Pemilu 2009 yang Memerdekakan

 
0
34
Majalah Berita Indonesia Edisi 59
Majalah Berita Indonesia Edisi 59 - Pemilu 2009 yang Memerdekakan

VISI BERITA (Menuju Pemilu 2009, 29 Agustus 2008) – Suasana perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63 tahun ini diwarnai kampanye panjang Pemilu 2009 yang sudah dimulai sejak 12 Juli 2008. Sebanyak 34 Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu 2009 yang akan diselenggarakan 9 April 2009, sudah mulai mengumbar janji akan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 59 | Basic HTML

Pemilu 2009 adalah Pemilu kesepuluh sepanjang perjalanan Indonesia merdeka. Sebelumnya, kita sudah menyelenggarakan sembilan kali Pemilu yakni satu kali era Soekarno (1955), enam kali era Soeharto (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997), serta dua kali era reformasi (1999 dan 2004).

Pemilu adalah suatu kegiatan penting dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat (demokrasi), yang juga lazim kita sebut sebagai pesta demokrasi. Suatu kesempatan rakyat untuk memilih wakil dan pemimpinnya secara demokratis demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mengandung makna, bahwa demokrasi haruslah berbuah kemerdekaan rakyat dan kesejahteraan rakyat. Bukankah demokrasi juga berarti dari rakyat dan untuk rakyat?

Namun tujuan demokrasi ini, di negeri ini, tampaknya masih memerlukan waktu untuk mencapainya. Sejarah sembilan kali penyelenggaraan Pemilu di Indonesia cukup berharga menjadi bahan pelajaran bagi kita. Sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu 2004 menunjukkan bahwa rakyat selalu siap dan tertib menggunakan hak pilihnya. Sembilan kali Pemilu itu selalu berjalan lancar dan aman. Rakyat banyak ternyata sangat siap berdemokrasi, kendati dalam perjalanan itu juga kadang diwarnai tekanan dari pihak berkuasa atau elit politik.

Pengalaman sejarah Pemilu di Indonesia menunjukkan justru para elit politik, para pemimpin, yang tidak siap berdemokrasi. Pemilu pertama, 1955, yang sukses di tingkat penyelenggaraan (partisipasi aktif rakyat), ternyata gagal di tingkat elit. Dewan Konstituante hasil pilihan rakyat 1955, tidak berhasil mengemban amanat rakyat. Mereka mementingkan diri dan kelompok sendiri sehingga gagal menyepakati konstitusi. Sampai akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, membubarkan Dewan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945.

Ketidaksiapan para elit politik untuk berdemokrasi, harus dibayar mahal dengan bertumpunya kekuasaan di tangan satu orang yang melahirkan Demokrasi Terpimpin dan presiden seumur hidup. Lalu meledak kudeta gagal G-30-S/PKI yang dilanjutkan terjadinya krisis politik dan ekonomi, mengakibatkan Bung Karno dilengserkan oleh MPRS dihentikan Pak Harto, seorang jenderal. Lahirlah Orde Baru dengan kendaraan politik Golkar sebagai perpanjangan tangan militer yang menonjolkan stabilitas.

Pembangunan berlangsung sedemikian rupa, namun kebebasan terasa terlalu lama dikekang demi stabilitas nasional. Pemilu berlangsung sebagai kegiatan rutinitas dan nyaris kehilangan roh. Pak Harto memegang tampuk kekuasaan dengan perkasa, dan nyaris tidak ada elit politik yang punya nyali mengoreksinya apalagi menentangnya.

Sampai akhirnya, mahasiswa bergerak menggulirkan reformasi dan memaksa Pak Harto mundur. Para elit politik pun bangun dari nyali keroposnya, juga berteriak menjadi reformis. Rakyat pun terkesima dan spontan menyambut suka cita. Telah muncul harapan baru, era reformasi yang merupakan era demokratisasi, diharapkan akan memerdekakan dan menyejahterakan rakyat.

Dalam era reformasi telah berlangsung dua kali Pemilu legislatif dan satu kali Pemilu Presiden (dua putaran) serta ratusan kali Pilkada. Ternyata, Forum Rektor Indonesia (FRI) dalam Konvensi Kampus V dan Temu Tahunan XI di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya (4-5/8/2008) merekomendasikan, Indonesia belum juga menghasilkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan belum meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bermakna.

Advertisement

Maka, dalam suasana kampanye menuju Pemilu 2009 saat ini, para elit politik harus mengantisipasi jangan sampai rakyat semakin jenuh dan apatis. Gejala ke arah ini terindikasi dari semakin banyaknya golongan putih (Golput) pada Pemilu dan Pilkada. Jangan sampai rakyat menjadi jenuh dan tidak percaya lagi pada itikad baik politisi (parpol) karena apa yang dijanjikan pada saat kampanye ternyata tidak diwujudkan dalam bentuk program untuk memerdekakan rakyat dari belenggu kemiskinan dan ketidakpastian hukum (keadilan).

Malah para politisi dengan tanpa peduli etika politik mempraktikkan hedonisme egoistik, dan korupsi. Sebagaimana terjadi hari-hari ini, secara kasat mata ketidakadilan masih terlihat (terasa) merajalela. Para politisi masih banyak yang mempraktikkan moralitas rendah dengan mengutamakan memperkaya diri sendiri (korupsi), bahkan ada yang sambil main perempuan. Satu-dua orang telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 59

Dari Redaksi

Visi Berita

Surat Pembaca

Berita Terdepan

Highlight/Karikatur Berita

Berita Utama

Lintas Tajuk

Berita Khas

Berita Nasional

Lentera

Berita Politik

Berita Ekonomi

Berita Publik

Berita Hukum

Berita Feature

Berita Media

Berita Tokoh

Berita Humaniora

Berita Budaya

Berita Mancanegara

Berita Iptek

Berita Daerah

Berita Buku

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini