Ketika Mereka Mencoba Berjalan di Atas Kepala Rakyat

Logika Terbalik: Bawahan Hendak Menundukkan Atasan

0
15
Ketika Mereka Mencoba Berjalan di Atas Kepala Rakyat
Kursi itu berdiri di atas kepala yang bisa berbalik arah.
Lama Membaca: 3 menit

Ada yang keliru ketika lembaga yang dibiayai oleh rakyat merasa pantas menentukan bagaimana rakyat boleh bersuara. Ketika kritik dianggap gangguan, dan keberatan dibalas dengan ancaman hukum, maka kita patut bertanya: siapa yang sedang berdiri di atas siapa? Di negara yang mengaku demokratis, kekuasaan semestinya berjalan bersama rakyat, bukan di atas kepala mereka.

Kejadian ini bukan yang pertama. Seorang warga sipil mengkritik, lalu aparat negara merasa tersinggung. Bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai lembaga. Lantas, kritik itu dianggap layak dibawa ke ranah hukum. Rasanya aneh, tapi sudah sering terjadi, dan yang lebih mengkhawatirkan: mulai terasa wajar. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, kewajaran semacam itu justru harus dipertanyakan.

Konstitusi Indonesia sudah jelas: kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, hasil amandemen). Artinya, semua kekuasaan publik yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara: eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga institusi pertahanan seperti TNI, berasal dari mandat rakyat. Mereka ada bukan untuk memerintah rakyat, melainkan untuk melayani rakyat. Karena itulah mereka disebut “pelayan publik”.

TNI, misalnya, adalah alat pertahanan negara. Bukan kekuatan politik, bukan kekuatan ideologi, dan bukan kekuatan moral. Ia bekerja di bawah kendali sipil, tunduk pada keputusan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, jika rantai kedaulatan ditarik mundur, kita akan menemukan ujungnya selalu di tangan rakyat. Rakyat → memilih Presiden → memimpin negara → memerintahkan TNI. Dalam logika ini, posisi TNI dalam struktur demokrasi sangat jelas: sebagai pelaksana, bukan pemilik kekuasaan.

Tapi dalam praktik, logika itu kadang berjalan mundur. Lembaga negara bisa merasa lebih tinggi dari rakyat yang memberinya mandat. Kritik dari warga dibaca sebagai serangan, bukan masukan. Laporan pidana diajukan bukan karena ancaman nyata, tapi karena rasa tersinggung institusional. Dulu, kritik dibungkam demi stabilitas; kini, demi wibawa. Namanya berganti, tapi nadanya masih sama: suara rakyat tetap dianggap gangguan.

Pertanyaannya: apakah ini soal keamanan negara, atau soal ego institusi? Apakah benar kritik bisa membahayakan pertahanan, atau sebenarnya yang dianggap berbahaya adalah keberanian warga sipil untuk mengoreksi kekuasaan?

Siapa di Atas Siapa? | Ketika Mereka Mencoba Berjalan di Atas Kepala Rakyat

Mungkin karena bagi sebagian pemegang kuasa, mengakui kritik sama saja dengan mengakui kelemahan. Dan kelemahan, dalam logika kekuasaan lama, dianggap cacat, bukan cermin kedewasaan. Padahal Hannah Arendt pernah menulis bahwa kekuasaan sejati lahir dari kesediaan untuk dipertanyakan, bukan dari ketakutan untuk disangkal.

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka demokrasi kita sedang berjalan di atas kepala rakyat, bukan di atas kehendaknya. Dan jika lembaga-lembaga yang dibiayai oleh uang publik mulai menentukan sendiri batas aman bagi suara publik, maka kedaulatan itu perlahan bergeser: dari rakyat, ke tangan segelintir pengelola kekuasaan yang alergi terhadap pertanyaan.

Itu sebabnya kita perlu berhati-hati. Bukan karena rakyat terlalu galak, tapi karena kekuasaan sering terlalu rapuh. Dalam masyarakat demokratis, kekuatan institusi tidak diukur dari seberapa cepat ia membungkam kritik, tetapi seberapa lapang ia menampungnya. Lembaga yang kuat bukan yang cepat marah, tapi yang tenang menghadapi keberatan.

Kritik bukan peluru yang menghancurkan, melainkan kaca yang memantulkan. Ia menunjukkan bayangan institusi sebagaimana dilihat oleh rakyat, dan di situlah perbaikan seharusnya bermula. Ketika mereka lupa siapa yang memberi mandat, langkah kekuasaan bisa berubah arah, bukan melangkah bersama rakyat, tapi di atas kepala mereka.

Advertisement

Barangkali, yang membuat banyak institusi negara mudah tersinggung bukan karena rakyat makin beringas, tapi karena kesadaran akan posisi mereka dalam rantai kekuasaan belum sepenuhnya berubah. Mereka merasa mewakili negara, tapi lupa bahwa negara tidak berdiri tanpa rakyat. Mereka merasa punya wewenang, tapi lalai bahwa setiap wewenang datang dari mandat, bukan warisan. Dan mandat itu, dalam demokrasi, selalu bisa ditanya, dikoreksi, bahkan dicabut.

Kita tahu, tidak semua suara bernada bijak. Tapi bukan berarti negara berhak memilih mana kritik yang layak didengar dan mana yang layak dibungkam. Dalam demokrasi, ruang bicara yang bising adalah bagian dari kebebasan. Yang harus dijaga bukan keheningan kekuasaan, tapi kewarasan publik.

Maka, sebelum merasa berhak mengatur cara rakyat bersuara, barangkali para pengelola lembaga negara perlu berhenti sejenak, dan menyadari bahwa mereka tidak sedang berjalan di atas kepala rakyat, tapi berdiri di atas mandat yang bisa sewaktu-waktu dicabut. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, langkah yang paling tepat bagi lembaga negara saat menghadapi kritik publik adalah…
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments