Kalau Jujur, Kenapa Harus Menunggu Sidang?

Ketika kejujuran ditunda demi prosedur dan klarifikasi dibatasi oleh syarat, publik tak hanya kehilangan jawaban – mereka kehilangan kepercayaan. Dalam demokrasi, kejujuran tak menunggu disidangkan. Ia hadir dari kesadaran, bukan tekanan; dan karena itulah, kejujuran yang datang tanpa diminta selalu lebih kuat daripada klarifikasi yang dipaksa.
Dalam demokrasi, kejujuran tak menunggu sidang. Ia tidak berdiri di belakang pintu pengadilan, menunggu dipanggil oleh hakim untuk bisa bernilai. Keadaban publik tidak menanti formalisme hukum untuk meyakini sesuatu. Dan dalam kasus pemimpin yang pernah dipercaya oleh jutaan rakyat, kejujuran bukan hanya soal isi pernyataan, tapi juga waktu dan cara menjawab keraguan. Kejujuran hadir bukan karena dipaksa, tapi karena tahu bahwa kepercayaan rakyat adalah sesuatu yang harus dijaga, bahkan setelah kekuasaan berakhir.
Itu sebabnya keresahan publik muncul, dan terus bergema. Di media sosial, komentar seperti ini banyak berseliweran: “Para lulusan UGM bangga nunjukin ijazahnya, sedangkan Jokowi nungguin perintah pengadilan.” Sepintas terdengar sinis. Tapi di balik sindiran itu ada rasa kecewa yang nyata. Bukan karena rakyat haus sensasi, tapi karena mereka merasa dijauhkan dari sesuatu yang seharusnya bisa dibuka dengan sederhana. Bukan karena rakyat ingin mempermalukan, tapi karena mereka ingin percaya.
Polemik tentang keaslian ijazah Joko Widodo bukan perkara sederhana. Ia bukan semata gugatan administratif, dan juga bukan sekadar rumor di pinggir jagat maya. Ia telah tumbuh menjadi soal legitimasi, bukan karena rakyat tidak tahu batas antara kebenaran dan hoaks, tetapi karena cara menjawab pertanyaan itu terasa tidak menyentuh esensi: keterbukaan yang siap diuji.
Ijazah Jokowi, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar dokumen akademik. Ia telah menjelma menjadi simbol dari keaslian, transparansi, dan narasi tentang kesederhanaan yang berhasil. Maka ketika simbol itu disentuh oleh keraguan, respons yang dibutuhkan bukan prosedur hukum atau pembelaan struktural, melainkan pembuktian yang bersedia terbuka sepenuhnya.
Simbol dalam politik bersifat vital karena membentuk persepsi. Persepsi publik adalah fondasi dari legitimasi yang sesungguhnya. Seperti dikatakan Hannah Arendt, kekuasaan yang bersandar pada kebenaran memiliki daya tahan jauh lebih kuat ketimbang yang hanya mengandalkan legalitas formal. Dalam hal ini, ijazah menjadi simbol keterbukaan yang diharapkan mempertegas fondasi moral kepemimpinan yang telah selesai dijalankan.
Masalahnya bukan pada benar atau tidaknya isi dokumen. Itu wilayah hukum. Tapi ketika klarifikasi datang disertai larangan dokumentasi dan pernyataan bahwa ijazah hanya akan ditunjukkan jika diminta pengadilan, publik tidak merasa dijawab. Bahkan merasa makin jauh dari kebenaran. Dan di tengah itu semua, muncul pertanyaan sederhana tapi menggelisahkan: “Apa susahnya menunjukkan ijazah asli? Kenapa justru menyewa pengacara, berbicara soal pelaporan, dan bukan sekadar menunjukkan dokumen itu terbuka?”
Dan itulah inti keresahan publik hari ini: bukan pada isi dokumen, tapi pada cara merespons keraguan yang wajar. Dalam sikap yang disampaikan, publik tidak melihat keterbukaan, melainkan kehati-hatian yang berlebihan. Sebagian orang bisa memahami jika seorang pemimpin merasa lelah setelah bertahun-tahun diserang atau difitnah. Tapi rasa lelah, betapapun manusiawinya, tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi transparansi – apalagi jika yang dipersoalkan menyangkut dasar legal sekaligus simbolik dari jabatan yang pernah diemban.
Padahal publik tidak sedang menuduh. Mereka bertanya, karena mereka peduli. Dalam demokrasi, rasa ingin tahu adalah bentuk partisipasi. Rakyat yang bertanya adalah rakyat yang masih percaya bahwa suara mereka penting. Dan ketika pertanyaan itu ditanggapi secara defensif, maka yang retak bukan hanya dokumen, tapi kepercayaan yang lebih luas.
Rakyat memahami bahwa pemimpin adalah manusia biasa. Tapi justru karena itu, mereka ingin diyakinkan. Karena dalam demokrasi deliberatif, transparansi bukan tambahan, melainkan bagian dari hak publik yang melekat. Klarifikasi yang datang karena tekanan tidak pernah sekuat kejujuran yang lahir dari niat.
Kita tahu, tidak semua yang bertanya punya niat baik. Tapi demokrasi tidak bekerja dengan menyaring niat. Ia bekerja dengan membuka ruang, dan membiarkan publik menilai sendiri. Dan di ruang itu, seorang pemimpin diuji bukan hanya oleh kebenaran isi jawabannya, tapi oleh cara ia bersedia menjawab.
Bila kita menengok sejarah, skandal Watergate yang menjatuhkan Richard Nixon bukan dimulai dari tindakan besar, melainkan dari kebohongan kecil yang terus dibungkus dan disangkal. Pelajaran dari situ sederhana: publik bisa memaafkan kesalahan, tapi sulit mempercayai mereka yang enggan terbuka. Bahkan di Korea Selatan, seorang presiden mundur bukan karena gagal memerintah, tapi karena disertasinya terbukti tidak sah. Dunia politik menyimpan banyak contoh bahwa krisis legitimasi lebih sering datang dari pengingkaran simbol, bukan substansi.
Kita tidak butuh pemimpin yang sempurna. Kita butuh pemimpin yang berani menghadapi pertanyaan. Dan keberanian itu bukan ditunjukkan dengan retorika hukum, melainkan dengan keterbukaan yang hadir sebelum diminta. Saat rakyat bertanya dan pemimpin menjawab tanpa harus didesak, kepercayaan tumbuh. Tapi jika pertanyaan dijawab dengan pengacara dan pernyataan ancaman hukum, maka kepercayaan bisa berubah menjadi jarak.
Legitimasi sejati tidak datang dari pengesahan hukum, melainkan dari pengakuan nurani publik. Ia bukan soal lolos dari gugatan, tapi soal mampu menjawab keraguan dengan kejujuran yang bisa diuji. Seorang pemimpin tidak kehilangan kehormatan karena menjawab. Justru ia memperkuat warisan moralnya ketika memilih untuk menjawab secara terbuka dan penuh kesadaran.
Maka ketika publik bertanya soal ijazah, dan jawaban yang datang terasa dibatasi, yang hilang bukan hanya momen klarifikasi, tapi juga kesempatan untuk menunjukkan karakter. Karena pada akhirnya, bukan soal benar atau tidaknya selembar dokumen. Tapi soal apakah seorang pemimpin bersedia berdiri, menatap rakyatnya, dan berkata: “Ini saya, dan saya tidak menyembunyikan apa pun.” (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)