dan saudara-saudaranya berpegang pada perintah ayahandanya, Abraham, supaya pergi ke sebelah Timur, ke Tanah Timur. Mereka melewati gurun Arab, melintasi tempat saudara tuanya Ismael yang telah lebih dahulu pergi. Lalu melewati Babilonia melintasi Sungai Tigris, terus menuju Timur sampai ke Asia Timur, Tibet, China (bahkan mungkin Mongolia). Kemudian, secara khusus, Si Medan terus bermigrasi ke Formosa atau Yunnan, lalu menikah dengan puteri Mongoloid, dan keturunannya migrasi estafet nomaden hingga ke Pusuk Buhit, Tanah Batak.
Sementara teori sejarah lainnya menyebut, para migran minoritas lainnya bermigrasi dari berbagai tempat, antara lain dari dataran pegunungan di Utara Tibet, melintasi Tiongkok. Kemudian, turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Terbukti di sini ada budaya Dong Son, yang mirip budaya Batak. Terus bergerak menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, berlayar melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereĀka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru, terus bergerak ke Tanah Batak (Tanah Karo sampai ke Pusuk Buhit).
Juga imigran Suku Tamil dari India Selatan yang berbaur di Tanah Karo dan Gayo. Dalam DNA sebagian orang Karo (dan Gayo) ditemukan unsur Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil (penelitian genetika oleh Lembaga Eijkman). Tiga unsur genetik Negrito, Austroasiatik, Austronesia, sama dengan Batak yang bermukim di pusat Tanah Batak di sekitar Danau Toba. Yang membedakannya adalah adanya unsur genetik Tamil di sebagian orang yang bermukim di Tanah Karo. Namun, hal ini hanyalah teori yang masih mengundang perbedaan pandangan.
Varian Mitologi Batak: Di samping itu, kisah mitologi itupun kemudian dituturkan bervariasi. Bagi mereka yang berdomisili di teritorial Angkola, Mandailing, Simalungun dan Pakpak-Dairi dan Tanah Karo, menuturkan (merekonstruksi dan merevitalisasi) Turiturian Mitologi Batak dengan versi masing-masing, dan menjadikan pusuk buhit (puncak bukit – gunung) di tempat masing-masing sebagai tempat penyembahan terbaik. Antara lain, versi Angkola-Mandailing menyebut pusat mitologi penciptaan tersebut di pusuk buhit tinggi lembah indah Bangkara,,[20]Ā dan kemudian pusuk buhit penyembahan ada di Gunung Sorikmarapi dan Sibualbuali; demikian pula di Tanah Karo ada Gunung Sinabung dan Sibayak; di Simalungun ada Dolok Simarsompah, Kariahan, Simarjarunjung, Malela, dan Maligas; di Pakpak-Dairi ada Gunung Tua, Delleng Simpon, dan Si Buaten; dan puncak bukit lainnya.
Hal ini sangat logis mengingat sistem kemasyarakatan dan teritorial suku bangsa Batak yang berkedaulatan huta konfeĀderal otonom. Setiap Huta (kampung), Bius (distrik) dan Luat (wilayah – puak) memiliki tradisi otonominya masing-masing. Sesuai pengamatan William Marsden (1778) yang ditulisnya dalam The History of Sumatra (1783) menyebut pemerintah negara Batta, meskipun secara nominal berada di tangan tiga atau lebih raja berdaulat, secara efektif (sejauh informasi dari hubungan intim kita dengan rakyat memungkinkan kita memastikan) dibagi menjadi beberapa kepala suku (raja huta, petty chiefships) kecil yang tak terhitung jumlahnya, kepala-kepala yang juga ditata gaya raja, tidak terlihat tergantung pada kekuatĀan superior mana pun, tetapi bergabung dengan satu sama lain, khususnya dengan mereka yang berasal dari suku (dan daerah) yang sama, untuk pertahanan dan keamanan timbal balik melawan musuh yang jauh.[21]
Dalam sistem konfederasi kedaulatan huta otonom seperti ini (ciri khas pemerintahan Batak: Konfederasi Kerajaan Huta)[22], jangan pernah dibayangkan bahwa seluruh Tanah Batak atau seluruh puak suku bangsa Batak pernah dipimpin seorang raja dalam arti kekuasaan pemerintahan (kepala Pemerintahan), apalagi raja yang monarki atau punya kekuasaan feodal absolut. Semua atau maĀsing-masing huta (kampung) memiliki lembaga raja-rajanya sendiri yang bersifat otonom, di bawah konfederasi Bius dan Luat, yang menghormati dan meneladani seorang Raja Jungjungan yang dipercaya sebagai titisan Illahi, Debata Mulajadi, sebagai Raja Malim, singa ni adat dohot uhum (panutan atau role architect model dalam pengaturan dan pelaksanaan adat dan hukum). Di mana sifat konfederal persemakmuran huta tersebut otonominya diikat dan diatur oleh nilai-nilai dan tata aturan (adat dan hukum) yang bersumber pada Dalihan Na Tolu (DNT) yang sama. Hal mana semua raja-raja itu adalah primus inter pares yang memiliki kesetaraan elegan satu sama lain. Lebih lanjut diuraikan dalam Bab Enam tentang Kerajaan Batak.
Dienet dari Buku Hita Batak A Cultural Strategy, Jilid 1, Bab Empat: Dialog Mitologi dan Sejarah Batak; Sub-Bab 4.3: Rekonstruksi Mitologi dan Sejarah Batak, hlm. 447-461
Ā LAMPIRAN: Asal-Usul Silsilah Leluhur Batak; Dialog Genesis dan Mitologi Batak.Silsilah Batak
Footnotes:
[1] Kemudian sekitar tahun 500 sampai 1200 M, kemungkinan disusul beberapa migran minoritas (beberapa teori lainnya) antara lain Munsong, Naga, Koireng, Zom dari India Timur-Selatan, India Tamil (India ras Indic Caucasoid), serta salah satu dari 10 suku Israel yang hilang, yang masuk ke Tanah Batak melalui pesisir Timur dan Barat Sumatera bagian Utara.
[2] Bandingkan dengan Genesis yang ditulis (wahyu) oleh Musa sekitar tahun 1527-1407 sM, berselang sekitar 400-500 tahun setelah Abraham, dan sekitar 6200 tahun setelah Adam.
[3] Bandingkan: Warneck, Johannes, 1906: s.207.
[4] Junghuhn, Franz Wilhelm, 1847 (Band 1): p.251.
[5] Terdapat beberapa versi lokasi tepatnya pusat Kerajaan Haru: Winstedt menyebutnya di wilayah Deli; Tetapi ada pula yang berpendapat di muara Sungai Panai; Groeneveldt mengatakan berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas); Gilles menyatakan di dekat Belawan; Ada juga yang menyatakan di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).[https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Aru]
[6] Catatan TomƩ Pires, 1512-1515, dipublikasi 1944.
[7] Sinambela, Poernama Rea, 1986: h.2.; Tuuk, HN van der, 1864: p.XVI; Nieuwenhuys, Rob (Editor), 1982: H. Neubronner van der Tuuk, De pen in gal gedoopt, Een keuze uit brieven en documenten, Amsterdam: Em. Queridoās, b.60.
[8] Junghuhn, Franz Wilhelm, 1847 (Band 1): s.270..
[9] Perkiraan ini diinspirasi turiturian Raja Juda Simanullang (Ompu Luga) dan Raja Kores Simanullang (Ompu RB Halomoan) tentang Mula ni Jolma Manisia dohot Liat Portibi on (Mitologi Batak) dan komparasi (dialog) sejarah leluhur Batak The Hilltop Theory.
[10]Guillot, Claude, dkk, 2008: Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h.34.
[11] Bandingkan halnya kisah suci Adam yang dipandang sebagai sosok āmanusia majemukā yang menjelaskan kejatuhan manusia gambaran Allah pertama ke dalam dosa, dan kemudian bagaimana Allah membuat hukum perjanjian (Torat, syariat), lalu menyelamatkan manusia dengan penggenapan Torat oleh Anak Manusia (Yesus Kristus) di kayu salib sebagai anugrah.
[12] Epifani (Yunani Koine: epiphaneia, manifestasi, penampakan jelas atau Teofani (Yunani Kuno), heophaneia berarti āpenampakan Tuhanā, atau Hari Raya Penampakan Tuhan, sejumlah denominasi gereja Kristen, pada 6 Januari, merayakan Firman Allah menjadi manusia yaitu Yesus Kristus. Epifani yaitu Manifestasi Yesus Kristus kepada dunia. Dalam Gereja Barat, Epifani (titik kisar pencerah) untuk memperingati kedatangan Orang-orang Majus dari Timur (Tiga Raja), yang menyembah Yesus ketika baru lahir. Dalam Gereja Timur untuk memperingati pembaptisan Yesus Kristus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, sebagai Manifestasi Yesus Kristus memulai karya Pelayanan-Nya sebagai Anak Allah yang disebut Teofani. Epifani sebagai titik kisar pencerah Tahun 1 Masehi dari Tahun Sebelum Masehi.
[13] Douglas, J.D., dkk (Ed), 1997: h. 8. [Politeistis, bersifat politeisme yakni bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan atau menyembah banyak dewa. Secara harfiah berasal dari bahasa Yunani poly + theoi, yang berarti banyak tuhan. Lawan dari paham monoteisme, atau kepercayaan yang hanya mengakui satu Tuhan.]
[14] Turiturian Raja Juda Simanullang, Ompu Luga, 1861-1937; Simanullang, Raja Kores, Ompu R. Binsar Halomoan Doli, 1959: Turiturian dan Nasihat.
[15] Bandingkan mitos mengenai tempat asal orang Aceh yang menganggap (membanggakan) diri sebagai keturunan Ismael dan Hagar (āboast themselves to come of Ismael and Hagar, and can reckon the genealogie of the Bible perfectlyā). (Denys Lombard, 2006: 61-62).
[16] Tetapi tidak dianggap bahwa Adam, pemegang kromosom Y ini adalah satu-satunya manusia laki-laki yang hidup pada zamannya. Takahata, N (January 1993). āAllelic genealogy and human evolutionā. Mol. Biol. Evol. 10 (1): 2ā22. PMID 8450756.
[17]Ā Cruciani, Fulvio; Trombetta, Beniamino; Massaia, Andrea; Destro-Bisol, Giovanni; Sellitto, Daniele; Scozzari, Rosaria (2011). āA Revised Root for the Human Y Chromosomal Phylogenetic Tree: The Origin of Patrilineal Diversity in Africaā. The American Journal of Human Genetics. 88 (6): 814ā8.
[18] Mendez, Fernando; Krahn, Thomas; Schrack, Bonnie; Krahn, Astrid-Maria; Veeramah, Krishna; Woerner, August; Fomine, Forka Leypey Mathew; Bradman, Neil; Thomas, Mark; Karafet, Tatiana M.; Hammer, Michael F. (7 March 2013). āAn African American paternal lineage adds an extremely ancient root to the human Y chromosome phylogenetic treeā (PDF). American Journal of Human Genetics. 92 (3): 454. doi:10.1016/j.ajhg.2013.02.002. PMC 3591855āÆalt=PMID 23453668. (primary source)
[19] Bandingkan Edward Simanungkalit, Orang Toba dengan Tarombo Sianjur Mulamula; 14 Desember 2015, Diperbarui: 22 Maret 2016; https://www.kompasiana.com/edwardsimanungkalit/ 566e49dbf97a61fc0b9966ad/orang-toba-dengan-tarombo-sianjur-mula-mula
[20] Marsden, William, FRS, 1783 (1811): p.385.
[21] Marsden, William, FRS, 1783 (1811): p.374-375.
[22] Bab 6 Kerajaan Suka Bangsa Batak; dan Bab 7.2 Batak dalam Teori John Locke dan Montesquieu.